Pencarian

Jumat, 23 September 2022

Bumi Tempat Pembinaan Manusia

Allah menciptakan manusia di alam yang paling jauh dari sumber cahaya-Nya, akan tetapi kemudian dijadikan sebagai puncak ciptaan-Nya sebagai penghulu segenap makhluk. Rasulullah SAW adalah penghulu segenap makhluk. Demikian pula beberapa penghulu yang lain juga diciptakan dari kalangan manusia. Mereka menjadi pemimpin-pemimpin bagi para makhluk yang sangat banyak dari seluruh kalangan di langit dan di bumi, sedangkan mereka diciptakan dari bumi dan ditempatkan di bumi, alam yang terjauh dari sumber cahaya.

Bumi merupakan tempat belajar yang dapat melahirkan potensi yang paling besar dalam diri makhluk sebagai bekal untuk menjadi hamba Allah dalam melaksanakan kehendak-kehendak Allah dengan benar, terutama manusia. Mereka diberi aspek jasadiah yang diciptakan dari bumi, dan diberi aspek nafs yang harus kembali kepada Allah agar mereka memperoleh kedudukan yang dijanjikan bagi mereka. Tanpa memperhatikan kedua aspek tersebut, manusia tidak akan dapat berjalan kembali kepada Allah. Nafs manusia harus terbina sebagai makhluk yang sebaik-baiknya dengan memperhatikan aspek jasadiah mereka. Bumi merupakan wahana yang paling baik untuk membina kesempurnaan makhluk dengan akhlak yang mulia.

﴾۴۶﴿اللَّهُ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ قَرَارًا وَالسَّمَاءَ بِنَاءً وَصَوَّرَكُمْ فَأَحْسَنَ صُوَرَكُمْ وَرَزَقَكُم مِّنَ الطَّيِّبَاتِ ذٰلِكُمُ اللَّهُ رَبُّكُمْ فَتَبَارَكَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
Allah-lah yang menjadikan bumi bagi kamu sebagai tempat menetap dan langit sebagai binaan, dan memberikan kalian bentuk rupa lalu membaguskan bentuk rupamu serta memberi kamu rezeki dari at-thayyibat. Yang demikian itu adalah Allah Tuhanmu, Maha Agung Allah, Tuhan semesta alam. (QS Al-Mu’min : 64)

Bumi merupakan tempat pembinaan manusia agar mengerti ikrar yang paling kuat sebagai hamba Allah di antara semua ikrar makhluk berakal yang lain. Mereka mempunyai bagian dari bumi sebagai materi yang paling sulit ditundukkan dibandingkan entitas makhluk lain, dan hal itu hanya dapat dilakukan dengan membina penghambaan yang lebih baik dibanding makhluk lain. Manusia hanya bertempat tinggal sementara di bumi karena bumi hanya merupakan tempat membina ikrar penghambaan, sedangkan jati diri manusia sendiri adalah makhluk yang harus bertempat tinggal di surga dengan seluruh kelengkapan jasadiah maupun alam langitnya.

Ikrar demikian tidak dapat terjadi hanya dengan jasadiah manusia saja. Ikrar demikian hanya dapat dipahami oleh nafs yang tumbuh dalam menghambakan diri kepada Allah. Nafs itulah lokus pembinaan setiap manusia, yang harus tumbuh bersama dengan jasad mereka. Jasad mereka merupakan tempat tinggal yang menetap bagi nafs, sedangkan nafs merupakan entitas yang harus tumbuh dibina menghamba kepada Allah memimpin jasadnya.

Nafs itulah yang bisa berubah bentuk rupa menuju bentuk rupa yang sempurna. Jasad manusia mempunyai bentuk rupa yang relatif tetap tanpa perubahan yang terlihat nyata, tetapi nafs dapat berubah bentuk sesuai keadaan, dari bentuk syaitan dapat berubah hingga seseorang mempunyai bentuk rupa dalam citra Ar-rahman. Ar-rahman tidak menunjuk pada Zat Allah secara langsung, tetapi merupakan turunan wajah Allah yang diperkenalkan kepada makhluk dalam derajat paling sempurna. Rasulullah SAW menjadi makhluk yang memperoleh bentuk rupa dalam citra Ar-rahman yang paling sempurna dibandingkan seluruh makhluk lain, dan orang lain memperoleh bagian turunan dari Rasulullah SAW.

Mengikuti Rasulullah SAW akan mengantarkan seseorang untuk memperoleh shurah yang sebaik-baiknya bagi mereka. Shurah Rasulullah SAW merupakan kesempurnaan akhlak mulia yang diperkenalkan Allah bagi alam semesta. Mengikuti sunnah pada intinya adalah mengikuti penyempurnaan akhlak, tidak boleh direduksi makna itu menjadi hanya berupa mengikuti amal-amal beliau SAW saja. Mengikuti amal-amal beliau SAW itu harus dilakukan untuk membentuk akhlak mulia dalam shurah Ar-rahmaan. Tanpa tujuan akhlak mulia, meniru amal Rasulullah SAW bisa jadi hanya menimbulkan kesombongan. Penyempurnaan akhlak ini hanya dapat dilakukan bila seseorang berharap kepada Allah, karena Allah yang memberikan shurah yang sebaik-baiknya bagi manusia.

Mewujudkan Rezeki Dari Langit dan Bumi

Orang-orang yang memperbaiki keadaan akhlak mereka akan menemukan sumber rejeki sesuai dengan keadaan nafs mereka. Akhlak yang benar akan membuat seseorang memahami petunjuk sesuai dengan Alquran dan sunnah Rasulullah SAW dan mengetahui keadaan jasadiah dan dunia di sekitar mereka berdasarkan Alquran dan sunnah. Dan mereka mempunyai kemampuan untuk memberikan sumbangsih bagi sekitarnya. Itu adalah rezeki berupa rezeki dari langit. Ibarat pohon yang baik, akar mereka menghunjam ke bumi dan pokoknya menjulang ke langit. Dengan pengetahuan dan kemampuan tersebut, maka mereka akan memperoleh suatu sumber rezeki yang dapat mereka olah. Sumber rezeki berdasarkan kesesuaian akhlak nafs yang baik dan keadaan alam itu merupakan at-thayyibaat.

Namun tidak semua orang yang mengetahui at-thayyibaat bisa memperoleh rejeki darinya. Beberapa faktor mempengaruhi kemampuan seseorang dalam berbuat berdasarkan at-thayyibaat yang mereka ketahui. Ada orang-orang yang dimudahkan untuk mengolah segala sesuatu yang mereka ketahui, dan sebagian orang benar-benar tercegah dari at-thayyibaat mereka sehingga tidak bisa mengolahnya. Faktor yang paling besar bagi seseorang untuk dapat mengolah at-thayyibat mereka adalah keberpasangan yang baik dalam pernikahan. Orang yang memperbaiki keadaan pernikahan mereka akan lebih mudah mengolah at-thayyibat. At-thayyibaat menjadi salah satu faktor utama yang harus diperhatikan dalam menempuh pernikahan.

﴾۲۷﴿وَاللَّهُ جَعَلَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَجَعَلَ لَكُم مِّنْ أَزْوَاجِكُم بَنِينَ وَحَفَدَةً وَرَزَقَكُم مِّنَ الطَّيِّبَاتِ أَفَبِالْبَاطِلِ يُؤْمِنُونَ وَبِنِعْمَتِ اللَّهِ هُمْ يَكْفُرُونَ
Allah menjadikan dari nafs kalian isteri-isteri bagi kalian dan menjadikan bagi kalian dari isteri-isteri kamu itu anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki dari at-thayyibat. Maka apakah mereka beriman kepada yang bathil dan kufur terhadap nikmat Allah?" (QS An-Nahl : 72)

At-thayyibaat yang terbentuk dalam pernikahan demikian merupakan sasaran utama syaitan untuk dirusak. Pasangan menikah harus berhati-hati dalam setiap interaksi mereka untuk menghindari terjadinya kerusakan at-thayyibat karena syaitan yang merayap menjalar di antara rumah tangga mereka. Setiap pihak harus berusaha dengan sebaik-baiknya menghindari penyusupan syaitan di antara mereka.

Menghakimi pasangan dengan perkataan orang lain merupakan racun yang disemburkan oleh syaitan yang akan merusak tumbuhnya at-thayyibaat dalam pernikahan. Setiap orang harus mengetahui sendiri keadaan pasangannya melalui interaksi mereka secara langsung, tidak menghakimi dengan pengetahuan orang lain. Perkataan buruk orang lain tentang pasangannya tidak boleh diikuti tanpa dirinya mengetahui kebenaran perkataan itu. Ia harus bisa menunjukkan keburukan pasangannya yang harus diperbaiki dengan pengetahuan sendiri, tidak menuduh pasangannya berdasarkan perkataan orang lain. Tingginya kedudukan dan status orang lain yang memberikan perkataan buruk tidak dapat dijadikan alasan pembenaran menghakimi keburukan pasangan dengan perkataan orang lain. Pernikahan merupakan mitsaqan ghalidza yang hampir setara dengan perjanjian risalah antara Allah dengan Rasul-Nya. Berbuat menghakimi pasangan dengan cara pembenaran dengan perkataan orang lain demikian merupakan racun yang sangat kuat bagi terbinanya rumah tangga. Seorang sahabat hanya mempunyai hak memberikan informasi manakala dibutuhkan.

Kesalahan lebih parah akan terjadi manakala seseorang mendustakan kebenaran dari pasangannya hanya karena perkataan orang lain. Dalam beberapa hal, seseorang bisa saja tumbuh nafs-nya hingga memperoleh shurah sebagai turunan citra Rasulullah SAW. Manakala seseorang mendustakan kebenaran pasangannya yang berakhlak mulia hanya berdasarkan perkataan orang lain, maka ia boleh jadi mendustakan ajaran Rasulullah SAW.

Tuduhan terhadap pasangan dengan kegilaan dan mengikuti syaitan merupakan kerusakan yang besar akibat syaitan. Kesadaran tentang adanya infiltrasi syaitan harus dihadapi sebagai ancaman bersama terhadap mereka, tidak disikapi sebagai bahan menuduh kesalahan satu pihak kepada pihak lain. Ketika pengetahuan itu menjadi tuduhan emosional seseorang terhadap pasangannya, sangat mungkin sebenarnya syaitan berhasil merusak dirinya. Bila pasangannya mau menerima masukannya, atau mempertimbangkan perkataannya dengan sungguh-sungguh baik sepakat atau tidak sepakat, sebenarnya syaitan belum merusak pasangannya. Sepakatnya pasangan merupakan bekal melangkah dengan baik menuju Allah, dan tidak sepakatnya harus dijadikan cermin prasangka yang ada dalam dirinya. Bila syaitan berhasil merusak pasangannya, maka hanya doa dan harapan kepada Allah yang bisa menjadi pengobatnya. Kesabaran menghadapi masalah demikian akan menjadi wahana pembinaan diri, dan bila tidak mampu menghadapi ia bisa mengajukan perceraian.

Seorang perempuan bersuami kadangkala harus mengalami dan akhirnya mengetahui bahwa suami yang emosional mempertahankan pernikahan mereka lebih baik daripada laki-laki lain yang memberikan kelembutan padanya untuk mencuri hatinya. Dalam kasus demikian, hawa nafsu suaminya berjuang untuk sunnah Rasulullah SAW, sedangkan kelembutan laki-laki lain merupakan sikap tidak menghormati sunnah Rasulullah SAW. Tidak ada keshalihan dalam sikap merendahkan sunnah Rasulullah SAW. Wanita demikian harus memilih sunnah Rasulullah SAW daripada mengikuti keindahan bentuk luar berupa adab kelembutan sikap laki-laki lain, dan perkataan suaminya lebih baik dan lebih lurus daripada perkataan laki-laki lain itu. Mungkin ia mengalami kesulitan, tetapi akan menjadi mudah bila ia bersungguh-sungguh. Hal demikian seringkali tidak (hanya) terkait kehormatan, tetapi lebih terkait dengan menghormati sunnah Rasululah SAW.

Bila sepasang suami dan isteri bersepakat atau berpendapat yang sama dalam langkah mereka menuju Allah di atas landasan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW, maka mereka akan berjalan dengan baik menuju Allah. Boleh jadi mereka akan berhasil membentuk bayt untuk meninggikan asma Allah melalui pernikahan mereka, atau boleh jadi mereka tidak berhasil membentuk bayt demikian, akan tetapi mereka bisa berjalan kepada Allah dengan benar dengan berpasangan. Ada kelebihan bagi suatu pasangan bila mereka membentuk bayt, tetapi kadangkala Allah tidak membuka jalan membentuk bayt. Mereka mungkin berhasil memahami dan menjalankan agama, tetapi tidak dapat memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi orang lain melalui fadhilah dan keberpasangan mereka.

Hanya bila terbentuk bayt, maka seseorang akan diberi kemampuan untuk meninggikan asma Allah melalui bayt mereka. Setiap pasangan hendaknya berusaha untuk dapat mewujudkan bayt demikian, tidak melambatkan langkah mereka dalam berjalan menempuh jalan Allah. Allah akan memberikan petunjuk untuk mewujudkan bayt setelah mereka mencapai tanah haram mereka berupa pengenalan penciptaan diri. Bila mereka patuh kepada petunjuk Allah, Allah akan memberikan petunjuk langkah yang harus dilakukan untuk menuju terwujudnya bayt. Setiap orang harus berusaha melihat dengan sungguh-sungguh kebenaran petunjuk di antara mereka, tidak hanya mengikuti hawa nafsu apalagi perkataan orang lain. Bila masing-masing menuduh pasangannya terseret obsesi yang berupa petunjuk, langkah mereka akan sulit. Syaitan akan masuk dalam hubungan mereka baik secara langsung di antara mereka atau melalui sekutu mereka. Bila mereka mempunyai sekutu yang tepat dari kalangan manusia, maka hasutan syaitan itu akan mempunyai daya rusak yang sangat kuat.

Nabi Ibrahim a.s memberikan tauladan membentuk dua bayt, yaitu bayt al-haram dan bayt al-quds. Beliau membentuk bayt terlebih dahulu bersama isteri kedua, dan kemudian membentuk bayt bersama isteri pertama. Itu adalah millah beliau a.s yang mungkin tidak sama dengan petunjuk kepada orang lain. Kedua bayt itu menjadi qiblat bagi orang-orang beriman sepanjang masa karena dengan bayt itu nabi Ibrahim a.s meninggikan asma Allah. Demikian orang-orang beriman dapat mengikuti tauladan beliau membentuk bayt untuk meninggikan asma Allah sesuai dengan jati diri masing-masing. Dengan terbentuknya bayt, seseorang akan memperoleh kesempatan untuk mengikuti Rasulullah SAW bertaubat kembali kepada Allah.

Perjuangan mengikuti langkah Rasulullah SAW kembali kepada Allah dari alam bumi akan membuka suatu potensi penghambaan kepada Allah dalam intensitas yang sangat besar. Bumi akan menjadi tempat pembinaan ikrar yang sangat kuat, dan nafs mereka akan tumbuh menjadi makhluk yang berakal kuat dalam menghambakan diri kepada Allah. Derajat mereka akan berbeda dengan makhluk berakal yang lain.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar