Pencarian

Rabu, 27 Oktober 2021

Syafaat

Setiap manusia diciptakan dari suatu nafs wahidah yang mengenal kesatuan penciptaan. Dengan mengenal nafs wahidah dirinya, seseorang akan mengenal washilah dirinya dalam perjuangan kebenaran yang dipimpin oleh Rasulullah SAW. Bila orang itu menempati kedudukan dirinya dan berjuang untuk mengamalkan apa yang dijadikan amr bagi dirinya, ia akan memperoleh syafaat dari Rasulullah SAW, baik secara langsung ataupun syafaat melalui orang-orang yang memperoleh ijin Allah. Orang yang memperoleh ijin Allah untuk bersyafaat sebenarnya adalah orang yang telah memperoleh syafaat dari Rasulullah SAW, secara langsung ataupun dalam silsilah yang tidak terputus.

﴾۳۲﴿وَلَا تَنفَعُ الشَّفَاعَةُ عِندَهُ إِلَّا لِمَنْ أَذِنَ لَهُ حَتَّىٰ إِذَا فُزِّعَ عَن قُلُوبِهِمْ قَالُوا مَاذَا قَالَ رَبُّكُمْ قَالُوا الْحَقَّ وَهُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ
Dan tiadalah bermanfaat syafa'at di sisi Allah melainkan bagi orang yang telah diizinkan-Nya baginya, sehingga apabila telah dihilangkan keterperanjatan dari hati mereka, mereka berkata "Apakah yang telah difirmankan oleh Tuhan-mu?" Mereka menjawab: “kebenaran", dan Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar. (QS Saba : 23)

Tidak ada manfaat di sisi Allah mencari syafaat kepada orang-orang yang tidak diijinkan untuk bersyafaat. Hadirnya syafaat menentukan perbedaan kedudukan seseorang sebagai orang yang benar-benar berada di atas petunjuk,  atau ia tidak termasuk dalam kategori itu hingga termasuk orang yaang berada dalam kesesatan. Kadangkala semua golongan demikian mengatakan sebagai orang yang berada di atas petunjuk. Persoalan ini seringkali tidak mudah untuk dilihat, hingga sebagaimana dahulu makhluk-makhluk langit yang tinggi tidak dapat melihat kesesatan dalam diri Iblis sebelum Allah menyatakannya dengan perbuatan-Nya. Menyaksikan perbantahan antara makhluk-makhluk yang tinggi merupakan hal yang menggetarkan bagi kebanyakan makhluk, karena mungkin saja tidak ada yang mengetahui kesalahan di antara keduanya. Hanya yang lebih tinggi yang mengetahui duduk persoalan sebenarnya. Dalam hal ini, syafaat yang bersambung kepada Rasulullah SAW dapat membedakan kedudukan di antara mereka.

Dasar dari silsilah ini adalah nafs wahidah. Pengenalan seseorang terhadap nafs wahidah diri menunjukkan kemungkinan keterhubungan silsilah seseorang terhadap Rasulullah SAW. Ia akan mengenal silsilah wasilahnya kepada Rasulullah SAW. Indikasi ini tidak berdiri sendiri. Seseorang yang memperoleh syafaat demikian akan mengenal kebenaran dalam definisi “al-haqq”. Hal ini menunjukkan adanya suatu pengenalan terhadap realitas yang benar. Sebagai ilustrasi, Allah berfirman ketika pengusiran Iblis : “maka (inilah) alhaqq dan tentang Al-haqq-lah Aku berfirman”. Ketika iblis terusir dari surga, Allah sebenarnya memperkenalkan suatu bentuk realitas kebenaran tentang diri Iblis itu, baik kepada Iblis ataupun kepada seluruh makhluk. Realitas Iblis tidaklah sebagaimana persangkaan Iblis tentang dirinya, atau sebagaimana persangkaan makhluk lain tentang Iblis pada waktu itu. Sebelumnya, Iblis ditampakkan bagai pemimpin hamba Allah yang menjalankan perintah-Nya dengan penuh ketaatan, sedangkan sifatnya mengikuti kebenarannya sendiri tersembunyi dari pengetahuan para makhluk.

Keterbukaan tentang realitas yang benar (al-haqq) kepada seseorang akan membuat seseorang terperanjat. Itu adalah titik perubahan paradigma kehidupan menuju paradigma yang benar dalam diri seseorang, dan itu akan membuat mereka terkejut. Keterperanjatan seseorang dalam peristiwa ini akan dapat dikurangi atau ia dapat memperoleh landasan bilamana ia berpegang pada Alquran dan sunnah Rasulullah SAW, dan hanya dengan cara ini seseorang akan memperoleh keselamatan. Masa keterperanjatan ini adalah masa yang berbahaya bagi setiap orang, karena keterbukaan itu disertai dengan terbitnya tanduk syaitan. Seseorang harus benar-benar memilah apa yang benar-benar alhaqq dan apa yang terbit dari tanduk syaitan. Tanpa berpegang pada Kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW, seseorang akan mudah terjerumus mengikuti kebenarannya sendiri terpisah dari kebenaran yang bersumber dari Allah.

Pengenalan terhadap Al-haqq itu akan bernilai benar ketika masa keterperanjatan itu berlalu. Tanda berlalunya masa keterperanjatan ini adalah manakala seseorang memperoleh semua landasan pengetahuannya dari kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW tanpa cacat atau takalluf di dalamnya. Indikasi lain benarnya pengenalan terhadap alhaqq ditunjukkan oleh syafaat yang bersambung kepada Rasulullah SAW, tidak terputus pada salah satu washilah. Washilah kepada orang lain yang hidup pada jamannya akan membantu mengenali cacat dalam pemahamannya. Kedua tanda ini akan muncul bersama, di mana seseorang mengenal kedudukan dirinya dalam perjuangan Rasulullah SAW dan mengenal kedudukannya dalam Alquran, walaupun tentu hanya sebagian dari Alquran. Seseorang tidak boleh bersikeras pada pemahamannya sendiri karena mungkin saja terdapat cacat dalam pemahaman itu. Sikap keras kepala syaitan menjadikannya tidak memahami kebenaran firman Allah.

Sulit untuk menemukan apa yang dapat dilakukan oleh seseorang yang berbantah dalam keadaan demikian. Dalam perkara itu, hal paling baik yang dapat dilakukan orang yang benar adalah bersumpah : “sesungguhnya kami atau kamu, pasti berada dalam kebenaran atau dalam kesesatan yang nyata”. Sumpah demikian menyiratkan kesulitan yang tinggi dalam membedakan petunjuk dibandingkan kesesatan di tingkatan tertentu. Seseorang mungkin berada di atas keyakinan benarnya kedudukannya, tetapi tidak dapat menunjukkan bukti kesalahan kepada lawannya, baik karena takut terperangkap jebakan keadaan, karena perkaranya yang sulit atau karena tertutupnya hati seseorang dari kebenaran, karenanya ia hanya dapat bersumpah demikian. Tersirat pula adanya ketakwaan berupa rasa takut pada orang yang benar untuk melakukan klaim benar walaupun ia mengetahui kebenaran, sedangkan mungkin ia bisa terjatuh pula dalam kesalahan.

﴾۴۲﴿ قُلْ مَن يَرْزُقُكُم مِّنَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ قُلِ اللَّهُ وَإِنَّا أَوْ إِيَّاكُمْ لَعَلَىٰ هُدًى أَوْ فِي ضَلَالٍ مُّبِينٍ
Katakanlah: "Siapakan yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan dari bumi?" Katakanlah: "Allah", dan sesungguhnya kami atau kamu, pasti berada dalam kebenaran atau dalam kesesatan yang nyata. (QS Saba’ : 24)

Kadangkala dalam kasus demikian seseorang mengangkat orang lain untuk menjadi saksi terhadap sumpah yang dikatakannya dalam perbantahan, sedangkan ia (yang diangkat) belum mempunyai kemampuan bersaksi atas kebenaran di antara keduanya itu. Selama ia belum mempunyai kemampuan bersaksi, ia tidak mempunyai kewajiban atas permintaan kesaksian itu, dan akan tiba masa ia harus menyampaikan atau menegakkan kesaksian itu manakala ia mempunyai kemampuan bersaksi.

Kemampuan bersaksi akan datang setelah masa keterperanjatan berlalu, dan setelah seseorang mengenal alhaqq dalam firman Allah. Ia akan mengerti firman-firman Allah, dan ketika orang-orang bertanya tentang firman Allah, maka ia dapat mengatakan realitas kebenaran sesuai dalam firman Allah. Ia hanya dituntut untuk memberikan kesaksian dalam batas kemampuan yang diberikan kepadanya. Hendaknya ia tidak menginginkan kebinasaan dirinya karena kesedihan. Sesedikitnya upaya yang dapat dilakukan adalah amal shalih, sedangkan mengharapkan kebinasaan karena kesedihan tidak mendatangkan kebaikan bagi siapapun termasuk dirinya, dan itu bukanlah jalan keluar yang dikehendaki Allah.

 

Menemukan Syafaat

Sangat penting bagi setiap orang untuk menemukan washilah yang bersambung kepada Rasulullah SAW. Washilah yang sebenarnya itu dapat ditemukan bila seseorang mengenali nafs wahidah dirinya. Dari kehidupan dunia yang gelap, seseorang harus mengenali nafs wahidah dirinya di alam yang tinggi. Hal ini sebenarnya mempersyaratkan seseorang untuk dapat bertindak sesuai tuntunan Allah. Seseorang tidak akan mengenal hakikat penciptaan dirinya yang tinggi tanpa suatu landasan kemampuan bersikap dengan benar sesuai tuntunan Allah. Pengenalan terhadap hakikat yang tinggi tanpa kemampuan bersikap sesuai tuntunan Allah hanya akan menjadikan manusia bersikap sombong sebagaimana kesombongan iblis. Pengenalan dengan cara itu akan mencelakakan. Iblis dahulu sangat taat menjalankan perintah Allah yang ditetapkan bagi dirinya, tetapi tanpa berlandaskan sikap yang benar. Seseorang harus benar-benar mempunyai kemampuan bersikap sesuai dengan tuntunan Allah.

Allah menurunkan wahana belajar mengenali nafs wahidah melalui pernikahan. Pasangan suami dan isteri merupakan representasi jiwa dan raga yang ada dalam pasangan itu. Sikap yang harus dilakukan seorang isteri terhadap suami adalah representasi sikap yang harus diperbuat oleh raga seseorang terhadap nafs wahidah, sedangkan sikap yang harus dilakukan seorang suami terhadap isteri merupakan representasi sikap jiwa terhadap raga. Hawa nafsu harus dibangun sesuai dengan atau mendekati sifat hubungan yang ideal pernikahan sesuai tuntunan agama. Bila seseorang berhasil belajar bersikap dengan benar dalam ikatan suami isteri, ia akan mendapat kesempatan mengenal nafs wahidah dirinya. Tanpa terbangun landasan sikap yang benar, pengenalan terhadap nafs wahidah yang tinggi bisa menjerumuskan seseorang dalam celaka.

﴾۱﴿يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari nafs wahidah, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling bertanya satu sama lain, dan (bertakwalah) dalam al-arham. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. (QS An-Nisaa : 1)

Mengenal nafs wahidah adalah jalan untuk menyatukan diri dengan perjuangan rasulullah SAW. Itu adalah sebuah aspek yang merupakan turunan utama dari tauhid. Untuk mencapai tujuan itu, ayat-ayat terkait nafs wahidah menjadi pijakan utama untuk pengenalan nafs wahidah. Logika manusia tidak akan bisa dibandingkan dengan Alquran, dan Alquran tidak akan tergantikan dengan logika manusia. Ketika Alquran mengkaitkan nafs wahidah dengan keberpasangan, keturunan, ketakwaan dan al-arham, hal-hal yang disebutkan itu merupakan petunjuk yang paling efektif untuk mencari jalan mengenal nafs wahidah, dan harus disikapi dengan benar. Banyak hal yang dapat mendukung seseorang mengenal nafs wahidah, tetapi jalan utamanaya adalah aspek yang disebutkan dalam ayat tersebut, sedangkan yang lain itu akan mengarah pada aspek-aspek dalam ayat tersebut.

Belajar bersikap benar harus mulai dilakukan sebelum terjadi pernikahan. Pada dasarnya, ada kaidah berupa petunjuk yang seharusnya diperhatikan seseorang untuk memulai pernikahan. Mekanisme petunjuk dalam menentukan jodoh ini menjadi awal pelajaran mengungkap keberadaan hal ghaib yang menjadi bagian diri seseorang. Ada orang yang memperhatikan kaidah itu dan memperoleh petunjuk, ada yang tidak memperhatikan tetapi memperoleh petunjuk, ada yang melewatkan petunjuk itu tetapi bersikap benar dalam menentukan pilihan pasangan dan banyak sikap-sikap lain termasuk sikap yang salah dalam menentukan jodoh. Semua hal terkait pemilihan pasangan akan mempengaruhi perjalanan seseorang untuk mengenal nafs wahidah.

Hal yang harus dihindari adalah bersikap kufur terhadap nikmat Allah dan bersikap takabbur. Kadangkala seseorang menentukan jodohnya di atas dasar kasta. Dalam beberapa hal, ini adalah bentuk kekufuran terhadap nikmat Allah. Bila petunjuk diabaikan dan mengutamakan kasta yang dibuatnya sendiri, itu merupakan bentuk kekufuran terhadap nikmat Allah. Takabbur seringkali sulit dirasakan kehadirannya di hati. Reaksi seseorang mensikapi jodoh yang datang dapat menunjukkan adanya kesombongan, dan ini harus diperhatikan oleh yang bersangkutan. Banyak bentuk-bentuk kekufuran dan kesombongan yang mungkin terjadi dalam pemilihan jodoh untuk pernikahan yang menutup jalan seseorang untuk mengenal nafs wahidah.

Sikap kufur dan takabbur yang tidak ditaubati akan menutup jalan seseorang untuk mengenal nafs wahidah. Bila ia bertaubat sedangkan ia berjodoh dengan orang lain yang juga bertaubat dengan benar, garis kehidupan mereka akan berjalan berdekatan atau berimpit hingga salah seorang atau keduanya meninggalkan jalan taubat. Hal ini dapat menimbulkan kerepotan tersendiri. Cedera dalam silaturahmi karena sikap kufur dan takabbur yang pernah dilakukan akan menjadi sumber masalah yang tidak boleh disikapi dengan keliru. Bila memungkinkan, solusi terbaik adalah melakukan pemaafan dan kemudian menikah hingga mereka dapat berjalan dalam jalan taubat hingga jalan yang lurus bersama-sama. Bila tidak memungkinkan, setidaknya setiap pihak harus berusaha memaafkan pihak yang lain dengan hatinya.

Mengarahkan haluan hidup pada arah yang sama dalam pernikahan menjadi pangkal tumbuhnya atmosfir yang baik dalam kasih sayang. Haluan bersama itu seharusnya mulai dibangun sejak sebelum pernikahan. Haluan itu adalah untuk mengenal nafs wahidah, agar menemukan jalan ibadah mereka kepada Allah. Bila hanya salah satu yang mengarah pada haluan itu, akan banyak perselisihan terjadi dan mengganggu munculnya atmosfir yang baik untuk mengenal etika dalam ibadah kepada Allah. Haluan yang bertentangan akan membuat bahtera tercabik-cabik. Seseorang yang hidup mencari jalan ibadahnya akan banyak mengalami kesulitan bila menikah bersama seseorang yang loba mengejar harta duniawi. Iktikad yang tidak bulat baik pada diri salah satu ataupun kedua pihak dalam mengarahkan haluan masing-masing akan mempengaruhi atmosfir rumah tangga yang terbentuk.

Hal berikutnya yang harus dipelihara adalah sikap ketakwaan yang terwujud dalam perhatian kepada pasangan sehingga bisa menjalankan bahtera dengan baik. Banyak hambatan dan tantangan yang akan mendidik manakala pernikahan dilakukan dengan haluan yang benar. Syaitan dapat merusak suatu urusan melalui prasangka-prasangka ataupun usaha memunculkan perbuatan manusia hingga merusak urusan. Fitnah demikian hanya dapat diimbangi dengan ketakwaan. Dalam tingkatan praktis, setiap orang harus berusaha mendengarkan dan memahami perkataan dan penjelasan pihak lain dengan benar, dan tidak menutupi atau menyembunyikan sesuatu yang merugikan atau tidak diinginkan dengan maksud buruk.

Kemampuan dan usaha menyampaikan sesuatu dengan tepat akan membantu mengurangi prasangka yang timbul, terutama tentang informasi yang dibutuhkan pihak lainnya. Demikian pula keterampilan dalam menyampaikan kebutuhan informasi dengan cara yang baik akan membantu mengurangi prasangka. Keterampilan menyampaikan informasi yang diinginkan sendiri tanpa mengindahkan kebutuhan informasi pihak lain seringkalai hanyalah wujud hawa nafsu. Hal ini tidak berarti membatasi jumlah informasi yang perlu disampaikan karena barangkali pasangannya membutuhkan stimulasi informasi. Yang perlu diperhatikan, hendaknya seseorang tidak mengumbar informasi berdasarkan keinginan sendiri, tetapi harus dengan landasan memikirkan kebutuhan informasi pihak lainnya. Semakin serupa haluan kedua pihak yang menikah atau akan menikah, semakin luas rentang informasi yang bebas dipertukarkan. Bila tidak terbentuk haluan yang sama, banyak pembicaraan yang harus dibatasi termasuk untuk bertanya. Syaitan lebih leluasa memasuki rumah tangga demikian.

Dalam bentuk lain, hasrat untuk mempertanyakan semua hal terkait kekurangan pihak lain merupakan wujud hawa nafsu. Kekurangan yang tidak dapat diterima saja yang harus sampaikan atau dipertanyakan kepada pasangannya, sedangkan kekurangan yang tidak menonjol ada baiknya bisa diterima dan dipahami dalam proses yang lebih panjang dengan semua proses yang mendidik kesabaran dan sifat baik lainnya.

Mewujudnya ketakwaan dalam komunikasi demikian akan menjadi pijakan bagi pasangan suami isteri untuk dapat melangkah mengenal hakikat yang lebih tinggi hingga mengenal nafs wahidah. Hal ini harus dimulai sejak memilih jodoh. Adanya ketakwaan menjadi pijakan seseorang melangkah, yang tidak dapat dilakukan di atas pijakan prasangka-prasangka. Ketakwaan adalah pijakan yang benar walaupun mungkin bentuk yang terwujud tidak sempurna. Sebaliknya, wujud-wujud yang indah tidak selalu menunjukkan adanya ketakwaan kepada Allah. Ketakwaan tidak terwujud dari sikap-sikap semu walaupun mungkin tampak indah. Hendaknya semua sikap terlahir dari landasan ketakwaan, tidak menjadi menara gading tentang ketinggian budaya yang menjadi bahan kesombongan.

Dengan memberikan perhatian pada pasangannya, seseorang akan memperoleh cermin diri yang akan menunjukkan jalan mengenal nafs wahidah. Ada aspek kasih sayang yang akan tumbuh dengan perhatiannya kepada pasangan, di mana kasih sayang itu akan memperkuat nafs wahidah dalam menemukan bagian dirinya, sehingga perjalanan itu tidak dilakukan sepihak oleh raganya. Dengan tumbuh bersama pasangan, pengetahuan tentang etika kepada yang Maha Tinggi akan terbentuk dalam diri melalui pergaulan pernikahan mereka dalam rasa kasih sayang. Ada persiapan yang baik untuk mengenal alam tinggi nafs wahidah mereka bila seseorang menikah. Bila seseorang memperhatikan diri sendiri untuk mencari jalan mengenal diri, hawa nafsu akan memperoleh tempat untuk melakukan aksi menipu. Kecintaan diri akan memperkuat hawa nafsu bila seseorang memperhatikan dirinya sendiri.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar