Pencarian

Kamis, 01 September 2022

Mengenal Kebenaran Melampaui Fitnah

Allah SWT dalam Alquran menjelaskan tentang tanda batas keimanan. Tanda itu dapat dijadikan bahan uji oleh seseorang apakah dirinya termasuk dalam golongan orang beriman atau sebenarnya ia belum melewati batas itu. Tanda yang diberikan Allah kepada hamba-Nya adalah didatangkannya fitnah kepada mereka. Bila mereka mensikapi fitnah itu dengan benar, maka ia termasuk dalam golongan orang beriman, sedangkan bila ia salah, maka ia tidak boleh mengatakan bahwa ia termasuk orang beriman.

﴾۲﴿أَحَسِبَ النَّاسُ أَن يُتْرَكُوا أَن يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ
﴾۳﴿وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ
﴾۴﴿أَمْ حَسِبَ الَّذِينَ يَعْمَلُونَ السَّيِّئَاتِ أَن يَسْبِقُونَا سَاءَ مَا يَحْكُمُونَ
(2)Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang tidak kami datangkan bagi mereka fitnah?(3)Dan sesungguhnya kami telah datangkan fitnah pada orang-orang yang sebelum mereka, maka sungguh Allah mengetahui orang-orang yang berbuat benar dan sungguh Dia mengetahui orang-orang yang berbuat dusta. (4)Ataukah orang-orang yang mengerjakan sayyiah itu mengira bahwa mereka akan mendahului Kami? Amatlah buruk apa yang mereka tetapkan itu. (QS Al-’Ankabuut: 2-4)

Rasulullah SAW telah memberikan penjelasan yang sangat baik tentang fitnah. Fitnah bagi orang-orang beriman akan dihadapkan kepada hati mereka secara berangsur-angsur, satu helai demi satu helai. Setiap helai yang didatangkan kepada hati orang beriman harus dihadapi dengan tepat. Bila yang datang adalah helai kebenaran, ia harus mengenali helai itu sebagai kebenaran. Bila helai yang datang adalah helai kemunkaran, ia harus mengenali helai itu sebagai kemunkaran. Bila seseorang salah mengenali helai yang datang, maka hati mereka akan tertutup noktah hitam yang menghalanginya dari keimanan.

تُعْرَضُ الْفِتَنُ عَلَى الْقُلُوبِ كَالْحَصِيرِ عُودًا عُودًا فَأَىُّ قَلْبٍ أُشْرِبَهَا نُكِتَ فِيهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ وَأَىُّ قَلْبٍ أَنْكَرَهَا نُكِتَ فِيهِ نُكْتَةٌ بَيْضَاءُ حَتَّى تَصِيرَ عَلَى قَلْبَيْنِ عَلَى أَبْيَضَ مِثْلِ الصَّفَا فَلاَ تَضُرُّهُ فِتْنَةٌ مَا دَامَتِ السَّمَوَاتُ وَالأَرْضُ وَالآخَرُ أَسْوَدُ مُرْبَادًّا كَالْكُوزِ مُجَخِّيًا لاَ يَعْرِفُ مَعْرُوفًا وَلاَ يُنْكِرُ مُنْكَرًا إِلاَّ مَا أُشْرِبَ مِنْ هَوَاهُ
Fitnah-fitnah itu akan dihadapkan kepada hati, seperti tikar, satu serat satu serat. Hati mana saja yang menyerap fitnah itu, maka satu noda hitam tertempel dalam hatinya. Dan hati mana saja yang tidak menerimanya, akan tertitiklah pada hati itu satu titik putih, sehingga, jadilah hati itu dua macam; putih seperti batu pualam, sehingga fitnah apapun tidak akan membahayakannya selama ada langit dan bumi, sementara hati lainnya berwarna hitam legam, seperti teko/ceret terbalik, tidak mengenal kebaikan dan tidak mengingkari kemunkaran selain hawa nafsu yang diserapnya. [HR Muslim no. 144]

Keimanan terkait dengan pengenalan seseorang terhadap kebaikan dan kemunkaran. Seseorang tidak layak mengatakan dirinya beriman bila ia tidak dapat mengenali kebaikan dan kemunkaran dengan benar. Bila seseorang hanya mengikuti kata orang lain tentang kebaikan dan kemunkaran tanpa mengenalinya dengan hati, maka ia belum benar-benar melewati batas minimal keimanan. Bila seseorang mempunyai hasrat terhadap sesuatu yang hakikatnya merupakan kebaikan, dan membenci sesuatu yang hakikatnya merupakan kemunkaran, maka boleh jadi ia termasuk dari golongan orang-orang beriman. Hati orang beriman tidak dapat bersikap netral terhadap kebenaran dan kemunkaran yang sampai ke hatinya, walaupun mungkin tidak terwujud dalam amalnya.

Penyesalan Karena Fitnah

Tanpa mempunyai pemahaman terhadap kebenaran, kelak seseorang akan menyesali kehidupannya yang telah lampau karena hanya mengikuti kata-kata orang lain dalam meniti kehidupan dengan tujuan yang dianggap mulia. Mereka akan menemukan bahwa pengajaran yang diterima dari panutannya sebenarnya melenceng dari sunnah, sedangkan mereka menginginkan pengajaran yang lurus untuk sampai kepada Allah. Penyesalan mereka bertambah manakala mereka sebenarnya telah mendengar pula pengajaran yang benar dari orang lainnya.

﴾۸۲﴿يَا وَيْلَتَىٰ لَيْتَنِي لَمْ أَتَّخِذْ فُلَانًا خَلِيلًا
﴾۹۲﴿لَّقَدْ أَضَلَّنِي عَنِ الذِّكْرِ بَعْدَ إِذْ جَاءَنِي وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِلْإِنسَانِ خَذُولًا
(28) Kecelakaan besarlah bagiku; kiranya aku (dulu) tidak menjadikan si fulan itu sebagai khalil (29).Sesungguhnya dia telah menyesatkan aku dari Ad-dzikra ketika ad-dzikra itu telah datang kepadaku. Dan adalah syaitan itu tidak mau menolong.(QS Al-Furqan : 29)

Bagi sebagian orang, penyesalan itu bisa datang sebelum di akhirat bahkan ia mengetahui penyesalan itu dalam kehidupan dunia, akan tetapi ia mempunyai kesempatan yang relatif lebih panjang dan tersedia ladang bertumbuh untuk memperbaiki keadaan daripada orang yang menyesalinya kelak di akhirat. Mereka adalah orang yang memperoleh adz-dzikra yang diturunkan Allah, sehingga mereka dapat melihat ketidaklurusan dan melencengnya pengajaran yang diperoleh sebelumnya. Hal demikian barangkali tidak sepenuhnya bisa disebut penyesalan, akan tetapi banyak hal yang memberatkan hati. Kerugian karena hal itu tidak secara langsung menjadi beban baginya, akan tetapi betapa ia akan menyayangkan hal-hal yang seharusnya tidak perlu terjadi.

Dalam keadaan demikian ia mungkin tidak menyesali keadaan dirinya, tetapi tetap saja ia akan merasa dadanya sesak melihat orang-orang terdekatnya tidak melihat bahaya yang mengintai jalan kehidupan mereka. Seseorang mungkin akan tercekat ketika perlahan-lahan disadarinya bahwa langkahnya untuk mengikuti sunnah Rasulullah SAW terhalang. Bukan ia tersesat, akan tetapi langkah itu terhalang hingga tidak lagi dapat melangkah sesuai dengan yang ia ketahui dari Alquran. Yang sebelumnya disangka bahwa ia merelakan hanya kehilangan dunia, kemudian disadari bahwa ternyata ia kehilangan setengah agama karena syaitan telah sedemikian merusak setengah agamanya. Apa yang sebelumnya disangka bahwa sahabatnya memperhatikan dirinya dengan argumentasi mereka, kemudian disadari bahwa para sahabatnya tidak dapat memahami perkataan yang disampaikannya, karena hati mereka tidak menghadap dengan tepat kepada Allah tetapi terhijab sesuatu. Dan semua langkah yang diketahui dari tuntunan Allah untuk semua masalah itu ternyata dihalangi tanpa celah, seolah-olah ia hidup sendirian tanpa sahabat bersama dengan dirinya. Kehidupannya untuk dunia dan akhirat seolah-olah terpenjara dalam kesendirian. Hanya lembar-lembar catatan yang mau menampung semua masalah yang dilihatnya.

Masalah terbaliknya meletakkan teko secara dzahir dapat dilihat dalam contoh seorang isteri yang tidak mentaati suami dan menghadapkan wajah ke arah yang lain. Seandainya isteri yang terlihat shalih terus berpegang pada keyakinan bahwa dirinya adalah ahli surga, seorang laki-laki mungkin akan mengetahui bahwa isterinya akan menjadi ahli neraka. Anggapan orang lain tentang kebaikan isterinya tidak akan membantu menghilangkan sesak di dadanya. Ia lebih mengetahui kedudukan isterinya, bahwa syaitan telah menipu dengan menghias pandangannya. Orang lain hanya dapat memandang indahnya teko yang terbentuk dalam diri isterinya, sedangkan ia mengetahui bahwa teko indah itu diletakkan terbalik, tidak menghadap kepada dirinya sebagai sarana istrinya menuju Allah. Cara memandang yang buruk isterinya yang diarahkan kepadanya akan terasa berat, tetapi tidaklah sebanding dengan beratnya keyakinannya yang keliru karena dihias syaitan.

Demikian pula bila terjadi pada para sahabatnya. Barangkali ia melihat bahwa mereka telah berupaya dengan keras untuk membentuk hati mereka sebagai wadah bagi pengetahuan ilahiah, akan tetapi tidak menyadari bahwa mereka meletakkan teko minuman mereka secara terbalik. Para laki-laki harus memperoleh washilah yang bersambung hingga Rasulullah SAW, yang ditandai dengan ketepatan dalam pemahaman terhadap Alquran dan sunnah Rasulullah SAW tidak melenceng. Barangkali seseorang menginginkan agar para sahabatnya membetulkan cara mereka meletakkan ceret agar mereka memperoleh pengetahuan kebenaran, dan dapat membagikan minuman yang mereka peroleh bagi yang lain. Akan tetapi hal itu tidak mudah dilakukan, karena sahabatnya sulit mengerti apa yang dikatakannya, seolah-olah mereka terhijab untuk memahami kata-katanya.

Boleh jadi Allah menunjukkan sahabat bagi seseorang yang bisa menemani dan membantu urusannya untuk memberikan penjelasan tentang jalan terang yang dikehendaki Allah. Hal ini merupakan hadiah yang sangat besar nilainya. Akan tetapi pelaksanaannya tidak mudah dalam masyarakat demikian, dan syaitan tidak berdiam. Ia akan hilir mudik di antara dirinya dan sahabatnya menghembuskan perselisihan. Tidak hanya demikian, syaitan akan mendatangi orang-orang di sekitar mereka untuk menggagalkan persatuan yang harus dibentuk. Kadang dihembuskan fitnah di antara manusia melalui orang-orang yang mensekutui urusan syaitan. Urusan mengajarkan ad-dzikra itu seringkali tidak mudah untuk dilaksanakan di antara masyarakat demikian.

Hal demikian itu merupakan penyesalan di dunia yang akan dihadapi seseorang ketika menyadari bahwa ajaran yang diikutinya tidak sepenuhnya mengikuti firman Allah dalam Alquran. Penyesalan yang akan dihadapi oleh orang yang tidak menyadari kurang lurusnya mereka kelak akan lebih berat lagi, mereka akan menyesali diri mereka sendiri. Mereka tidak menyadari bahwa mereka telah meletakkan teko mereka secara terbalik. Mereka mengikuti Alquran dalam lingkup pemahaman sendiri dan membatasi sumbernya dari khalil mereka, tidak menerima Alquran yang dibacakan oleh orang lain walaupun dalam kategori adz-dzikra. Kadangkala mereka berasal dari golongan yang lurus, tetapi tidak mau mengerti pesan pendahulu mereka yang lurus.

Sebenarnya ada peran syaitan dalam pola yang terlihat sedikit tergeser dari kebenaran demikian. Dalam pengetahuan syaitan, upaya mereka itu sebenarnya bernilai besar, yaitu menggeser pandangan manusia dalam meniti jalan kepada Allah melalui jalan yang diturunkan-Nya, digeser pada suatu hijab yang tidak terhubung lurus kepada Rasulullah SAW. Kelak syaitan akan berlepas diri dari manusia yang menyesali perjalanan mereka di dunia. Mereka telah berperan dalam menyelewengkan perjalanan manusia, tetapi tidak akan mau membantu meringankan penyesalan mereka sedikitpun walaupun hanya kesaksian bagi rabbul-’alamiin.

Orang Yang Benar dan Dusta

Allah senantiasa memberikan fitnah-fitnah kepada hamba-Nya di sepanjang zaman untuk menunjukkan orang-orang yang benar dalam ibadah mereka kepada Allah, dan juga memperlihatkan orang-orang yang beribadah dengan kedustaan. Orang-orang yang benar ibadahnya akan memahami kebenaran dan kemunkaran sesuai dengan kehendak Allah, tidak terbalik-balik mengenalinya walaupun dalam wujud yang terbalik. Misalnya sekalipun malaikat Allah yang tertinggi memerintahkan berbuat kemunkaran, ia tidak akan berbuat kemunkaran yang diperintahkan. Orang-orang yang beribadah tanpa sebuah keinginan yang kuat untuk menghambakan dirinya kepada Allah akan terseret dalam fitnah, ia tidak benar-benar memahami kehendak Allah.

Kedustaan dalam ibadah kepada Allah tidak selalu berlandaskan keinginan berdusta. Ketika seseorang menampakkan tingkat ibadahnya dalam level tertentu sedangkan ia tidak mempunyai landasan untuk level itu, maka ia sebenarnya telah berdusta. Ketika seseorang tidak dapat mengenali kebaikan dan kemunkaran sebagaimana kehendak Allah sedangkan ia menampakkan ibadah sebagai seorang yang paling mengenali kebaikan dan kemunkaran, maka ia telah berdusta dalam ibadahnya tersebut. Seorang dengan akhlak muslim yang menginginkan orang lain bersikap kepadanya sebagai seorang mukmin sebenarnya telah berdusta. Allah mengetahui orang-orang yang benar dalam ibadahnya dan akan mengujinya dengan fitnah, dan Allah mengetahui orang-orang yang berdusta dalam ibadahnya.

Masalah kedustaan ini menyebabkan orang-orang terhijab dari jalan Allah, dan kelak mereka akan menyesali telah menjadikannya sebagai khalil mereka. Jalan yang ditunjukkannya bagi orang lain hanya menyentuh kulitnya tidak menyentuh isi (ad-dzikra) yang dikehendaki Allah dan sunnah Rasulullah SAW, dan dengan hal itu manusia mengikuti dirinya dan menghindari adz-dzikra. Masalah bagi orang lain juga muncul ketika fitnah yang tidak ia kenali hakikatnya menyebar di antara masyarakat menjadi hijab yang menyesatkan masyarakat dalam membaca Alquran. Syaitan mengambil keuntungan dari fitnah yang muncul, kemudian menjadikan mereka mempunyai keyakinan benarnya langkah mereka, sedangkan langkah mereka tidak sesuai dengan adz-dzikra yang diturunkan Allah. Mereka akan melihat amal mereka sebagai amal yang meniti jalan Allah, sedangkan mereka terhijab dari jalan yang dikehendaki Allah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar