Pencarian

Rabu, 06 Oktober 2021

Memasuki Lubang Jarum

Setiap manusia diciptakan dari satu nafs wahidah, kemudian ia tumbuh menjadi makhluk yang bisa memiliki kepribadian yang banyak karena tumbuhnya hawa nafsu yang sangat banyak seiring dengan pertumbuhan raganya. Dengan tumbuhnya banyak hawa nafsu yang menyerupai nafs wahidah, seseorang akan mengalami kesulitan untuk mengenali nafs wahidah dirinya, yang merupakan wujud blue print diri yang sebenarnya. Pandangannya terhadap diri sendiri terhijab oleh hawa nafsu-hawa nafsunya, dan sulit untuk mengenali nafs wahidah yang sebenarnya.

Hanya dengan mengenali nafs wahidah seseorang akan memperoleh wasilah kepada Allah. Ia akan mengenali kesatuan penciptaan melalui pengenalan kepada rasulullah SAW. Dirinya akan mengenali kedudukan dan peran dirinya dalam umatan wahidah. Umatan wahidah hanya akan terbentuk oleh orang-orang yang mengenali nafs wahidah. Umatan wahidah itu adalah Al-jamaah, umat yang melaksanakan amr dirinya sebagai bagian dari amr jami’ yang diberikan kepada rasulullah SAW. Hanya orang-orang yang mengenali nafs wahidah yang memperoleh kedudukan dalam al-jamaah yang sebenarnya.



﴾۰۴﴿إِنَّ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا وَاسْتَكْبَرُوا عَنْهَا لَا تُفَتَّحُ لَهُمْ أَبْوَابُ السَّمَاءِ وَلَا يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ حَتَّىٰ يَلِجَ الْجَمَلُ فِي سَمِّ الْخِيَاطِ وَكَذٰلِكَ نَجْزِي الْمُجْرِمِينَ
Sesungguhnya orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri terhadapnya, sekali-kali tidak akan dibukakan bagi mereka pintu-pintu langit dan tidak (pula) mereka masuk surga, hingga unta masuk ke lubang jarum. Demikianlah Kami memberi pembalasan kepada orang-orang yang berbuat kejahatan. (QS Al-A’raaf : 40)

Untuk memperoleh kedudukan dalam al-jamaah, seseorang harus menghindari sifat mendustakan ayat-ayat Allah dan kesombongan. Kedua sifat itu harus dapat diuji dan dibuktikan dengan ibarat memasuki lubang jarum, dan memasuki lubang jarum berfungsi agar memperoleh sarana untuk bersatu dalam jalinan kain. Kesombongan adalah kebesaran diri yang menghambat seseorang untuk dapat memasuki lubang jarum, sehingga tidak memungkinkan seseorang untuk masuk dalam pintalan kain yang menjadi ibarat sebagai jamaah. Selain harus memasuki lubang jarum, ayat-ayat Allah harus dibaca dengan akalnya. Ayat-ayat Allah akan menentukan kemampuan seseorang untuk mengenali kedudukan dirinya dalam al-jamaah, sehingga ia dapat masuk ke dalam al-jamaah. Tanpa kedua hal tersebut, tidak ada orang yang dapat memasuki kedudukannya dalam al-jamaah.

 

Rasulullah SAW Sebagai Puncak Washilah

Setiap orang sebenarnya dituntut untuk menemukan peran dirinya dalam amr jami’ bersama rasulullah SAW, karena hal itu merupakan bentuk ibadah yang sebenarnya. Dalam bahasa lain, menemukan peran diri demikian itu dikatakan sebagai menemukan jati diri. Itu merupakan ungkapan dalam tingkatan yang lebih umum. Ungkapan yang lebih kuat adalah menemukan peran diri dalam risalah rasulullah SAW, karena puncak kebenaran adalah musyahadah terhadap uluhiyah Allah dan musyahadah terhadap nabi Muhammad SAW dan risalah yang diemban. Menemukan jati diri itu akan bernilai benar bilamana seseorang menemukan kesaksian bahwa beliau SAW adalah rasulullah yang membawa amr Allah, sedangkan kesaksian itu terjadi bilamana seseorang menemukan peran dirinya dalam amr jami’ rasulullah SAW.

Seseorang tidak akan dibukakan langit baginya dan tidak akan memasuki surga bila tidak ada keinginan untuk menemukan peran dirinya dalam al-jamaah. Orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Allah dan menyombongkan diri terhadapnya termasuk dalam golongan orang-orang yang tidak mempunyai keinginan untuk memasuki golongan al-jamaah mengikuti amr rasulullah SAW. Al-jamaah itu ibarat suatu kain yang terbuat dari benang-benang yang berjalin rapi antara satu benang dengan benang yang lain, yang disusun dengan cara yang benar. Satu benang bersanding dan berkelindan dengan benang yang lain secara tepat dan rapi. Demikian orang-orang yang ingin menemukan kedudukan diri dalam jamaah harus bersanding dengan yang lain dengan baik. Seringkali seorang sahabat atau washilah menjadi cermin yang baik bagi seseorang untuk menempatkan dirinya dalam kedudukan yang tepat dalam jamaah.

Hubungan fungsional yang terbentuk dalam al-jamaah tidak hanya membentuk hubungan horizontal antar makhluk saja, tetapi yang lebih utama adalah membentuk hubungan transenden hingga seseorang dikatakan mengenal Allah. Allah adalah zat yang tidak serupa dengan apapun, tetapi Dia berkehendak memperkenalkan diri-Nya kepada makhluk, maka Dia mengutus Rasulullah SAW. Tidak ada seseorang yang dapat dikatakan sebagai mengenal Allah tanpa mengenal melalui rasulullah SAW, atau mengenal Allah dengan cara yang tidak diajarkan rasulullah SAW. Seseorang harus mengenal terlebih dahulu peran dirinya dalam amr jami’ rasulullah SAW, maka ia akan dapat dikatakan mengenal Allah.

Ada beberapa bentuk hubungan transenden yang harus dikelola seseorang dalam hidupnya, sebagian bersifat permanen dan sebagian bersifat sementara. Washilah kepada rasulullah SAW adalah hubungan transenden yang bersifat tetap. Hubungan antara jiwa dan raga bersifat tetap kecuali ketika di alam barzakh. Ikatan pernikahan dapat bersifat abadi bagi suatu pasangan hingga di akhirat kelak, dan dapat pula berakhir bagi pasangan lain ketika salah seorang meninggal atau pernikahan berakhir. Hubungan antara murid dan guru bersifat tetap, tetapi mungkin saja berubah bentuk ketika seseorang menemukan kedudukan dirinya dalam al-jamaah.

Setiap orang harus berusaha membangun hubungan transenden hingga menemukan washilah kepada Rasulullah SAW. Seorang perempuan harus berusaha menemukan laki-laki yang terbaik bagi dirinya dan mengikat pernikahan berdasarkan tujuan memperoleh washilah kepada rasulullah SAW. Setiap laki-laki harus mencari ilmu melalui guru-guru yang benar yang dapat mengantarkan dirinya mengenal rasulullah SAW, dan memperoleh washilahnya. Hal-hal yang diupayakan itu dapat dikatakan bernilai benar bila ada hasil berupa menjauhkan dirinya dari pendustaan terhadap ayat Allah dan menjauhkan dirinya dari sifat kesombongan. Bila terjadi sebaliknya, maka upaya yang dilakukannya kemungkinan besar salah, baik salah dalam dirinya sendiri atau salah dalam mengambil jalan mencari washilah. Ia harus mencari jalan yang benar untuk membangun hubungan itu.

Hubungan transenden yang harus dibangun seseorang dapat dilihat sebagaimana ikatan pernikahan. Suami dan isteri merupakan perpanjangan wujud entitas diri manusia sebagai jiwa dan raga. Hubungan seseorang dengan washilahnya mempunyai banyak keserupaan dengan hubungan seorang isteri terhadap suaminya. Jiwa adalah washilah bagi raganya untuk mengenal Allah sebagaimana seorang suami merupakan washilah bagi isteri untuk beribadah kepada Allah. Jiwa-lah entitas yang dapat mengenal washilah di langit dalam wujud jiwa-jiwa yang harus diikuti. Demikian pula suami-lah yang dapat mengenal jiwanya. Bila suami yang shalih tidak meridhai seorang isteri, tertutup jalan isteri itu untuk mengenal jalan ibadahnya kepada Allah. Di alam yang tinggi, tidak sujudnya Azazel kepada Adam menyebabkan jalannya kepada Allah tertutup.

Seseorang tidak memperoleh jalan bila washilahnya terputus, baik karena pengkhianatan, pembangkangan atau menyalahi urusan pemegang washilah. Pemegang washilah mengetahui kedudukan orang yang harus mencari washilah melalui dirinya, dan pencari washilah harus mengikuti pemegang washilah. Kadangkala terputusnya washilah ini tidak disadari oleh pelakunya, sebagaimana syaitan tetap menganggap bahwa pendapatnya benar ketika menolak bersujud kepada Adam. Karena kesalahannya, iblis dan pengikutnya dari kalangan jin tidak memperoleh jalan untuk kembali ke langit. Tidak ada seseorang dapat masuk surga mendahului rasulullah SAW. Sebagian orang kelak akan disingkirkan dari haudh al-kautsar menuju neraka karena berbuat sesuatu menyalahi amr rasulullah SAW, padahal ia telah mengenal banyak kebenaran. Iblis pun sebenarnya mengenal sangat banyak kebenaran, tetapi ia menjadi penghulu bagi makhluk-makhluk yang terputus washilahnya. 

﴾۳﴿إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ

Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus (QS Al-Kautsar : 3)

Dalam hubungan sebaliknya, seseorang juga tidak akan memperoleh washilah tanpa memperhatikan dengan baik orang-orang yang mengikutinya. Washilah itu berfungsi untuk saling menghubungkan tali shilaturrahmi, tidak sekadar untuk mencari kedudukan. Seorang suami tidak akan memperoleh washilah tanpa memperhatikan dengan baik keadaan isterinya. Bila seseorang memperhatikan dengan baik suaminya atau isterinya, ia akan dapat mengenali jiwanya sendiri selayaknya seseorang melihat dirinya dalam cermin. Seorang laki-laki tidak akan mengenal kedudukan dirinya tanpa memperhatikan lingkungannya. Di tingkatan berikutnya setelah mengenal jiwa, ia akan mengenal peran diri dalam al-jamaah dengan mengenal washilah-washilah bagi jiwanya. Dengan jalan demikian, seseorang akan dapat mengenal rasulullah SAW melalui washilah-washilahnya.

Iblis merupakan contoh makhluk yang tidak dapat memasuki lubang jarum. Ia adalah makhluk tinggi yang diciptkan dari api dan ia mempunyai banyak pengetahuan. Tetapi ia menolak bersujud kepada Adam karena diciptakan dari tanah, sedangkan ia diciptakan dari api. Itu adalah kebesaran iblis yang menyebabkan dirinya tidak mau bersujud kepada Adam. Sebagian makhluk menjadi besar karena hal-hal dari sisi Allah yang diperolehnya baik kedudukan, ilmu, atau hal lain yang diberikan kepadanya. Hal itu tidak boleh menyebabkan dirrinya menjadi sombong. Sekalipun kebesaran itu ada dalam bahan penciptaannya, iblis tidak berhak untuk menyombongkan diri atas makhluk yang lain. Demikian pula makhluk lain yang diberi kebesaran tidak boleh menyombongkan diri. Seluruh kebesaran yang dilimpahkan Allah kepada seorang makhluk tidak boleh menyebabkan timbulnya kesombongan hingga tidak dapat memasuki lubang jarum.

Manusia harus dapat mendengarkan kebenaran ayat-ayat Allah dengan menghilangkan kesombongan diri hingga diibaratkan sebagaimana unta yang memasuki lubang jarum. Kesombongan akan menjadikan seseorang tidak peka terhadap kebenaran. Unta adalah makhluk jasadiah yang berfungsi untuk menempuh perjalanan di muka bumi. Raga manusia adalah ibarat unta yang membawa jiwanya dalam menempuh perjalanan di muka bumi. Bila seseorang berkeinginan untuk memasuki golongan al-jamaah, ia harus dapat menghilangkan kesombongan hingga tingkatan raganya. Sebuah pengakuan seseorang di tingkat jiwa saja tanpa manifestasi di tingkat raga, yaitu pengakuan terhadap kebenaran ayat-ayat Allah yang sampai kepada dirinya, hal itu tidak menjadikan dirinya bagaikan unta yang memasuki lubang jarum. Bila pengakuan itu termanifestasi dalam wujud raga, maka itulah yang akan menjadikannya bagaikan unta memasuki lubang jarum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar