Pencarian

Kamis, 07 Juli 2022

Melahirkan Keshalihan

Allah menciptakan manusia di bumi untuk menjadi pemakmurnya. Untuk mencapai tujuan tersebut, manusia diciptakan secara berpasangan dalam tingkatan nafs wahidah mereka. Keberpasangan itu berfungsi untuk melahirkan keshalihan dalam diri mereka. Pemakmuran bumi dapat dilaksanakan oleh manusia bilamana mereka melaksanakan amal shalih, yaitu amal-amal yang telah ditetapkan Allah di dalam nafs wahidah mereka. Amal shalih merupakan karakteristik yang dilekatkan Allah pada nafs wahidah, dan hal itu dapat terwujud bila terbentuk keshalihan di antara pasangan.

﴾۹۸۱﴿ هُوَ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَجَعَلَ مِنْهَا زَوْجَهَا لِيَسْكُنَ إِلَيْهَا فَلَمَّا تَغَشَّاهَا حَمَلَتْ حَمْلًا خَفِيفًا فَمَرَّتْ بِهِ فَلَمَّا أَثْقَلَت دَّعَوَا اللَّهَ رَبَّهُمَا لَئِنْ آتَيْتَنَا صَالِحًا لَّنَكُونَنَّ مِنَ الشَّاكِرِينَ
Dialah Yang menciptakan kamu dari nafs wahidah dan daripadanya Dia menciptakan isterinya, agar dia berdiam kepadanya. Maka setelah keduanya saling mencampurkannya (nafs), isterinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia merasa ringan. Kemudian tatkala dia merasa berat, keduanya (suami-isteri) bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya berkata: "Sesungguhnya jika Engkau memberi kami anak shalih, tentulah kami termasuk orang-orang yang bersyukur". (QS Al-A’raaf : 189)

Keberpasangan nafs wahidah tersebut berfungsi agar nafs wahidah seorang laki-laki (yang mengetahui urusan Allah) berdiam dalam nafs isterinya (yang menjadi pembawa alam mulkiyah). Nafs wahidah seorang laki-laki akan mendapatkan tempat berdiam di alam mulkiyah manakala mempunyai isteri yang menerimanya. Tanpa isteri atau ketika isteri tidak menerima suaminya, maka nafs wahidah tidak berdiam di alam mulkiyah, dan barangkali hanya berdiam di alam nafs. Meskipun demikian, nafs itu akan selalu berusaha mendidik raga dirinya agar kembali kepada Allah, karena itu sepenuhnya menjadi tanggung jawabnya. Kadangkala nafs wahidah terus tidak berdiam di dunia manakala raganya telah mengenal nafs wahidah itu, dan hanya hadir memberikan tuntunan manakala raganya membutuhkan.

Amal shalih akan terlahir bilamana terbentuk percampuran antara nafs wahidah seseorang dengan nafs isterinya. Saling mencampurkan nafs (تَغَشَّاهَا) dalam ayat di atas menunjuk pada dua entitas suami dan isteri, sedangkan nafs wahidah dan nafs pasangannya disebutkan sebagai satu. Nafs seorang isteri harus menerima amr yang tersemat dalam nafs wahidah suaminya, dan nafs suami mengolah khazanah dalam nafs isterinya, maka seorang isteri akan dapat hamil dan kemudian melahirkan keshalihan suaminya ke alam bumi mereka. Isteri yang demikian merupakan isteri yang subur bagi suaminya, dan ia mengandung keshalihan suaminya agar dapat terlahir ke alam mulkiyah.

Sekutu Allah dalam Wujud Keshalihan

Manakala terbentuk kandungan yang semakin berat, mereka akan mengetahui bahwa Allah akan melimpahkan keshalihan kepada mereka dan mereka akan meminta keshalihan itu kepada Allah seraya berkata : "Sesungguhnya jika Engkau memberi kami anak shalih, tentulah kami termasuk orang-orang yang bersyukur". Anak shalih dalam Alquran merupakan padanan amal shalih, sebagaimana putera nabi Nuh a.s dikatakan sebagai amal yang tidak shalih. Kebersyukuran dapat dilakukan seseorang bilamana mereka melahirkan keshalihan dalam diri mereka dan mereka benar bersyukur. Sebagian orang melupakan kebersyukuran dan justru mengambil sekutu bagi Allah setelah diberi keshalihan mereka.

﴾۰۹۱﴿فَلَمَّا آتَاهُمَا صَالِحًا جَعَلَا لَهُ شُرَكَاءَ فِيمَا آتَاهُمَا فَتَعَالَى اللَّهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
Tatkala Allah memberi kepada keduanya anak shalih, maka keduanya menjadikan sekutu bagi Allah di dalam apa (keshalihan) yang telah dianugerahkan-Nya kepada keduanya itu. Maka Maha Tinggi Allah dari apa yang mereka persekutukan. (QS Al-A’raaf : 190)

Di dalam bentuk keshalihan sepasang manusia terdapat sesuatu yang dapat berubah menjadi suatu sekutu bagi Allah dalam pandangan pasangan tersebut, dan/atau bagi manusia yang mengikutinya. Hal ini harus diperhatikan oleh orang-orang yang akan melahirkan keshalihan dalam diri mereka. Mereka akan mengetahui alam yang luas, akan tetapi tidak semua alam yang luas itu merupakan kebenaran. Bila seseorang salah dalam mensikapi apa-apa yang dihadirkan kepada mereka, maka mereka dapat tergelincir mengambil apa yang di ada di alam luas itu sebagai tuhan bagi mereka.

Nabi Isa a.s menjadi contoh nyata tentang keshalihan yang berubah menjadi sekutu Allah dalam pandangan manusia. Terdapat ruh qudus dari alam yang tinggi dalam diri nabi Isa a.s yang menjadikan beliau a.s sebagai seorang yang shalih. Akan tetapi bentuk keshalihan yang ada pada beliau berubah menjadi sekutu Allah bagi sebagian umat yang mengikuti beliau a.s. Hal demikian sebenarnya tidak hanya terjadi pada umat nabi Isa a.s saja. Dalam tingkatan yang lebih rendah, selalu terdapat bentuk-bentuk yang ada dalam keshalihan yang mungkin dijadikan oleh manusia sebagai sekutu-sekutu bagi Allah pada setiap masa. hal yang demikian itulah yang disebutkan dalam ayat ini.

Karena cara pandang yang salah, maka manusia tersesat karena keshalihan. Hal itu sangat mungkin terjadi. Mungkin seseorang tidak menjadikan sesuatu itu sebagai ilah baginya, tetapi ketika sesuatu itu membuat manusia terputus hubungannya dengan Allah, atau justru membuatnya berbuat amal yang bertentangan dengan ketentuan Allah, maka sesuatu itu mungkin telah menjadi sekutu bagi Allah. Secara umum terdapat ketentuan prinsip yang disampaikan oleh seorang yang shalih kepada pengikutnya; “taatilah aku bila bersesuaian dengan Alquran dan sunnah Rasulullah SAW, dan jangan taati aku bila bertentangan.” Itu adalah ekspresi yang sebenarnya tentang adanya keshalihan dalam diri seseorang.

Hal itu benar bila ketentuan tersebut diwujudkan hingga tingkat operasional, dimana pengikut orang shalih lebih diutamakan memahami Alquran dan tunduk pada Rasulullah SAW daripada ketundukannya pada panutannya, sedangkan ketundukan pengikut kepada panutannya dilakukan dalam rangka tunduk pada Alquran dan Rasulullah SAW. Ketentuan tersebut tidak boleh hanya berupa kata-kata saja sedangkan mereka secara operasional tidak memperhatikan kedudukan terhadap Alquran dan sunnah Rasulullah SAW. Orang shalih yang tidak berprinsip demikian sangat mungkin terjatuh dalam tipuan.

Alquran sebagai Sarana Bergantung

Agar seseorang dapat selamat dalam mengarungi keshalihan, mereka harus menjadikan Allah sebagai wali bagi mereka. Menjadikan Allah sebagai wali tidak dapat dilakukan hanya dengan menempuh sikap menggantungkan diri kepada Sang Maha Kuasa, tetapi harus dilakukan dengan berpegang teguh pada kitab yang diturunkan Allah. Allah dapat menguji kelurusan sikap hati hamba-hamba-Nya dalam mengabdi kepadanya dengan segala sarana yang diturunkan-Nya.

﴾۶۹۱﴿إِنَّ وَلِيِّيَ اللَّهُ الَّذِي نَزَّلَ الْكِتَابَ وَهُوَ يَتَوَلَّى الصَّالِحِينَ
Sesungguhnya pelindungku adalah Allah Yang telah menurunkan Al Kitab (Al Quran) dan Dia melindungi orang-orang yang saleh. (QS Al-A’raaf : 196)

Walaupun Allah menghendaki untuk dikenal oleh makhluk, tetapi Allah adalah Dzat yang tidak akan dapat dipahami oleh lingkup akal makhluk. Makhluk hanya dapat mengenal Allah dalam batasan kemampuan masing-masing melalui segala sesuatu yang diciptakan-Nya dengan berdasar pada firman-Nya. Tanpa memperhatikan ciptaan-Nya seseorang tidak akan dapat mengenal Allah, dan tanpa memperhatikan firman-Nya, segala penciptaan dan segala sesuatu yang disertakan bersamanya dapat menyesatkan manusia. Tidak ada makhluk yang mengenal Allah tanpa berpegang pada kitabullah.

Manusia mempunyai dua jenis kecerdasan yaitu kecerdasan jasadiah berupa pikiran, dan kecerdasan nafs berupa akal. Kedua jenis kecerdasan tersebut saling terkait tetapi tidak selalu selaras. Kecerdasan akal berada dalam hati yang berguna untuk memahami kehendak Allah yang akan mengubah akhlak seseorang menuju kemuliaan, sedangkan kecerdasan pikiran berada di kepala yang berguna untuk memahami alam ciptaan-Nya. Kedua kecerdasan itu harus digunakan untuk memahami kitabullah Alquran.

Terdapat banyak macam sikap manusia dalam masalah kedua kecerdasan tersebut terkait kitabullah. Abu jahal merupakan seorang yang cerdas pikirannya hingga ia memperoleh gelar abu hakam di antara kaum Quraisy, akan tetapi ia tidak dapat memahami kehendak Allah dengan hatinya. Kecerdasan pikiran tidak menjadi indikator bahwa ia mempunyai akal yang cerdas, sekalipun pikirannya tampak mengetahui banyak pengetahuan hikmah. Di ujung sisi yang lain, Rasulullah SAW adalah makhluk yang paling berakal yang memahami seluruh kehendak Allah dalam penciptaan seluruh alam semesta dengan kemuliaan akhlak beliau SAW. Alquran dan seluruh kandungannya diturunkan kepada beliau SAW.  Di antara kedua ujung tersebut, sangat banyak macam manusia dalam hal pikiran dan akal. Alquran merupakan indikator pertumbuhan akal dan pikiran seseorang.

Pemahaman Alquran yang sebenarnya adalah pemahaman yang menyatukan akal dan pikiran dalam memahami ayat yang sama. Perkataan yang tampak berkilau tanpa mengetahui konteks tidak selalu menunjukkan adanya pemahaman yang benar. Di kalangan manusia, sebagian orang memahami Alquran dengan benar dan banyak orang yang berusaha memahaminya. Sebagian orang yang memahami Alquran dapat bertindak sesuai dengan pemahamannya, dan sebagian tidak dapat bertindak yang sesuai karena keadaannya ataupun karena belum diberi taufik untuk dapat melaksanakannya, sedangkan ia tidak melakukan perbuatan bertentangan dengan Alquran. Sebagian orang berusaha memahami Alquran, sebagian di antaranya berkeinginan untuk memahami dengan sebaik-baiknya dan sebagian merasa telah memahami Alquran sedangkan sebenarnya ia tidak memahaminya. Sangat banyak ragam sikap dan keadaan manusia terhadap kitabullah.

Berpegang pada kitabullah merupakan sarana utama bagi orang-orang yang dilimpahi keshalihan untuk bergantung kepada Allah. Kitabullah Alquran merupakan firman Allah yang Dia kehendaki untuk dipahami oleh setiap makhluk. Alquran merupakan parameter keshalihan dalam diri seseorang. Tidak disebut shalih orang-orang yang menentang firman Allah atau berbuat amal yang bertentangan dengan Alquran. Bila seseorang berpengetahuan dari Alquran dengan akal dan pkirannya dan ia berbuat sesuai dengan pengetahuannya dari Alquran, maka ia adalah orang shalih yang lebih mendekati keshalihan yang sebenarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar