Pencarian

Jumat, 30 September 2022

Perang dan Penghormatan

Allah telah memberikan petunjuk kepada manusia agar dapat menempuh jalan kembali kepada-Nya dengan menjadi makhluk dengan akhlak mulia. Tidak ada makhluk yang menempuh jalan taubat tanpa berusaha membentuk diri dalam akhlak mulia, dan sebaliknya akhlak mulia hanya terbentuk pada orang-orang yang kembali kepada-Nya. Orang yang berakhlak mulia adalah orang-orang yang membentuk dirinya dalam citra Ar-rahmaan, dan hal itu hanya terbentuk bila seseorang berusaha mengikuti sunnah Rasulullah SAW dan memahami Alquran. Tidak ada akhlak mulia dari sesuatu yang bertentangan dengan Alquran dan sunnah Rasulullah SAW.

Seringkali muncul beberapa sikap bathin seseorang yang bertentangan dengan petunjuk Allah. Hal itu menunjukkan keadaan akhlak seseorang yang belum selaras dengan Alquran. Dalam keadaan demikian, hendaknya seseorang tidak menyalahkan Alquran, dan hendaknya berusaha membentuk sikapnya sesuai dengan Alquran. Barangkali seseorang perlu membentuk kembali seluruh pondasi pengetahuannya dan akhlaknya, atau mungkin ia hanya mengalami suatu khilaf tertentu atau kurang faham yang tidak fundamental dan kadang tidak dapat dipaksa diperbaiki. Yang sangat penting diperhatikan adalah bahwa kehendak Allah yang benar tersebutkan dalam Alquran, tidak sebagaimana pendapat dirinya. Bila ia lebih mempercayai pendapatnya, ia telah benar-benar tersesat.

Di antara contoh hal yang tidak disukai manusia adalah berperang. Ditetapkan bagi orang-orang beriman yang mengikuti Rasulullah SAW ketika tertimpa kesengsaraan dan keguncangan untuk berperang. Orang yang tidak mengikuti Rasulullah SAW dalam urusan beliau SAW belum diberi ketetapan itu. Barangkali orang-orang beriman tidak menyukai berperang, akan tetapi dalam keadaan demikian, berperang lebih baik dalam pandangan Allah walaupun orang-orang tidak beriman tidak menyukai. Seringkali terdapat banyak kebaikan pada hal yang tidak disukai dan banyak sering pula terdapat banyak kejahatan dalam hal yang disukai. Orang-orang beriman belum tentu mengetahui kebaikan dalam hal yang tidak disukai dan belum tentu mengetahui keburukan dalam hal-hal yang mereka sukai.

﴾۶۱۲﴿كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَّكُمْ وَعَسَىٰ أَن تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ وَعَسَىٰ أَن تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (QS Al-Baqarah : 216)

perintah berperang itu kadangkala terasa sangat berat yang disebabkan keterkaitan dengan penghormatan-penghormatan yang harus dilakukan. Berperang pada bulan-bulan haram merupakan hal sangat besar di mata Allah dan di mata manusia karena terkait penghormatan yang harus dilakukan manusia. Akan tetapi kadangkala berperang dengan melanggar penghormatan-penghormatan perlu dilakukan oleh orang-orang beriman untuk kebaikan dari sisi Allah.

Sebagaimana bharatayudha, seseorang kadangkala harus berperang melawan orang-orang yang dihormati dari kalangan keluarga mereka sendiri agar tidak terjadi fitnah yang besar di antara manusia dan suatu kebaikan dapat terbit. Seringkali suatu kebaikan terhalang dari manusia karena adanya fitnah yang tersebar di antara manusia. Bila suatu kebaikan di sisi Allah dikatakan sebagai keburukan, dan suatu keburukan di sisi Allah dikatakan sebagai kebaikan, maka hal itu dapat dikatakan sebagai suatu fitnah. Fitnah menimbulkan suatu penderitaan di antara manusia karena suatu keburukan yang dipandang baik dan suatu kebaikan dipandang buruk.

﴾۷۱۲﴿يَسْأَلُونَكَ عَنِ الشَّهْرِ الْحَرَامِ قِتَالٍ فِيهِ قُلْ قِتَالٌ فِيهِ كَبِيرٌ وَصَدٌّ عَن سَبِيلِ اللَّهِ وَكُفْرٌ بِهِ وَالْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَإِخْرَاجُ أَهْلِهِ مِنْهُ أَكْبَرُ عِندَ اللَّهِ وَالْفِتْنَةُ أَكْبَرُ مِنَ الْقَتْلِ وَلَا يَزَالُونَ يُقَاتِلُونَكُمْ حَتَّىٰ يَرُدُّوكُمْ عَن دِينِكُمْ إِنِ اسْتَطَاعُوا وَمَن يَرْتَدِدْ مِنكُمْ عَن دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُولٰئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَأُولٰئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah: "Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi dari jalan Allah, dan kafir kepadanya dan (menghalangi dari) masjid alharam dan mengusir penduduknya darinya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. Dan fitnahnya lebih besar daripada berperang. Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka mengembalikan kamu dari agamamu seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itu sia-sia amalnya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.(QS Al-Baqarah : 217)

beberapa hal mempunyai bobot kebaikan yang lebih besar di sisi Allah daripada penghormatan yang perlu dilakukan. Menghalangi manusia dari jalan Allah, kekufuran terhadap jalan Allah, menghalangi manusia dari masjid al-haram dan mengusir penduduknya dari tanah haram merupakan hal-hal yang buruk dan bobotnya lebih besar daripada melangga penghormatan-penghormatan yang harus dilakukan. Demikian pula suatu fitnah tertentu mempunyai bobot lebih besar kerusakannya daripada kerusakan yang diakibatkan oleh perang. Karenanya perang itu lebih baik daripada tidak berperang untuk mengurangi kerusakan yang ditimbulkan. Berperang dalam perkara demikian bukan berarti tidak mempunyai penghormatan terhadap hal-hal yang harus dihormati, akan tetapi kebaikan dalam perang itu lebih baik daripada penghormatan yang harus dilakukan.

 

Jalan Allah dan Masjid Al-Haram

Jalan Allah dan masjid al-haram yang di sebut ayat di atas merupakan komponen dan parameter perjalanan seseorang menuju Allah, yang mencakup hal dzahir dan bathin yang sejalan bersama-sama. Berjalan menuju Allah harus ditempuh dengan mengikuti sunnah Rasulullah SAW dan millah Ibrahim a.s baik secara dzahir maupun bathin. Seseorang harus berhijrah menuju tanah haram kemudian membangun bayt sebagaimana millah Ibrahim a.s, dan melayani umatnya melalui bayt tersebut dengan meninggikan asma Allah, baru kemudian berharap dapat mengikuti nabi Muhammad SAW agar dijadikan sebagai hamba yang didekatkan. Hal itu harus dilakukan secara dzahir bersama dengan makna bathin dari semua langkah itu. Tanpa hal demikian, mungkin seseorang tidak melangkah menuju Allah, atau ia tersesat langkahnya menuju Allah.

Jalan Allah (Sabililillah) adalah suatu jalan tunggal yang menghubungkan seorang manusia untuk kembali kepada Allah dalam jarak yang paling dekat. Jalan itu adalah jalan yang dipimpin oleh Rasulullah SAW. Setiap orang yang benar-benar mengikuti beliau SAW di sabilillah mengetahui kemanunggalan amal shalihnya bersama dengan amr Rasulullah SAW bagi ruang dan waktu mereka. Tanpa jalan itu, sebenarnya tidak ada makhluk yang dapat menemukan jalan kembali kepada Allah karena Dia tidak akan terjangkau oleh makhluk.

Tunggalnya sabilillah tidak dapat dipecah dalam bagian yang terpisah. Seseorang tidak boleh mengikuti orang lain yang menyelisihi Alquran dan sunnah Rasulullah SAW. Seandainya seseorang mengikuti nabi Musa a.s berhijrah hingga ia menemukan tanah haram pengenalan diri, dan ia meninggalkan sunnah Rasulullah SAW, maka ia telah tergelincir dari jalan yang setimbang. Sabilillah merupakan jalan tunggal bersama Rasulullah SAW. Seseorang tidak dapat menempuh jalan sabilillah pada jalan yang berselisih dengan sunnah Rasulullah SAW, sekalipun andai mereka mengikuti nabi Musa a.s yang masih hidup.

أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رضي الله عنه أَتَى رَسُوْلَ اللهَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِنُسْخَةٍ مِنَ التَّوْرَاةِ، فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ الله،ِ هَذِهِ نُسْخَةٌ مِنَ التَّوْرَاةِ. فَسَكَتَ فَجَعَلَ يَقْرَأُ وَوَجْهُ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَغَيَّرُ. فَقَالَ أَبُوْ بَكْرٍ: ثَكِلَتْكَ الثَّوَاكِلُ مَا تَرَى مَا بِوَجْهِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ فَنَظَرَ عُمَرُ إِلَى وَجْهِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : أَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ غَضَبِ اللهِ وَغَضَبِ رَسُوْلِهِ، رَضِيْنَا بِاللهِ رَبًّا وَبِالْإِسْلاَمِ دِيْنًا وَبِمُحَمَّدٍ نَبِيًّا. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لَوْ بَدَا لَكُم مُوْسَى فَاتَّبَعْتُمُوْهُ وَتَرَكْتُمُوْنِي لَضَلَلْتُمْ عَنْ سَوَاءِ السَّبِيْلِ، وَلَو كَانَ حَيًّا وَأَدْرَكَ نُبُوَّتِي لاَتَّبَعَنِيْ
Umar ibnul Khaththab ra datang kepada Rasulullah SAW membawa salinan dari kitab Taurat. Ia berkata, “Wahai Rasulullah, ini salinan dari kitab Taurat.” Rasulullah SAW terdiam. Umar mulai membacanya dalam keadaan wajah Rasulullah SAW berubah. Melihat hal itu, Abu Bakr berkata kepada Umar, “Betapa ibumu kehilanganmu, tidakkah engkau melihat perubahan pada wajah Rasulullah?” Umar melihat wajah Rasulullah SAW lalu berkata, “Aku berlindung kepada Allah dari kemurkaan Allah dan Rasul-Nya. Kami ridha Allah sebagai Rabb kami, Islam sebagai agama kami, dan Muhammad sebagai Nabi kami.” Rasulullah SAW berkata, “Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, seandainya Musa as muncul kepada kalian kemudian kalian mengikutinya dan meninggalkan aku, sungguh kalian telah sesat dari jalan yang setimbang. Seandainya Musa masih hidup dan menemui masa kenabianku, niscaya ia akan mengikutiku.” (HR ad-Darimi no. 436)

Nabi Musa a.s tidaklah tersesat, tetapi setiap orang harus berusaha mengikuti Rasulullah SAW untuk menempuh sabilillah tidak terhijab oleh panutan lain. Seandainya beliau a.s hidup pada jaman ini dan seseorang mengikuti beliau a.s tapi meninggalkan sunnah Rasulullah SAW, maka ia telah tersesat, karena pokok kembali kepada Allah adalah Alquran dan sunnah Rasulullah SAW. Demikian pula bila seseorang mengikuti orang lain dengan meninggalkan Alquran dan sunnah Rasulullah SAW, maka ia benar-benar telah tersesat.

Masjid al-haram merupakan tempat bersujud di tanah haram. Hal demikian sebenarnya tidak hanya menunjuk tanah suci makkah, tetapi juga menunjuk pada suatu keadaan seseorang yang telah berada di atas qadha Allah, qadha yang dijadikan sebagai sarananya bersujud kepada Allah. Tanah haram juga mempunyai makna bathin sebagai sesuatu berupa jati diri setiap manusia yang dijanjikan bagi manusia sebagai tempat bersujud. Orang yang telah mengenal penciptaan dirinya adalah orang yang telah mengenali tanah haramnya. Mereka adalah penduduk tanah haram.

 

Fitnah dalam Perbuatan Menghalangi Manusia

Menghalangi dari jalan Allah, kafir terhadapnya dan menghalangi dari masjid alharam dan mengusir penduduknya darinya merupakan perbuatan dzalim terhadap orang-orang beriman. Hanya orang beriman yang menempuh jalan kembali kepada Allah, dan mereka adalah orang-orang yang baik dan tidak jahat. Upaya demikian hanya dilakukan manusia karena mereka mengikuti fitnah tanpa mau mengetahui kebenaran dari apa yang diupayakan oleh orang-orang beriman. Fitnah yang diikuti orang yang menghalangi upaya demikian sebenarnya merupakan fitnah yang sangat besar, bukan semata suatu fitnah yang membuat persepsi manusia berubah dan saling curiga. Fitnah dibalik fenomena berupa menghalangi manusia dari jalan Allah mempunyai kejahatan yang lebih besar daripada perang. Setiap orang hendaknya benar-benar berpikir ketika mengetahui bahwa dirinya menghalangi langkah orang lain dari jalan Allah, karena boleh jadi fitnah yang diikutinya benar-benar lebih jahat dari pembunuhan dan semua peperangan yang mungkin terjadi.

Fitnah terbesar yang akan menimpa umat manusia akan ditandai dengan terpisahnya seorang wanita dari suaminya. Orang-orang yang makrifat terhadap Allah mengetahui benar bahwa hal demikian merupakan fitnah yang dibuat oleh golongan syaitan yang tinggi yang berada di atas ‘arsy mereka, sebagai sumber fitnah yang paling besar dalam seluruh kehidupan umat manusia. Tidak boleh ada orang bertindak bodoh dengan bermain-main atau tertipu memisahkan perempuan dari suaminya. Apa yang mereka lakukan akan mendatangkan penderitaan yang paling besar bagi umat manusia.

Pemisahan paksa seorang perempuan dari suaminya termasuk suatu bentuk pengusiran seseorang dari tanah haramnya. Perempuan adalah ladang bagi pohon thayyibah suaminya, dan pernikahan mereka didasarkan pada perjanjian terkuat di alam semesta berupa mitsaqan ghalidza. Bila seorang perempuan dipisahkan dari suaminya dengan paksaan, maka ia bagaikan bumi yang tercabut pohonnya, sedangkan bumi itu merupakan turunan tanah haram. Selain ikatan pernikahan, ada bentuk-bentuk lain yang menggambarkan hubungan tanah haram dan penduduknya. Kadangkala seseorang mengenal diri dan mengenal pasangan yang diciptakan dari nafs dirinya, maka keberpasangan itu juga merupakan bentuk hubungan tanah haram dan penduduknya selama dapat dilakukan pernikahan tanpa melanggar syariat. Seseorang yang mengetahui kodrat dirinya juga merupakan bentuk penduduk tanah haram dan bumi mereka. Memutuskan hubungan di antara mereka merupakan bentuk mengusir penduduk tanah haram dari bumi mereka, dan fitnah yang akan timbul harus disadari sangatlah besar.

 

Murtad dari Agama

Upaya menghalangi dari jalan Allah yang tersebut pada ayat di atas merupakan fitnah yang dibuat oleh pihak tertentu yang sebenarnya mengikuti syaitan baik disadari ataupun karena tertipu. Bila orang tersebut tidak berhenti mengikuti syaitan, maka mereka akan terus-menerus berusaha mengembalikan manusia dari jalan Allah. Orang-orang beriman yang berada pada gerbang tanah haram mereka harus selalu waspada bahwa orang-orang yang menghalangi akan selalu mengupayakan agar ia kembali murtad dari agamanya. Orang yang berada di gerbang tanah haram merupakan orang yang berada di gerbang agama, mereka dijadikan sasaran untuk dibalikkan dari agama mereka.

Mereka akan menghalangi manusia dari jalan Allah dengan mengerahkan kesanggupan mereka tanpa henti-henti hingga orang-orang beriman yang berbalik dari langkahnya mengikuti millah Ibrahim a.s dan sunnah Rasulullah SAW. Kesanggupan berupaya menghalangi akan mempunyai efektifitas yang lebih besar manakala dilakukan oleh orang-orang yang tersesat dari jalan Allah, karena mereka telah mengetahui sebagian jalan kembali kepada Allah. Orang-orang yang kafir akan mudah diabaikan oleh orang-orang beriman, tetapi upaya orang-orang yang tersesat seringkali akan sulit dikenali karena keserupaan dan kedekatan arah dan tujuan kehidupan dengan orang beriman. Hendaknya orang-orang beriman selalu memperhatikan petunjuk Allah dalam Alquran dan sunnah Rasulullah SAW agar tidak terlepas dari agamanya.

Bilamana seseorang yang telah berada di gerbang tanah haram kembali berbalik dari jalan Allah tanpa melanjutkan langkahnya mengikuti millah Ibrahim a.s dan sunnah Rasulullah SAW, dan kemudian ia mati ketika sedang berbalik dalam keadaan kafir, maka semua amal yang telah dilakukannya akan sia-sia tidak mendatangkan manfaat untuknya di dunia maupun kelak di akhirat. Lebih dari itu, mereka mungkin akan termasuk dalam golongan penghuni neraka untuk selama-lamanya tidak keluar darinya.

Amal-amal dalam agama tidak dapat digantikan dengan amal-amal dalam bentuk lain. Orang yang berada di gerbang agama hendaknya bersungguh-sungguh memperhatikan amal-amal baginya tidak meninggalkannya dengan kekafiran. Bila ia mengganti amal yang ditetapkan Allah baginya dengan amal yang dipilihnya sendiri, maka amal-amal itu tidak akan mengisi amal-amal yang ditinggalkan. Ia tidak akan dapat memberikan dengan sepenuhnya peran dirinya bagi masyarakat dengan amal pengganti, dan amal pengganti yang dilakukannya itu akan kosong tanpa manfaat. Perhitungan pahala amalnya tidak sama dengan perhitungan amal yang dilakukan oleh orang yang belum berada di gerbang agama.

Bila ia mati sedangkan ia dalam keadaan membuang pengetahuan tentang ketetapan bagi dirinya, maka ia akan menjadi penghuni neraka selama-lamanya. Ia mati dalam keadaan kafir terhadap ketetapan dirinya. Mungkin seseorang menghindari ketetapan dirinya tetapi menantikan kesempatan untuk menunaikan, maka ia tidak termasuk dalam kategori kafir, namun ia kehilangan bekal ketakwaan yang tidak ditunaikan ketika menghindari ketetapan dirinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar