Pencarian

Minggu, 10 Juli 2022

Keshalihan, Sifat Pemaaf dan Ma’rifah

Manusia diciptakan secara berpasangan dari nafs wahidah mereka. Keberpasangan itu berfungsi untuk melahirkan keshalihan mereka. Pemakmuran bumi dapat dilaksanakan oleh manusia bilamana mereka melaksanakan amal shalih, yaitu amal-amal yang telah ditetapkan Allah di dalam nafs wahidah mereka. Keberpasangan nafs wahidah tersebut berfungsi agar nafs wahidah seorang laki-laki (yang mengetahui urusan Allah) berdiam dalam nafs isterinya (yang menjadi pembawa alam mulkiyah). Amal shalih akan terlahir bilamana terbentuk percampuran antara nafs wahidah seseorang dengan nafs isterinya. Nafs seorang isteri harus menerima amr yang tersemat dalam nafs wahidah suaminya, dan nafs suami mengolah khazanah dalam nafs isterinya, maka seorang laki-laki dan seorang isteri akan dapat melahirkan keshalihan ke alam mulkiyah.

Ayat 189 surat Al-A’raaf bercerita tentang proses melahirkan amal shalih melalui keberpasangan. Sebagian besar orang hidup dalam kehampaan (al-ghayy/ الْغَيِّ) dari perintah Allah, dan sebagian orang mulai mengenal amanah Allah bagi dirinya. Orang yang mulai mengenal amanah Allah akan ditimpa hasutan dari syaitan agar amr yang dikenalinya tidak terlaksana dalam kehidupannya, atau bahkan agar orang tersebut tersesat dari jalan Allah. Bila seseorang yang bertakwa menyadari hasutan syaitan, mereka akan menemukan saudara-saudara mereka menghadang agar mereka berkepanjangan dalam kehampaan dari perintah Allah (al-ghayy/ الْغَيِّ), dan saudara-saudara mereka itu tidak berhenti berbuat demikian.

Sifat Pemaaf

Agar terlahirkan amal shalih, kedua pihak harus saling dapat memberi dan menerima. Hal itu membutuhkan sifat dasar berupa sifat pemaaf. Tanpa sifat pemaaf, maka kedua nafs tersebut tidak dapat saling bercampur. Selain itu, setiap orang harus berusaha beramal dengan pengetahuan berupa al-ma’ruf. Dengan kedua hal itu, maka sepasang manusia dapat melahirkan keshalihan mereka di alam mulkiyah.

﴾۹۹۱﴿خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ
Jadilah engkau pemaaf dan perintahkan dengan pengetahuan ma'rifah, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh. (QS Al-A’raaf : 199)

Sifat pemaaf adalah sifat dalam seseorang untuk mudah menghapuskan kesalahan orang lain terhadap dirinya. Orang yang memaafkan menunjuk pada orang yang menghapus kesalahan orang lain yang dilakukan terhadap dirinya sehingga tidak ada jejak kesalahan itu dalam hatinya. Hal ini tidak mudah dilakukan. Syaitan akan selalu berusaha menghalangi langkah orang-orang beriman untuk melahirkan amal shalih mereka. Mereka melancarkan godaan yang sungguh-sungguh kepada manusia-manusia yang berusaha melahirkan amal shalih mereka dan menjadikan diri mereka bersifat pemaaf, memerintah dengan al-ma’ruf dan berpaling dari orang-orang yang bodoh.

﴾۰۰۲﴿وَإِمَّا يَنزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ إِنَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Dan jika kamu dihasut sesuatu dari syaitan berupa hasutan yang sungguh-sungguh maka berlindunglah kepada Allah (QS Al-A’raaf : 200)

Hasutan (نَزْغٌ) syaitan yang sungguh-sungguh tidak terjadi pada banyak orang. Sangat banyak orang melakukan suatu perbuatan tidak baik tetapi bukan karena hasutan syaitan yang sungguh-sungguh. Seringkali perbuatan buruk itu terjadi karena hawa nafsu manusia sendiri, dan syaitan hanya membiarkan atau mengipasi agar hal buruk itu terjadi. Hasutan yang sungguh-sungguh mempunyai sifat yang sedikit berbeda dengan keburukan hawa nafsu, walaupun seringkali terlihat sama dilihat dari perbuatannya saja. Hasutan syaitan yang sungguh-sungguh akan ditimpakan syaitan terhadap orang yang berusaha melahirkan amal shalihnya.

Hasutan yang sungguh-sungguh dapat terjadi dalam bentuk perbuatan yang terlihat samar keburukannya, akan tetapi akibat perbuatan itu sangat merusak. Sekadar melampiaskan kejengkelan misalnya, bila perbuatan itu lahir dari hasutan syaitan, maka dapat menimbulkan kerusakan yang besar. Kadangkala hasutan itu dimunculkan pada sisa-sisa sayyiah seseorang. Misalnya seseorang barangkali merasa telah tidak mempunyai masalah dengan orang lain, tetapi ketika melakukan ishlah timbul penyakit dalam hati dari masalah yang telah dilupakan. Hal itu bisa menjadi petunjuk kemungkinan munculnya hasutan syaitan yang sungguh-sungguh.

Hasutan syaitan itu benar-benar sulit dihilangkan dari hati. Manakala suatu saat hasutan itu padam, di saat yang lain kembali muncul. Keinginan untuk baik dalam diri seseorang seringkali tidak dapat menghapuskan hasutan tersebut. Pikiran positif dan keinginan ishlah juga seringkali tidak dapat menghilangkan hasutan itu. Manakala menemukan halangan yang banyak terhadap hasutan, halangan itu tidak mengurangi dorongan berbuat. Hal demikian merupakan ciri adanya hasutan syaitan yang sungguh-sungguh menghasut.

Hasutan syaitan yang sungguh-sungguh demikian hanya dapat diredam jika seseorang berlindung kepada Allah. Hanya Allah yang mampu mencegah hasutan syaitan terhadap seseorang yang berusaha menemukan amal shalihnya. Seseorang tidak akan dapat mengandalkan kualitas dirinya ataupun mengandalkan yang lain untuk meredam godaan syaitan demikian, bila tidak berlindung kepada Allah. Amal yang akan terlahir dari hasutan syaitan akan bersifat sangat merusak walaupun mungkin perbuatan itu terlihat remeh dan samar-samar keburukannya.

Manakala dorongan untuk melakukan perbuatan tersebut terlaksana, maka akan timbul kerusakan yang besar pada semesta mereka. Orang lain dalam urusan yang sama akan tertimpa pula hasutan syaitan atau malah melebar, dan godaan demikian akan sangat membebani mereka. Bila seseorang mencermati, masalah mereka akan teramplifikasi secara nyata, terutama terkait dengan urusan Allah. Dalam hubungan keberpasangan, hasutan syaitan itu akan membesar secara bertimbal balik, satu orang saling membesarkan permusuhan yang lain secara bertimbal balik.

Dalam keberpasangan seharusnya terjadi penyeimbangan, satu pihak menjaga pihak yang lain agar tidak terjebak dalam hasutan syaitan terus menerus tanpa menyadarinya. Walaupun kedua pihak mungkin akan terkena hasutan, tingkat intensitas hasutan tersebut berbeda bagi masing-masing pihak. Ciri orang terkena hasutan syaitan yang dapat terlihat oleh orang lain adalah terlihatnya dua sikap yang berlawanan pada satu orang pada masa yang relatif sama. Misalnya, pada puncaknya seseorang bisa terlihat berbakti dan sekaligus juga berkhianat bagi pasangannya. Bakti yang dilakukannya sangat mungkin terlahir benar-benar dari keinginan berbakti. Bakti dan khianat itu terjadi bila hasutan syaitan tidak dituruti. Bila yang dihasut mengikuti syaitan, hanya akan terlihat sikap khianatnya. Banyak sikap dapat menjadi ciri adanya hasutan syaitan, tidak terbatas pada bakti dan khianat saja. Pada intinya, fenomena yang paling jelas terlihat adalah munculnya dua sikap yang berbeda atau bahkan berlawanan secara hampir bersamaan pada satu orang.

Bila terjadi hal demikian, hendaknya pasangannya memperhatikan bahwa yang terkena hasutan syaitan itu harus dibantu. Ia harus berpegang pada tujuan membentuk rumah tangga sakinah, mawaddah dan rahmah. Setiap orang harus berusaha memperhatikan dan menyayangi pasangannya, dimulai dengan memaafkan. Bila keduanya mengikuti hawa nafsu, maka keshalihan akan kembali menjauh dan mungkin kebersamaan mereka dapat berakhir. Seseorang tidak boleh berpikir bahwa ada jalan keshalihan yang lain, bersama orang lain setelah menghadapi masalah demikian, karena hasutan syaitan itu akan dihadapi kembali manakala orang lain tersebut mendekati keshalihannya, atau justru orang lain itu tidak menemukan jalan keshalihannya. Bila menemukan jalan keshalihan yang mudah, mungkin ia sebenarnya mengikuti syaitan. Boleh jadi Allah tidak menyediakan jalan keshalihan baginya bersama orang lain bila ia menghindari masalah itu. Bila ada jalan bersama orang lain, ia tidak boleh meninggalkan pasangannya yang tertimpa masalah itu.

Hasutan syaitan yang sungguh-sungguh ini dapat menyebabkan pasangan yang berjodoh gagal melahirkan amal shalih mereka. Setiap pihak harus berusaha untuk menjadi pemaaf bagi yang lain. Tanpa membangun sikap pemaaf, syaitan akan leluasa melancarkan aksi memporak-porandakan manusia. Membina sikap pemaaf sangat intensif terjadi dalam pernikahan bahkan sejak sebelum pernikahan itu sendiri. Kadangkala adanya hasutan syaitan demikian menyebabkan terjadinya kekacauan besar seperti perang. Sebagian manusia disesatkan syaitan dengan godaan/hasutan (نَزْغٌ) untuk mengambil sekutu bagi Allah dari sesuatu dalam keshalihan yang diberikan kepada seseorang di antara mereka, bahkan orang yang berbuat shalih itu sendiri.

 

Orang Bertakwa dan Saudaranya

Setiap orang dapat tertimpa hasutan syaitan. Orang-orang sesat tidak penting untuk dihasut oleh syaitan. Syaitan mengusahakan segala sesuatu untuk menghalangi dan menyesatkan manusia dari melahirkan keshalihan. Orang-orang yang tidak bertakwa dapat terjerumus dalam kesyirikan atau kegagalan dalam melahirkan keshalihan mereka karena hal-hal yang diperbuat syaitan atas diri mereka. Sedangkan bila perbuatan syaitan itu dilakukan terhadap orang-orang yang bertakwa, orang itu akan mencari dan menemukan pelajaran yang tersembunyi dari perbuatan syaitan atas diri mereka, dan kemudian mereka melihat permasalahan mereka.

﴾۱۰۲﴿إِنَّ الَّذِينَ اتَّقَوْا إِذَا مَسَّهُمْ طَائِفٌ مِّنَ الشَّيْطَانِ تَذَكَّرُوا فَإِذَا هُم مُّبْصِرُونَ
Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa suatu bagian dari syaitan, mereka mencari pelajaran, maka kemudian mereka menjadi orang yang melihat (permasalahannya). (QS Al-A’raaf : 201)

Tidak mudah bagi seseorang untuk menyadari hasutan syaitan dalam dirinya. Kadangkala hasutan itu dibangkitkan dari remah-remah emosi yang telah mengering. Hasutan itu kadang bersifat lembut seolah-olah ia sedang mengamati kasus secara adil, kadang timbul pikiran dan emosi yang menggelorakan hawa nafsu untuk menyerang. Kadang di antara keinginan yang baik diselipkan sebuah keinginan atau gagasan yang akan merusak seluruh urusan, dan keinginan itu terlihat baik-baik saja bagi dirinya. Sangat sulit bahkan hanya untuk menyadari hasutan syaitan dengan mengandalkan diri sendiri. Seorang beriman mungkin saja akan terjerumus dalam hasutan syaitan hingga ia berbuat sesuai hasutan itu, dan kemudian baru menyadari ketika kerusakan telah terjadi.

Bila seseorang bertakwa, mereka akan menyadari hasutan itu sejak kebangkitannya, atau setidaknya menyadari ketika telah terjadi kerusakan karenanya. Mereka memperoleh pengetahuan kehendak Allah (ma’rifah) dalam perkara tersebut, dan kemudian berbuat sesuai dengan petunjuk Allah. Kadangkala seseorang melihat keadaannya karena diberitahu orang lain, kemudian mereka mencari pelajarannya. Hal demikian tidak termasuk dalam ketakwaan yang disebut ayat ini. Walaupun demikian hal itu tetaplah berguna baginya. Sebagian tidak dapat menyadari hasutan syaitan sama sekali.

Tidak mudah bagi seseorang untuk bertakwa manakala syaitan menghasut mereka. Saudara-saudara mereka akan berusaha menjadikan mereka berlama-lama dalam ketidakjelasan, dan menganggap tidak berharga pelajaran yang dipahami orang yang bertakwa. Orang yang tidak berusaha memahami kehidupan diri mereka berdasarkan kitabullah pada dasarnya berada dalam kehampaan (al-ghayy/ الْغَيِّ). Mereka menginginkan orang yang bertakwa untuk menjalani kehidupan sebagaimana orang umumnya tanpa mempedulikan perintah Allah yang dipahaminya.

﴾۲۰۲﴿وَإِخْوَانُهُمْ يَمُدُّونَهُمْ فِي الْغَيِّ ثُمَّ لَا يُقْصِرُونَ
Dan saudara-saudara mereka memanjangkan mereka (yang bertakwa) dalam kehampaan dan mereka tidak berhenti (berbuat demikian) (QS Al-A’raaf : 202)

Ayat tersebut menyebut orang yang berada di sekitar orang bertakwa yang terkena hasutan syaitan sebagai saudara-saudara (ikhwan). Hal ini menunjukkan adanya suatu kedekatan. Ikhwan ini khususnya menunjuk pada orang-orang yang mengambil sesuatu dari keshalihan seseorang sebagai sekutu bagi Allah, terutama orang-orang yang lebih meyakini perkataan seseorang daripada firman Allah. Tetapi ini berlaku pula secara umum menunjuk orang-orang yang jahil di dekat seseorang yang bertakwa. Mereka menginginkan agar setiap orang berjalan sebagaimana mereka berjalan, tidak mempercayai amal shalih diterima orang tertentu. Perlu ketegaran untuk melangkah dalam ketakwaan di antara saudara-saudara yang tidak bertakwa. Mereka menginginkan saudaranya yang bertakwa untuk tetap berlama-lama dalam kehidupan hampa tanpa mempedulikan perintah Allah, dan mereka tidak berhenti berbuat demikian. Efek kedekatan sebagai saudara mempunyai pengaruh yang besar sebagai beban yang memberatkan langkah seseorang untuk menunaikan perintah Allah.

 

Ma’rifah dan Kebodohan

Selain sikap berlapang dada dengan sikap memaafkan, kelahiran keshalihan sepasang manusia ditentukan oleh pengetahuan ilahiyah (al-’urf/al-ma’ruuf) yang diberikan Allah kepada mereka, dan kekuatan untuk tidak memperdulikan perkataan orang-orang bodoh walaupun mereka itu saudara-saudara mereka. Sepasang manusia hendaknya dapat berjalan bersama-sama sesuai dengan pengetahuan itu. Seorang laki-laki memberikan pengetahuannya kepada perempuan, dan setiap perempuan mengikuti pengetahuan yang diberikan. Tanpa pengetahuan al-'urf/al-ma'ruuf sepasang manusia tidak dapat melahirkan amal shalih.

Kebersamaan sepasang manusia sebenarnya dimudahkan Allah yaitu dengan ditumbuhkannya sifat mawaddah dan rahmah di antara sepasang manusia. Sifat mawaddah dan rahmah ini menandai keberhasilan sepasang manusia dalam membina bayt. Akan tetapi perlu diperhatikan bahwa mawaddah dan rahmah ini bertujuan untuk memahami ayat Allah dan melaksanakan amr Allah yang terkait dengan nafs wahidah. Sebagian manusia mengagungkan rasa cinta tanpa mengetahui tujuannya, sehingga berhenti pada bentuk kecintaan dari hawa nafsu dan syahwat. Seluruh cinta sebelum pernikahan merupakan bentuk kecintaan hawa nafsu dan/atau syahwat. Hal ini membantu kemudahan terbentuknya mawaddah dan rahmah, tetapi tidak menjadi syarat utamanya. Mawaddah dan rahmah lebih mensyaratkan kedekatan urusan nafs wahidah antara suami dan isteri (kufu), serta keberhasilan percampuran nafs mereka. Suami-isteri yang saling mengetahui dan bersepakat tentang amal shalih mereka bersama lebih mudah membangun mawaddah dan rahmah di antara mereka.

Mawaddah dan rahmah adalah rasa cinta yang tumbuh dalam nafs wahidah di antara suami dan isteri di jalan Allah mengiringi tumbuhnya ma’rifah mereka, yang tumbuh setelah terjadi percampuran nafs wahidah. Percampuran nafs wahidah hanya boleh terjadi setelah akad pernikahan, sebagaimana percampuran raga manusia hanya boleh dilakukan setelah pernikahan. Bahkan hukum di tingkat raga sebenarnya mengikuti hukum di alam nafs sedangkan penerapan hukum di alam raga berfungsi untuk mempersiapkan akhlak dan adab manusia di alam nafs. Syaitan akan memperoleh sarana berharga manakala menemukan nafs seseorang yang beradab tidak baik. Tanpa munculnya mawaddah dan rahmah ketika sepasang manusia hidup dalam amr Allah menunjukkan ada suatu masalah dalam pernikahan.

Percampuran nafs wahidah akan memunculkan ma’rifah di antara pasangan yang menikah, yang membuat mereka mengandung amal shalih. Bila sepasang manusia mengenal ma’rifah, maka mereka mengenali kebodohan. Tanpa mengenali ma’rifah, seseorang tidak akan mengenali kebodohan. Kebodohan tidak dapat dikenali oleh orang-orang bodoh, kecuali mereka mengetahuinya dari orang lain. Dalam hal orang-orang bodoh menghalangi jalan untuk melahirkan keshalihan, maka orang-orang yang harus melahirkan keshalihan hendaknya tidak mempedulikan mereka. Hal ini tidak berarti harus meninggalkan mereka, akan tetapi hendaknya seseorang menetapkan langkahnya berdasarkan ma’rifahnya, tidak dipengaruhi oleh pendapat orang-orang bodoh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar