Pencarian

Minggu, 18 September 2022

Rahmat Allah, Hijrah dan Jihad

Rasulullah SAW diutus untuk menjadi rahmat bagi semesta alam. Orang-orang yang bersama beliau SAW adalah orang-orang yang memperoleh rahmat Allah, dan untuk anugerah rahmat itulah manusia diciptakan. Orang-orang yang memperoleh rahmat Allah mengetahui bahwa mata air segala kebaikan adalah rahmat Allah, dan dengan itu mereka menyeru umat manusia untuk kembali kepada Allah.

Di antara orang-orang yang diseru, terdapat golongan manusia yang mengharapkan rahmat Allah. Mereka adalah orang-orang yang beriman dan berhijrah dan berjihad di jalan Allah. Banyak orang yang merasa beriman tetapi tidak memperhatikan hijrah dan jihad mereka, maka mereka tidak benar-benar termasuk pada orang-orang yang mengharapkan rahmat Allah.

﴾۸۱۲﴿إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولٰئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَتَ اللَّهِ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS Al-Baqarah : 218)

Orang yang mengharapkan rahmat Allah adalah orang yang berada di jalan Allah (sabilillah). Bila seseorang tidak berada di jalan Allah, maka mereka tidak dapat dikatakan sebagai orang yang mengharapkan rahmat Allah. Jalan Allah (sabilillah) merupakan jalan tunggal bagi setiap manusia berupa jalan yang ditentukan Allah yang terhubung dengan urusan yang menjadi amanah Rasulullah SAW. Sebagian orang mengetahui dengan pasti sabilillah mereka dengan mengetahui keterkaitan urusan mereka dengan urusan Rasulullah SAW. Sebagian orang berusaha mengetahui sabilillah mereka dengan belajar sungguh-sungguh dan berusaha untuk beramal sesuai dengan apa yang mereka ketahui merupakan perintah dari Alquran dan sunnah Rasulullah SAW. Sebagian orang salah mengenali sabilillah mereka, dan sebagian tidak peduli dengan sabilillah bagi mereka. Cara yang mudah untuk memperoleh bagian sabilillah adalah dengan mengikuti orang lain yang mengenali sabilillah.

Beriman merupakan keadaan manusia dalam mengenali kebenaran, baik dalam tingkat dasar ataupun lanjut. Orang yang beriman adalah orang-orang yang mengenali kebenaran yang bersumber dari Allah dan mengikutinya. Di jaman ini, setiap kebenaran yang bersumber dari Allah mempunyai pembenar dalam Alquran dan sunnah Rasulullah SAW. Bila seseorang tidak dapat mengenali kebenaran yang bersumber dari Allah atau mendustakannya, maka mereka bukan termasuk dari orang yang beriman. Mendustakan kebenaran yang terang dari Allah merupakan perbuatan kafir.

Berhijrah adalah berpindah dari satu keadaan pada keadaan lain yang lebih baik. Rasulullah SAW menjelaskan bahwa berhijrah adalah orang yang berhijrah dari larangan Allah. Apa yang dilarang Allah pada dasarnya adalah setiap keadaan yang buruk, dan mentaati larangan itu berarti menuju keadaan yang lebih baik. Poin penting berhijrah adalah mengenali kemunkaran dan kebaikan berdasarkan kehendak Allah, dan melakukan langkah yang diperlukan untuk menjadi lebih baik. Perintah berhijrah akan menjadikan setiap manusia mengenali kemunkaran dan kebaikan sebagai modal awal untuk menuju Allah, menjadi landasan terbentuknya akal untuk mengenali kehendak Allah.

وَالْمُجَاهِدُ مَنْ جَاهَدَ نَفْسَهُ فِي طَاعَةِ اللَّهِ وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللهُ عَنْهُ
Mujahid adalah, orang yang berjihad memerangi jiwanya dalam ketaatan Allah. Dan muhajir adalah, orang yang berhijrah dari larangan Allah“.(HR Ahmad dalam Musnad 6/21)

Berhijrah menjadi amal yang dijadikan langkah awalan mengharapkan rahmat Allah. Tanpa mempedulikan perintah berhijrah, tidak terbentuk landasan akal yang benar untuk berjalan kepada Allah. Bila seseorang tidak mempedulikan kemunkaran dan kebaikan sebagaimana firman Allah dan sunnah Rasulullah SAW, dan ia berbuat seolah-olah ia mentaati Allah, maka sebenarnya ia tidak menghadap kepada Allah. Perbuatan itu dapat diibaratkan meletakkan teko secara terbalik. Teko itu tidak menghadap dengan seharusnya. Dengan tindakan itu maka ia berbuat hal-hal yang tidak memberikan manfaat. Apa yang disangka merupakan perintah Allah boleh jadi sebenarnya bukanlah perintah Allah tetapi hanya merupakan dorongan hawa nafsu yang mewujud, atau bahkan perintah syaitan. Setiap orang harus memulai langkah mereka dengan berhijrah mengenali kemunkaran dan kebaikan dan berbuat sesuai dengan pengetahuan yang diperoleh.

Berjihad merupakan bentuk amal yang lebih lanjut dari berhijrah. Berjihad adalah bersungguh-sungguh dengan jiwa untuk melaksanakan ketaatan kepada Allah. Setelah akal seseorang mengenali kemunkaran dan kebaikan dengan cara yang sesuai dengan kehendak Allah, mereka harus berusaha untuk mengenali perintah-perintah Allah dalam nafs mereka, dan dengan pengenalan itu mereka beramal dalam ketaatan kepada Allah. Tanpa mengenali urusan-urusan Allah, maka tidak akan terlahir perbuatan berupa ketaatan.

Landasan dasar dalam melakukan hijrah dan jihad yang paling penting diperhatikan adalah sabilillah. Mengharap rahmat Allah hanya dapat dilakukan di atas sabilillah. Sabilillah menunjukkan ketunggalan jalan bersama dengan Rasulullah SAW. Praktisnya, setiap sabilillah mempunyai landasan dalam Alquran dan sunnah Rasulullah SAW, tetapi tidak semua orang yang menunjukkan landasan dari Alquran dan sunnah Rasulullah SAW berada pada sabilillah. Setiap orang harus menggunakan akal untuk berpegang pada makna yang selaras dengan kehendak Allah dalam upaya memahami terminologi sabilillah.

Mengenali Sabilillah

Tidak semua orang mengetahui jalan Allah (sabilillah) untuk ruang dan jaman mereka. Banyak pihak berupaya membangun hijrah dan jihad tetapi tidak mengetahui dan tidak mempedulikan sabilillah untuk ruang dan jaman mereka. Mereka membangun wacana hijrah dan jihad tetapi dengan keadaan itu mereka tidak dapat menemukan sabilillah. Sebenarnya ada orang-orang yang mengetahui sabilillah di setiap jaman, maka hendaknya setiap orang mengikuti perkataan terbaik dan berharap kepada Allah untuk dapat bertemu dan berjalan bersama dengan orang yang mengetahui sabilillah. Bersama mereka, manusia akan memperoleh jalan untuk berharap rahmat Allah.

Menemukan dan mengikuti orang yang mengetahui sabilillah mereka merupakan sebuah kemudahan untuk menemukan sabilillah. Orang yang mengenal sabilillah mereka adalah orang yang mengenal urusan jaman mereka. Mereka mengalami suatu keterbukaan yang dilimpahkan Allah sehingga mereka mengenal diri mereka, mengenal keadaan zaman dan banyak hal terkait ketetapan diri mereka. Keterbukaan itu dalam Alquran disebut dengan Al-Fath (keterbukaan).

﴾۱﴿إِنَّا فَتَحْنَا لَكَ فَتْحًا مُّبِينًا
﴾۲﴿لِّيَغْفِرَ لَكَ اللَّهُ مَا تَقَدَّمَ مِن ذَنبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ وَيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكَ وَيَهْدِيَكَ صِرَاطًا مُّسْتَقِيمًا
(1)Sesungguhnya Kami telah membukakan kepadamu keterbukaan yang nyata (2) supaya Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yang telah lalu dan yang akan datang serta menyempurnakan nikmat-Nya atasmu dan memberikan kamu petunjuk kepada jalan yang lurus (shirat al-mustaqim) (QS Al-Fath : 1-2)

Keterbukaan itu adalah keterbukaan seseorang terhadap shirat al-mustaqim yang ditetapkan Allah bagi diri mereka yang terjadi secara tiba-tiba. Shirat al-mustaqim ini merupakan pokok tujuan keterbukaan yang diberikan kepada seseorang. Bila seseorang menemukan keterbukaan itu, ia akan mengetahui tujuan penciptaan dirinya, mengetahui keadaan sekitarnya sesuai dengan jati dirinya, mengetahui amal-amal yang ditetapkan bagi dirinya agar ia bisa menebus dosa yang telah lalu dan yang akan datang, dan mengetahui jalan yang terdekat untuk kembali kepada Allah. Kadangkala seseorang terlupa dengan tujuan pokok ini dan lebih menekankan perhatian dirinya sebagai orang yang memperoleh kuasa Allah, maka ia tidak melanjutkan perjalanan kembali kepada Allah tetapi justru berbalik menuju alam mulkiyah mereka.

Dalam tingkatan praktis, amal orang yang kembali ke alam mulkiyah dan yang melanjutkan perjalanan menuju Allah setelah memperoleh al-fath boleh jadi akan tampak sama. Mereka akan memakmurkan bumi. Orang yang melanjutkan perjalanan menuju Allah akan menjadikan pemakmuran alam mulkiyah sebagai sarana untuk membangun jalan kembali kepada Allah, sedangkan orang yang kembali ke alam mulkiyah akan menjadikan pemakmuran bumi mereka sebagai tujuan amal-amal mereka. Dalam arah perjalanan, mereka boleh jadi mengarah pada dua hal yang berbeda. Orang yang kembali kepada alam mulkiyah sangat mudah tergelincir menuju neraka.

Orang yang melanjutkan perjalanan di atas shirat almustaqim akan bersama-sama dengan Rasulullah SAW kembali kepada Allah, sedangkan orang yang kembali kepada alam mulkiyah akan tercerai-berai jalannya. Orang yang bersama dengan Rasulullah SAW akan selalu memperhatikan segala sesuatu yang diajarkan Alquran dan sunnah Rasulullah SAW dan berhati-hati agar tidak keluar dari tuntunan yang digariskan Rasulullah SAW, sedangkan orang yang kembali ke alam mulkiyah akan menempuh jalan yang lebih mudah sebagaimana jalannya orang-orang kebanyakan. Mereka mudah tertipu oleh syaitan melakukan amal-amal yang tampak baik bagi mereka. Mereka akan tampak memakmurkan bumi sedangkan akal mereka suatu saat akan merasa asing atau sulit menerima kebenaran-kebenaran yang bersumber dari Allah. Adab dan peradaban tidak akan tumbuh dengan baik tanpa akal yang tumbuh dengan benar, sedangkan kemakmuran yang diwujudkan dengan cara demikian hanya akan menyentuh permukaan saja.

Orang yang memperoleh keterbukaan (al-fath) dan melanjutkan perjalanan bersama Rasulullah SAW inilah orang yang menempuh sabilillah. Tidak ada sabilillah yang tidak bersama-sama dengan Rasulullah SAW di atas jalan yang tunggal ini. Mungkin seseorang berjuang untuk suatu tujuan mulia, tetapi tidak dapat serta-merta dikatakan perjuangannya adalah sabilillah. Allah akan membalas kebaikan yang dilakukannya tanpa dirugikan sedikitpun. Tanda seseorang mengetahui sabilillah adalah ditemukannya keterbukaan seseorang terhadap jati dirinya brsama dengan berbagai ketetapan yang dapat diketahui dari ayat dalam kitabullah, ayat-ayat kauniyah dan ayat dalam diri mereka. Dan seseorang dikatakan menempuh sabilillah manakala ia berjuang untuk urusan Rasulullah SAW bagi ruang dan jamannya berdasarkan sabilillah yang diketahuinya sesuai syariat yang ditetapkan Allah bagi mereka.

Jihad Setelah Hijrah

Al-fath merupakan batas akhir dari pelaksanaan hijrah yang harus dilakukan seseorang dalam berjalan kepada Allah. Ia telah menemukan kedudukan dirinya sesuai kehendak Allah. Itu adalah kedudukan terbaik bagi seseorang, dan tidak ada kedudukan lain yang lebih baik. Selama belum menemukan al-fath, setiap orang harus berusaha mengamati keadaan yang mungkin lebih baik sebagai tempat hijrah. Ketika seseorang menemukan al-fath, maka ia tidak lagi mempunyai kewajiban untuk melakukkan hijrah, tetapi diwajibkan untuk melakukan jihad dan memperbaiki niat.

لاَ هِجْرَةَ بَعْدَ الْفَتْحِ، وَلَكِنْ جِهَادٌ وَنِيَّةٌ، وَإِذَا اسْتُنْفِرْتُمْ فَانْفِرُوْا.
Tidak ada hijrah setelah keterbukaan (al-fath), tetapi yang ada adalah jihad dan niat. Apabila kalian diperintahkan untuk maju (berjihad) maka majulah!” Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (VI/3, no. 2783), Shahiih Muslim (II/986, no. 1353), Sunan at-Tirmidzi (III/73, no. 1638), Sunan Abi Dawud (VII/158, no. 2463).

hal ini menunjukkan tercapainya tujuan hijrah. Bila seseorang telah mencapai tanah haram-nya, maka ia hendaknya berdiam pada tanah haram-nya tidak lagi berupaya untuk berpindah ke kedudukan yang lain. Tanah haram itu adalah pengenalan seseorang tentang shirat al-mustaqim masing-masing. Seseorang tidak boleh berpindah dari shirat al-mustaqim yang telah dikenalinya. Seandainya shirat al-mustaqim itu terasa berat, ia tidak boleh melarikan diri darinya.

Perintah ini tidak menunjukkan ketergesaan dalam melakukan jihad. Akan ada perintah untuk maju berjihad setelah terjadi keterbukaan (al-fath) terutama bagi orang yang menjadi perintis bagi jihad tersebut. Perintah ini terkait dengan kesiapan diri setiap orang, dan jihad demikian tidak dapat dilakukan tanpa melihat kesiapan diri. Syarat ini sedikit berbeda untuk orang-orang yang mengikuti jihad orang lain. Mereka yang mengikuti jihad orang lain termasuk berada di atas sabilillah bila yang diikutinya berada di atas sabilillah.

Pada fase awal keterbukaan (al-fath), tanduk syaitan akan terbit mencampuri keterbukaan yang terjadi. Hal ini terjadi pada usia kurang lebih 40 tahun qamariyah, atau 38-39 tahun syamsiah. Bila seseorang serta-merta menerima semua keterbukaan pada masa itu sebagai suatu kebenaran seluruhnya, maka ia benar-benar telah tertipu oleh syaitan. Kadang-kadang seseorang yang tertipu menganggap kesesatan dalam keterbukaan itu sebagai hal yang benar, sedangkan itu benar-benar jelas bertentangan dengan Alquran dan sunnah Rasulullah SAW. Bila ia melaksanakan semua perintah berjihad pada masa itu, ia mungkin justru akan menghancurkan keadaan orang-orang beriman mengikuti syaitan.

Tanduk syaitan ini merupakan ujian yang sangat berat bagi akal dalam berpegang kebenaran. Fitnah syaitan itu dapat bersifat halus misalnya berupa pengetahuan yang mengkilap tentang diri tetapi tidak diketahui manfaatnya, atau dapat berupa perintah kemunkaran yang jelas-jelas merusak. Akal yang lemah dalam berpegang pada kebenaran akan tertipu. Setiap manusia harus mendidik akalnya agar mempunyai kecerdasan untuk mengenali kebenaran dan kemunkaran. Bila seseorang hanya mengikuti perkataan orang lain dalam berpegang pada kebenaran dan menghukumi kemunkaran, maka ia tidak akan mempunyai akal yang cukup kuat untuk menghadapi fitnah.

Bila seseorang telah membersihkan campuran syaitan dari keterbukaannya, hendaknya ia mengamati keadaan dirinya. Seseorang tidak akan dapat berjihad dengan benar tanpa mengetahui keadaan dirinya terhadap musuhnya. Keterbukaan itu seringkali terjadi dimulai dengan kejelasan keadaan kauniyah secara umum, sedangkan keadaan yang dekat dengan dirinya masih tersembunyi. Bila syaitan berhasil menipu dirinya, ia akan dimanfaatkan untuk berjuang demi kepentingan syaitan sedangkan ia memandang perbuatannya baik. Barangkali hanya ada selipan sedikit dari syaitan, tetapi selipan itu akan menghancurkan orang beriman. Bila syaitan tidak berhasil menipu, seringkali syaitan berhasil menjalar di rumah tangga memisahkan seseorang dengan isterinya. Itu merupakan upaya syaitan yang paling penting setelah upaya menipu seseorang pada masa al-fath. Bila ia telah mengetahui dengan benar keadaan diri dan pola serangan yang dilakukan musuh (syaitan) terhadap dirinya, maka akan muncul perintah untuk maju berjihad sesuai dengan keadaan yang terjadi, maka ia harus berjuang menyelamatkan umatnya dari musuh.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar