Pencarian

Selasa, 12 Juli 2022

Ayat Allah, Pikiran dan Akal

Allah menciptakan manusia untuk diberi rahmat-Nya. Itu adalah tujuan penciptaan manusia. Untuk menemukan tujuan penciptaan tersebut, setiap orang harus bertaubat kembali kepada Allah dengan mengikuti tuntunan Allah berupa Alquran dan segala hal yang diturunkan-Nya untuk memudahkan manusia untuk kembali kepada Allah. Akan tetapi kehidupan dunia menjadikan manusia terlena dari penciptaan dirinya. Kebanyakan manusia di alam dunia terlupa untuk bertaubat kepada Allah karena kesibukan mereka mengumpulkan harta benda dan kehormatan di dunia. Hanya sebagian kecil orang di dunia yang bertaubat kepada Allah. Dan dari sebagian manusia yang bertaubat terdapat golongan orang-orang yang tersesat.

Di antara orang-orang yang tersesat, terdapat segolongan orang yang disemaikan untuk menjadi isi neraka jahanam. Mereka adalah orang-orang yang mempunyai hati tetapi tidak digunakan untuk memahami, mempunyai mata tetapi tidak digunakan untuk melihat, dan mempunyai telinga tetapi tidak digunakan untuk mendengar. Mereka itu bagaikan binatang ternak tetapi mereka lebih tersesat jalannya. Mereka adalah orang-orang yang lalai.

﴾۹۷۱﴿وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِّنَ الْجِنِّ وَالْإِنسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لَّا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَّا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لَّا يَسْمَعُونَ بِهَا أُولٰئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولٰئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ
Dan benar-benar Kami semaikan untuk (isi neraka) Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai qalb, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami, dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat, dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar. Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai. (QS Al-A’raaf : 179)

Ayat ini merupakan ayat utama bagi pembimbing ruhani. Para pembimbing ruhani bertugas untuk membina jamaah jiwa manusia hingga mengerti kedudukannya di sisi Allah dengan akal masing-masing, dibina dengan merawat pertumbuhan qalb dan indera-indera bathiniah. Bila terjadi kesalahan, jamaah yang seharusnya dibina agar dekat dengan Allah akan terbalik menjadi tempat persemaian penghuni neraka jahannam, yaitu manakala qalb yang tumbuh di antara jamaah tidak digunakan untuk memahami kehendak Allah, mata bathin tidak digunakan untuk mencari visi kehidupan, dan telinga mereka tidak digunakan untuk mendengar ayat-ayat Allah.

Bagi seorang guru, pertanyaan seorang murid bisa menjadi sebuah kegusaran besar manakala seorang murid seharusnya tidak lagi bertanya tentang hal itu karena dinilai akalnya telah sampai. Bagi guru, penggunaan akal oleh muridnya lebih berharga daripada tumbuhnya indera bathin mereka, sehingga sebuah pertanyaan bisa menyebabkan kegusaran sang guru. Bukan pertanyaan yang membuat sedih, akan tetapi bahwa seharusnya sang murid menggunakan akal untuk hal yang telah dapat dipahaminya, tidak hanya mengikuti sang guru melupakan akalnya. Guru itu akan merasa tiba-tiba gagal bila muridnya tidak menggunakan akalnya. Hal ini terkait dengan tujuan inti pembinaan yang dilakukannya, yaitu agar seseorang menggunakan qalbnya untuk memahami agamanya, menggunakan matanya untuk menemukan visi (bashirah), dan menggunakan telinganya untuk mendengar ayat-ayat Allah.

Dalam tingkatan dibawahnya, mungkin seorang guru akan merasa prihatin dengan tidak tumbuhnya qalb dan indera-indera bathin murid-muridnya, atau prihatin dengan tumbuhnya qalb dan indera bathin mereka tetapi selalu berkutat hanya pada hawa nafsu tanpa menemukan tempat yang tepat untuk akal mereka. Hal itu menunjukkan banyaknya halangan dalam membina jiwa-jiwa para murid, dan mungkin kurangnya visi membaca ayat-ayat Allah. Akan tetapi hal itu tidak seberapa menyedihkan dibandingkan dengan tidak digunakannya qalb dan indera bathin sebagaimana mestinya. Hal ini berkenaan dengan terbaliknya fungsi jamaahnya menjadi tempat penyemaian penghuni neraka jahannam sebagaimana disebut ayat di atas, bukan mengantar manusia dekat kepada Allah.

 

Menggunakan Akal dan Pikiran

Menggunakan akal, melihat dan mendengar dalam ayat di atas menunjuk pada objek berupa ayat-ayat Allah berupa firman Allah dalam kitabullah dan ayat kauniyah pada semesta mereka. Selain itu, nafs-nafs manusia pada dasarnya telah membawa amanah yang bersesuaian dengan jaman kehidupan mereka. Ketiga hal tersebut merupakan ayat yang difirmankan Allah bagi setiap manusia. Nafs mereka akan mendapatkan penjelasan dan cermin bagi nafs mereka dengan membaca ayat-ayat secara terpadu. Sangat sulit bagi seseorang untuk mengerti amanah dirinya tanpa memahami semesta mereka berdasarkan ayat kitabullah.

Tidak semua manusia dapat menyentuh kandungan kitabullah. Hanya orang-orang yang dibersihkan Allah yang dapat menyentuh makna Alquran. Akan tetapi proses pembacaan ayat Allah dapat dilakukan oleh setiap orang dengan bimbingan. Bimbingan harus diberikan hingga setiap orang mencapai kesucian nafs dengan tujuan tumbuhnya akal untuk memahami Alquran. Seorang pembina ruhani tidak akan melupakan bahwa tujuan pembinaannya adalah agar jamaahnya dapat menggunakan akal dengan benar, tidak boleh dibuat hanya tunduk pada sesuatu tanpa menggunakan akalnya. Setiap orang harus dibimbing menggunakan akalnya sesuai dengan perkembangannya, tidak berlebih atau kurang dari kemampuan akal masing-masing.

Secara proses, pembinaan setiap orang harus dimulai dengan menata diri pada setiap tingkatan selaras dengan kehendak Allah dengan sifat-sifat mulia. Dalam tatanan paling dasar, penataan raga harus terlebih dahulu dilakukan untuk dapat menata nafs. Sebelum menata akal, setiap orang harus menata pikiran yang ada dalam kepala mereka masing-masing dengan benar. Sebagian orang yang mempunyai qalb, mata hati dan telinga hati akan menjadi penghuni neraka karena tidak menggunakan akal mereka untuk memahami kehendak Allah. Hal ini tidak terjadi tiba-tiba, dimulai dari tidak menata dan menggunakan pikiran mereka dengan benar.

Menata pikiran lebih mudah dilakukan bila seseorang bertindak selayaknya sikap dalam perjodohan. Seseorang akan mudah berpikir dengan benar bila memperoleh alam dan objek yang tepat baginya. Bila ia mengikuti hawa nafsu untuk menentukan kehidupannya, maka ia akan memperoleh alam yang akan menyiksa dirinya. Bila ia mencari pekerjaan yang paling tepat tanpa dipengaruhi keinginan hawa nafsu dan syahwatnya, ia akan memperoleh kehidupan yang thayyibah yang akan membantu menata pikirannya untuk ibadah kepada Allah, dan pada akhirnya memudahkannya menggunakan akal.

Sebenarnya pernikahan merupakan kunci yang membuka penataan diri setiap manusia, yaitu pernikahan yang diniatkan untuk agama. Setiap orang akan memperoleh apa yang diniatkannya bila ia kemudian menempuh jalan yang benar. Akad dalam pernikahan akan menjadi permulaan menempuh kehidupan bersama untuk meraih niat yang mereka cita-citakan. Setiap pihak dapat menyelami kedalaman alam semesta dan hakikatnya melalui pasangannya, hingga dapat menyatukan nafs wahidah yang menjadi tempat simpanan khazanah Allah dengan cara yang dibenarkan. Tanpa akad pernikahan, semua hal hanya akan teraba pada tingkatan hawa nafsu.

Pernikahan merupakan sunnah Rasulullah SAW dan millah Ibrahim a.s. yang menjadi jalan bagi manusia untuk kembali kepada Allah. Penataan alam semesta oleh manusia akan dapat terlaksana bila seseorang mengikuti sunnah Rasulullah SAW dan millah Ibrahim a.s. Syaitan akan berusaha merusak pernikahan dan kebaikan-kebaikan yang ada di dalamnya. Bila seseorang merusak pernikahan atau perjodohan, ia sebenarnya membantu syaitan untuk merusak jalan yang ditentukan Allah untuk hamba-Nya. Syaitan dengan hukum Allah dapat membalik suatu jamaah yang bertaubat menjadi tempat penyemaian isi neraka jahannam.

 

Mengidentifikasi Masalah dalam Berpikir

Seringkali sulit bagi seseorang untuk mengenali kesesatan dirinya terutama yang tidak menggunakan akal sedangkan mereka memiliki qalb, mata dan telinga hati. Tetapi Allah tidak akan membiarkan hal itu. Ia akan memunculkan peristiwa yang mengingatkan. Ciri orang demikian adalah mengatakan shahabatnya yang memberi peringatan dan penjelasan sebagai orang yang tertimpa kegilaan. Hal ini bukan karena benar-benar ada kegilaan pada shahabatnya, akan tetapi karena seseorang atau suatu jamaah tidak menata atau menggunakan pikirannya untuk memahami hal-hal yang dapat dipahami secara jasadiah. Dengan tidak menggunakan pikiran, sebenarnya mereka tidak menggunakan akalnya dan mereka menjadi jamaah yang akan disemai menjadi orang-orang yang menjadi isi neraka jahannam.

﴾۴۸۱﴿أَوَلَمْ يَتَفَكَّرُوا مَا بِصَاحِبِهِم مِّن جِنَّةٍ إِنْ هُوَ إِلَّا نَذِيرٌ مُّبِينٌ
Apakah mereka tidak berpikir bahwa teman mereka tidak berpenyakit gila? tidak lain ia hanyalah seorang pemberi peringatan lagi pemberi penjelasan. (QS Al-A’raaf : 184)

Kadang-kadang ketika seseorang menuduh orang lain tertimpa kegilaan, hal ini menjadi perselisihan di antara manusia. Boleh jadi orang yang dituduh memang benar-benar tertimpa kegilaan. Bilamana tidak, maka sebenarnya ada orang yang tidak menggunakan pikirannya dengan benar, apalagi menggunakan akalnya. Sikap keberanian menuduh kegilaan biasanya hadir pada orang-orang yang merasa dirinya tinggi. Ada ataupun tidaknya kegilaan, sikap menuduh demikian menunjukkan adab yang rendah dalam sebuah jamaah, karena bila ada seseorang yang gila maka sikap yang seharusnya adalah dibantu untuk sembuh, bukan dihinakan.

Perselisihan demikian itu tidak berhenti pada perselisihan manusia, akan tetapi tereskalasi menjadi urusan Allah. Allah mempertanyakan keadaan orang demikian: Apakah mereka tidak berpikir bahwa teman mereka tidak berpenyakit gila? Allah tidak mempertanyakan penggunaan akal mereka, akan tetapi mempertanyakan bagaimana menata pikiran mereka. Hal ini terkait dengan penataan aspek jasadiah yang tidak benar. Hal ini tentu harus benar-benar diperhatikan oleh setiap manusia.

Yang disebut berpikir dalam ayat di atas adalah menata pikiran agar sesuai dengan yang dikehendaki Allah. Setiap orang melakukan proses berpikir kecuali mungkin orang yang gila, tetapi tidak semua orang termasuk dalam kategori berpikir sehingga Allah menanyakan keadaan seseorang dalam status keberpikiran mereka. Sebagian orang berusaha menata pikiran dan hatinya dengan benar agar dapat memahami kehendak Allah, maka itu adalah orang-orang yang berpikir. Mereka berusaha melihat fenomena yang terjadi pada alam di sekitar mereka dengan sebaik-baiknya dan berusaha menemukan penjelasannya dalam kitabullah, atau sebaliknya mengamati suatu ayat yang menarik hati dan mencari penjelasannya dari semesta mereka, dengan berharap agar Allah memperlihatkan kepada mereka ayat-ayat-Nya.

Pendustaan itu terjadi tidak hanya terjadi pada nabi-nabi, tetapi juga orang-orang yang memberikan petunjuk yang hak dan berbuat adil. Pendustaan demikian dilakukan manusia terhadap hal-hal yang sebenarnya dapat dipahami dalam tingkat pikiran. Hal ini disebutkan pada ayat sebelumnya tersebut berikut.

﴾۱۸۱﴿وَمِمَّنْ خَلَقْنَا أُمَّةٌ يَهْدُونَ بِالْحَقِّ وَبِهِ يَعْدِلُونَ
Dan di antara orang-orang yang Kami ciptakan ada umat yang memberi petunjuk dengan hak, dan dengan yang hak itu (pula) mereka menjalankan keadilan. (QS Al-A’raaf : 181)

Pendustaan inilah masalah yang harus dihadapi orang yang bertugas memberikan peringatan dan penjelasan kepada umat. Para nabi mempunyai pengetahuan yang tidak diketahui oleh orang-orang kebanyakan, dan mungkin mereka a.s menyimpan pengetahuan itu, tetapi tetap didustakan. Maka demikian pula orang yang mengikuti para nabi memberikan petunjuk dengan hak dan berbuat adil akan menghadapi pendustaan.

Mengukur keselarasan dangan kehendak Allah tidak dapat hanya dilakukan dengan fakultas dalam diri saja, tetapi harus berdasarkan landasan ayat-ayat kitabullah. Fakultas dalam diri kadang-kadang menunjukkan sesuatu yang tidak selaras dari ayat kitabullah, sekalipun ia mempunyai qalb, mata dan telinga bathin yang tajam. Tidak ada orang yang mempunyai hak lebih tinggi atau mendustakan firman Allah yang tertulis dalam kitabullah.

﴾۲۸۱﴿وَالَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا سَنَسْتَدْرِجُهُم مِّنْ حَيْثُ لَا يَعْلَمُونَ
Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, nanti Kami akan mendorong mereka dengan berangsur-angsur (untuk celaka), dengan cara yang tidak mereka ketahui. (QS Al-A’raaf : 182)

Orang yang menempuh keyakinan dengan jalan berbeda dengan firman Allah akan ditimpa istidraj. Allah akan menyuburkan segala sesuatu yang mendukung untuk menempuh jalan keyakinan mereka, akan tetapi ujungnya akan menemukan kecelakaan. Bila mereka mengandalkan qalb, mata atau telinga mereka, Allah akan memudahkan hal itu bagi mereka. Hanya saja perlu diingat, semua kemudahan itu tidak benar-benar mengantarkan untuk dekat kepada Allah. Allah sebenarnya menjadikan mereka celaka melalui cara yang tidak diketahui makhluknya.

Berpegang pada ayat Allah tidak dapat digantikan dengan cara apapun. Bila seseorang menemukan penyimpangan dari ayat Allah, hendaknya ia bersegera kembali kepada ayat Allah, tidak mengandalkan fakultas dalam dirinya untuk pembenaran diri. Allah mengikat hamba-hamba-Nya dengan kitabullah, dan syaitan tidak akan membiarkan seseorang yang berjalan bebas kecuali akan menyesatkannya. Allah tidak akan mencelakakan seseorang yang berserah kepada Allah dengan jalan mengikuti firman-Nya. Walaupun jatuh bangun dalam banyak kesalahan dan dosa, Allah akan menerima hamba selama ia kembali kepada firman-Nya. Sebaliknya, orang yang tidak mematuhi firman-Nya akan celaka walaupun tampak ketajaman qalb, mata dan telinganya. Orang-orang yang mengandalkan fakultas diri mereka dan mengingkari firman Allah akan didorong kehidupannya tetapi menemukan celaka pada ujungnya (Istidraj).

Tidak terlihatnya gejala celaka pada orang-orang yang mengandalkan diri sendiri dan mendustakan firman Allah tidak menunjukkan bahwa mereka berada di jalan yang benar. Allah mempunyai rencana yang teguh untuk memasukkan mereka dalam golongan orang yang celaka tanpa diketahui oleh makhluk-Nya, dan Allah sebenarnya memberikan penangguhan terhadap masalah itu. Kecelakaan bagi orang yang mendustakan firman Allah hanya ditangguhkan, tidak dihilangkan bagi orang-orang yang mengandalkan fakultas diri mereka dan mendustakan firman Allah.

﴾۳۸۱﴿وَأُمْلِي لَهُمْ إِنَّ كَيْدِي مَتِينٌ
Dan Aku memberi tangguh kepada mereka. Sesungguhnya rencana-Ku amat teguh. (QS Al-A’raaf : 183)

Seseorang yang mengandalkan diri dan mendustakan firman Allah harus menyadari bahwa ia memasuki sebuah rencana yang telah dibuat Allah untuk makhluk-Nya. Rencana Allah tersebut bersifat amat teguh, berakar kuat menjangkau tempat yang dalam. Bila seseorang memasuki golongan dalam rencana tersebut, jalannya untuk selamat hanya kembali kepada Allah sepenuhnya melalui firman-Nya. Ia tidak akan bisa memperoleh cermin tentang kesesatannya kepada apapun atau siapapun, baik dari makhluk bumi yang rendah hingga alam malaikat yang tertinggi. Ia mempunyai kedudukan yang kokoh dalam pandangan makhluk karena istidraj-Nya, dan hanya Allah yang dapat memberitahu jalannya untuk kembali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar