Pencarian

Senin, 04 Januari 2021

Mengikuti Seruan Rasulullah SAW dengan Benar



Rasulullah Muhammad SAW adalah makhluk dengan kedudukan tertinggi yang diciptakan Allah di seluruh semesta alam. Tidak ada makhluk lain yang menyamai kedudukan rasulullah SAW. Dengan kedudukan beliau, beliau dijadikan wasilah puncak bagi seluruh makhluk untuk mengenal Allah. Tidak ada pengenalan terhadap Allah yang benar bila menyalahi atau berada di luar segala apa yang diajarkan oleh rasulullah SAW, dan tidak ada jalan yang benar untuk menuju Allah bilamana menyalahi jalan yang beliau SAW tunjukkan.

Sebagai puncak wasilah kepada Allah, beliau menyeru agar setiap orang kembali kepada Allah dengan melaksanakan amr Allah yang diturunkan kepada beliau. Itu adalah amr jami’ yang menjadi jalan bagi seluruh makhluk untuk kembali kepada Allah. Manusia yang menemukan amr itu berarti telah menemukan jalan untuk kembali kepada Allah bersama-sama dengan beliau SAW, termasuk dalam golongan al-jama’ah karena berada pada amr jami’. Golongan itu disebut pula dengan golongan ahlus-sunnah karena telah menemukan sunnah rasulullah SAW.

Hendaknya manusia bersungguh-sungguh untuk memenuhi seruan rasulullah SAW yang merupakan amr jami’ yang diturunkan Allah bagi semesta alam, tidak mempersamakan urusan tersebut dengan urusan yang lain. Seruan rasulullah SAW tidaklah dapat dipersamakan dengan seruan seseorang terhadap orang yang lain. Di jaman moderen ini, sebagian kecil manusia mengikuti rasulullah SAW dengan benar, menemukan dan melaksanakan amr jami’, dan mereka itu adalah al-jamaah. Sebagian manusia berusaha mengikuti rasulullah SAW sesuai dengan pengetahuan mereka. Kedua kelompok itu mempunyai derajat yang berbeda menurut Al-quran. Di antara kedua kelompok tersebut, hendaknya manusia tidak menganggap sama seruan di antara keduanya. 


لَّا تَجْعَلُوا دُعَاءَ الرَّسُولِ بَيْنَكُمْ كَدُعَاءِ بَعْضِكُم بَعْضًا قَدْ يَعْلَمُ اللَّهُ الَّذِينَ يَتَسَلَّلُونَ مِنكُمْ لِوَاذًا فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَن تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ ﴾۳۶﴿
 

Janganlah kamu jadikan seruan Rasul di antara kamu seperti seruan sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain). Sesungguhnya Allah telah mengetahui orang-orang yang berangsur-angsur pergi di antara kamu dengan berlindung (kepada kawannya), maka hendaklah orang-orang yang menyelisihi amr-Nya takut akan ditimpa fitnah atau ditimpa azab yang pedih (QS An-Nuur : 63) 



Orang yang tidak berusaha mengikuti rasulullah SAW dengan benar akan ditimpa fitnah atau ditimpa adzab yang pedih. Ayat ini terkait kualitas akal di antara para shahabat. Para sahabat yang kuat akalnya selalu menyertai rasulullah SAW dalam amr jami’, sedangkan yang lemah akalnya berkelompok dengan diam-diam untuk secara berangsur-angsur meninggalkan seruan rasulullah SAW, dan mereka mengikuti perkataan-perkataan di antara kelompok mereka. Tidak ada perkataan rasulullah SAW yang ditentang secara langsung, akan tetapi mereka memilih mengikuti dan mengerjakan urusan berdasarkan perkataan yang ada di antara mereka, tidak berusaha sungguh-sungguh memahami perkataan rasulullah SAW dan melaksanakannya.

Allah akan menimpakan fitnah kepada orang-orang yang memilih mengerjakan urusan berdasarkan perkataan mereka sendiri dengan meninggalkan urusan rasulullah SAW. Meninggalkan seruan rasulullah SAW merupakan tindakan mensia-siakan akal, karena beliau SAW adalah penjelas kebenaran yang paling nyata. Fitnah merupakan keadaan yang membuat orang-orang yang tertimpanya mengalami kebingungan. Orang yang terkena fitnah akan kesulitan untuk membedakan hal yang benar dan yang keliru. Seringkali apa yang mereka pandang benar adalah hal yang salah, dan apa yang terlihat keliru sebenarnya adalah hal yang benar. Kekuatan akal bagi orang yang tertimpa fitnah akan menjadi lemah.

Hal ini merupakan keadaan yang berbahaya. Bila manusia yang tertimpa fitnah tidak menemukan dan berpegang teguh pada tuntunan rasulullah SAW atau kitabullah, mereka akan terperosok menuju golongan yang mendapatkan adzab Allah SWT. Allah akan memunculkan bagi kelompok ini satu demi satu ayat dan peringatan agar manusia kembali kepada Allah. Hal ini harus dibaca berdasarkan kitabullah dan tuntunan nabi SAW. Bila kelompok manusia tersebut terus berpegang pada perkataan mereka sendiri meninggalkan kitabullah dan tuntunan rasulullah SAW, mereka akan terperosok menjadi orang yang mendapatkan adzab Allah. 


Seruan Rasulullah SAW dan Ahlus-Sunnah

Rasulullah SAW bersama orang-orang yang mengikuti beliau menyeru manusia untuk kembali kepada Allah. 


﴾۸۰۱﴿قُلْ هٰذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ
 

Katakanlah: "Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah di atas bashirah, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik" (QS Yusuf : 108)  

 

Seruan rasulullah SAW kepada umat manusia adalah mengajak kembali kepada Allah. Ada manusia-manusia yang bersama-sama dengan rasulullah SAW, yaitu orang-orang yang mengikuti rasulullah SAW dengan benar. Orang-orang itu bukanlah orang yang mengikuti pemahaman dan tafsir mereka sendiri terhadap kitabullah dan sunnah rasulullah SAW, tetapi dibukakan kepada mereka pemahaman yang nyata (fathan mubiinan), di antaranya terhadap shirat al-mustaqim bagi mereka. Mereka melihat jalan mereka untuk bertemu rabb-nya dengan menempuh shirat al-mustaqim yang ditentukan bagi mereka. Dengan pemahaman terhadap shirat al-mustaqim, mereka bersama rasulullah SAW menyeru manusia untuk kembali kepada Allah dengan mengikuti sunnah rasulullah SAW. Hendaknya manusia menemukan golongan pengikut rasulullah SAW yang bersifat demikian.

Kembali kepada Allah dicontohkan oleh rasulullah SAW ketika beliau mi’raj hingga ufuk yang tertinggi. Mi’raj beliau menjadi tauladan perjalanan seorang manusia kembali kepada rabb-nya, melipat perjalanan sangat panjang bagi manusia yang harus ditempuh dalam kehidupan dunia, alam barzakh, dan alam makhsyar. Kelak di alam makhsyar, rasulullah SAW akan dibangkitkan untuk menempati kedudukan yang terpuji (maqaman mahmuda) tidak melalui beratnya kehidupan alam makhsyar.

Tidak ada makhluk yang dapat menempuh perjalanan isra’ dan mi’raj itu, termasuk rasulullah SAW. Allah-lah yang memperjalankan hamba-Nya untuk menuju kepada-Nya. Hal itu merupakan ayat tentang kasih sayang Allah bagi makhluk yang berakhlak mulia sebagaimana rasulullah SAW. Dalam tingkatan lain, Allah sebenarnya juga memperjalankan hamba-hamba yang dikehendaki-Nya untuk kembali kepada-Nya, walaupun tidak sama dengan isra’ mi’raj rasulullah SAW tetapi sesuai dengan kadar hamba-hamba-Nya. Allah menyediakan al-ma’aarij bagi makhluk-makhluk, yaitu tempat-tempat mi’raj dalam jumlah banyak.

Tidak ada makhluk yang mampu melakukan isra’ dan mi’raj, tetapi setiap orang mempunyai kesempatan untuk mengikuti rasulullah SAW untuk kembali kepada rabb-nya. Yang dapat dilakukan oleh seseorang untuk mengikuti rasulullah SAW adalah berusaha untuk membentuk akhlak hingga layak menjadi pemakmur masjidil haram.


سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَىٰ بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
 

Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui (QS Al-Israa’ : 1)  

yang memperoleh kesempatan untuk memperoleh isra’ adalah hamba-Nya di masjidil haram. Ini adalah sebuah tingkatan akhlak seseorang yang menempuh perjalanan menuju Allah. Seseorang harus benar-benar berusaha membentuk dirinya menjadi hamba yang benar bagi Allah, hingga Allah mengakui bahwa dia adalah hamba-Nya. Masjidil haram adalah tempat bersujud kepada Allah di tanah suci. Ini juga merupakan monumen fisik bagi status bathiniah yang menandai tingkat kualitas sujud seorang hamba kepada rabb-nya. Rasulullah SAW dalam hal monumen-monumen fisik perjalanan menuju Allah sebenarnya sangat menekankan makna bathiniah dibandingkan wujud lahiriah, akan tetapi karena banyak manusia membutuhkan monumen fisik, maka rasulullah SAW memelihara monumen fisik itu tetap ada. Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda kepada Aisyah r.a : 


يَا عَائِسَةُ لَوْلاَ قَوْمكِ حَدِيْثُوْ عَهْدٍ بِالْجَاهِلِيَةِ لَهَدَمْتُ الْكَعْبَةَ وَلَجَعَلْتُهَا عَلَى قَوَاعِدِ إِبْرَاهِيْمَ
 

Wahai Aisyah, seandainya bukan karena kaummu yang baru saja meninggalkan kejahiliyahan, sungguh aku akan hancurkan ka’bah dan aku jadikan (kakbah) itu hanya pondasi Ibrahim.  

Pondasi ibrahim itu adalah millah ibrahim yang diwujudkan dalam bentuk pondasi kakbah. Dikatakan pondasi Ibrahim itu baitullah, padahal baitullah itu adalah kualitas akal yang terbangun dalam qalb Ibrahim a.s, dan kemudian diwujudkan dalam bangunan fisik berupa pondasi ibrahim. Sebagaimana kakbah disebut baitullah, demikian pula penyebutan ayat tentang seorang hamba di masjidil haram, hal itu sebenarnya lebih ditujukan pada kualitas batin seorang hamba. Masjid adalah tempat bersujud, dan alharam menunjuk pada suatu kualitas tertentu yang masuk dalam batasan alharam. Ada miqat (batas) yang membedakan seseorang berada di dalam atau di luar al-haram.

Keadaan al-haram adalah keadaan dimana seseorang mengenal dirinya sendiri, yaitu mengenal amal shalih yang telah ditetapkan baginya sejak sebelum kelahirannya, amal yang harus ditunaikan ketika hidup di dunia. Dengan menunaikan amal shalihnya, maka dia akan dapat membaca kitab dirinya yang merupakan bagian dari alquran. Sedangkan masjid adalah tempat bersujud. Dalam makna bathin, yang dimaksud sebagai seorang hamba di masjidil haram adalah seorang hamba yang bersujud kepada Allah dengan melaksanakan tugas berupa amal shalih yang telah ditetapkan Allah baginya sejak sebelum kelahirannya. Ada sebuah miqat yang dilalui seseorang ketika memasuki al-haram, berupa pengenalan diri.

Pengenalan diri seseorang harus diwujudkan dalam bentuk amal-amal shalih sebagai sarana sujud seorang hamba kepada Allah, bentuk sujud yang sebenarnya. Untuk hal itu setiap hamba perlu membangun bait, berupa baitullah dalam hati sebagai sarana untuk bermunajat kepada Allah, dan bait rumah tangga yang mendukung terwujudnya amal shalih. Dengan kedua bait tersebut akan terwujud sebuah bait yang diijinkan Allah untuk disebut dan ditinggikan asma-Nya di dalamnya. Tanpa baitullah dalam hati, seorang laki-laki tidak akan mampu berdzikir kepada Allah, dan tanpa rumah tangga yang baik seorang laki-laki tidak akan mampu meninggikan asma-Nya bagi umatnya.
 

Al-Arhaam Untuk Mengikuti Seruan Rasulullah SAW

Tanpa seorang perempuan shalihah yang mendampingi seorang laki-laki shalih dalam sebuah pernikahan, laki-laki tersebut tidak akan mampu merealisasikan dengan baik kehendak Allah yang dikenalnya. Seorang laki-laki dan perempuan dalam rumah tangga harus bersama-sama secara sinergis merealisasikan kehendak Allah, karena hanya dengan bekerja sama keduanya bisa mengalirkan khazanah Allah bagi umatnya. Pentingnya rumah tangga yang baik untuk merealisasikan kehendak Allah di bumi diceritakan dalam Alquran sebagai berikut : 


﴾۱﴿يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
 

Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari nafs wahidah dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan bertakwalah terhadap al-arhaam. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. (QS An-Nisaa’ :1)
 

Untuk mewujudkan kehendak Allah bagi umat manusia, kesatuan antara seorang laki-laki dan perempuan harus terbentuk hingga tingkatan nafs wahidah, yaitu jiwa yang tertinggi yang merupakan jati diri penciptaan setiap manusia. Penyatuan jiwa itu dapat terjadi bilamana terbentuk pengetahuan yang sama. Di dalam diri setiap manusia yang hidup, terdapat jasmani yang hidup dan banyak hawa nafsu, serta mungkin ada nafs wahidah yang merupakan jati diri orang tersebut. Nafs wahidah seorang laki-laki adalah jati diri penciptaan dirinya, dan nafs seorang perempuan adalah jiwa yang diciptakan dari nafs wahidah laki-laki, yang dijadikan sebagai pasangan bagi nafs wahidah suaminya. Bila dikehendaki Allah, akan dibukakan kepada mereka pengetahuan yang serupa yang saling melengkapi, sehingga terjadi penyatuan jiwa untuk melaksanakan amr Allah. Seorang suami akan mengenali khazanah Allah yang tersimpan dalam diri istrinya, dan seorang istri dapat mengenali urusan Allah bagi suaminya, menghadirkan alam duniawi yang tepat bagi suaminya, dan dapat secara aktif memberikan peringatan kesalahan yang mungkin akan dilakukan suaminya. Dengan penyatuan jiwa suami dan istri dalam amr Allah itulah akan terbentuk al-arhaam di antara keduanya. Al-arhaam inilah yang merupakan saluran untuk mengalirnya khazanah Allah bagi alam semesta melalui sepasang manusia. Tanpa terbentuk al-arhaam, seorang laki-laki hanya akan menjadi makhluk bumi yang dihinakan oleh syaitan.

Dalam lingkup internal pasangan suami isteri yang menikah, al-arhaam ini adalah rasa cinta kasih yang berlandaskan pada sifat rahman dan rahim-Nya. Terbentuk rasa cinta yang kuat di antara suami dan isteri dan iktikad yang kuat untuk melaksanakan perintah Allah bagi kebaikan umat manusia. Rasa cinta ini akan terpancar dari rumah tangga mereka, muncul sebagai kekuatan untuk meninggikan asma Allah bagi umat yang menjadi tanggung jawab mereka. Rumah tangga mereka menjadi sebuah bait yang diijinkan Allah untuk disebut dan ditinggikan nama-Nya di dalamnya, dan mereka selalu bertasbih kepada Allah pada pagi dan petang.

Status al-arham dalam bait seperti ini sebenarnya tidak terjangkau oleh kekuatan syaitan, sekalipun oleh Iblis besar yang menolak perintah bersujud kepada Adam. Kekuatan syaitan hanya sampai pada miqat pengenalan jati diri seseorang sebagaimana Iblis menggelincirkan Adam dengan pohon khuldi yang merupakan jati diri adam. Akan tetapi syaitan menggunakan ilmu-ilmu yang diturunkan kepada dua malaikat Harut dan Marut untuk menggelincirkan manusia. Tiruan al-arhaam ini dapat terbentuk secara bathil di antara dua manusia berlainan jenis, maka sepasang manusia dapat tersesat dalam perbuatan keji dengan tiruan al-arham tanpa melalui sebuah pernikahan. Bila seorang perempuan terjebak dalam perbuatan keji semacam ini, dirinya dapat membinasakan umat bagi dirinya bersama suaminya, menyeretnya pada jalan yang keliru, sementara dirinya akan berpikir bahwa dirinya melaksanakan perintah Allah. Pikirannya untuk menolong agama melaksanakan perintah Allah adalah waham yang tidak akan terbukti. Allah mempertanyakan keadaan laki-laki yang terjebak dalam keadaan semacam itu dengan firman : Apakah kalian mengatakan tentang Allah dengan sesuatu yang tidak engkau ketahui?

Bait yang al-arham terpancar darinya harus dibentuk oleh sepasang manusia dalam pernikahan. Hal itu hanya dapat terbentuk bila seorang laki-laki telah menemukan miqat berupa pengenalan jati dirinya. Membangun bait semacam itu merupakan langkah lebih lanjut yang harus dilaksanakan setelah seseorang mengenal jati dirinya. Seorang laki-laki harus berusaha membentuk rumah tangganya agar terpancar al-arham darinya, tidak menempuh langkah instan terburu-buru mengikuti langkah syaitan. Tidak akan ada al-arham tanpa rumah tangga yang baik. Dengan bait semacam itu, seseorang dapat bersujud dengan sebenarnya sujud kepada Allah, yaitu melaksanakan perintah-perintah Allah sebagaimana kehendak Allah. Itu adalah sebuah status hamba yang berada di masjidil haram. Dengan langkah itu dirinya dapat berusaha mengikuti seruan rasulullah SAW dengan benar untuk kembali kepada Allah.

Walaupun demikian, tidak berarti pembinaan pernikahan hanya perlu dilakukan setelah seseorang mengenal diri. Landasan dan bangunan kasih-sayang dalam diri seseorang merupakan pusat nilai seorang manusia, sedangkan pengetahuan diri (hanya) merupakan parameter perjalanan seseorang ketika berjalan menuju Allah. Pernikahan yang baik akan mengantarkan seseorang untuk mengenal diri, bahkan kadangkala pernikahan yang berantakan sekalipun dapat mengantarkan seseorang mengenal dirinya selama tidak ada pengkhianatan dalam hati. Pengenalan diri menjadi bahan pembinaan pernikahan yang harus dilakukan setelah seseorang mengenal diri, karena Asma Allah hanya dapat ditinggikan di rumah yang diijinkan Allah, bukan oleh hanya seorang laki-laki yang mengenal Allah.
 

Selisih dalam Memenuhi Seruan Rasulullah SAW

Rasulullah SAW adalah manusia paripurna yang seruannya tidak dapat dipersamakan dengan seruan seorang manusia lain. Setiap makhluk harus memenuhi seruan rasulullah dengan seksama, dan tidak mempersamakan seruan rasulullah SAW dengan seruan orang lain. Akan banyak ragam sikap manusia dalam menyambut seruan rasulullah SAW untuk kembali kepada Allah. Hanya satu golongan manusia yang mengikuti rasulullah SAW dengan benar, yaitu al-jamaah, atau ahlus-sunnah. Rasulullah SAW bersabda: 


أَلاَ إِنَّ مَنْ قَبْلَكُمْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ اِفْتَرَقُوْا عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةً، وَإِنَّ هَذِهِ الْمِلَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ: ثِنْتَانِ وَسَبْعُوْنَ فِي النَّارِ، وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ، وَهِيَ الْجَمَاعَة
 

Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang sebelum kamu dari Ahlul Kitab telah berpecah-belah menjadi tujuh puluh dua golongan. Dan sesungguhnya agama ini (Islam), akan berpecah-belah menjadi tujuh puluh tiga golongan, tujuh puluh dua golongan tempatnya di dalam Neraka dan hanya satu golongan di dalam Surga, yaitu al Jama’ah. (HR Abu Dawud no. 4597; Ahmad (IV/102); al Hakim (I/128)

 

Dalam riwayat lain disebutkan : 


“…كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلاَّ مِلَةً وَاحِدَةً: مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِيْ.”
 

Semua golongan tersebut tempatnya di Neraka, kecuali satu (yaitu) yang aku dan para sahabatku berjalan di atasnya. [HR at Tirmidzi, no. 2641]

 

Agak sulit untuk mengerti dengan pasti siapa yang dimaksudkan dengan al-jamaah atau ahlus-sunnah. Setiap kelompok akan mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang yang mengikuti rasulullah SAW dengan benar, atau sebagian manusia mengingkari hadits tersebut dengan menggolongkan sebagai hadits yang matannya meragukan, dan mengatakan bahwa hadits tersebut memecah belah umat islam menjadi berkelompok-kelompok. Kesulitan ini muncul karena berbagai sebab, di antaranya adalah kekurangan pengetahuan terhadap seruan rasulullah SAW secara komprehensif. Selain itu ada penyebab lain yang lebih berbahaya, yaitu hilangnya sikap hanif di antara manusia. Mereka tertutup oleh sebuah waham kebenaran sehingga tidak mau mengikuti kebenaran. Ini merupakan tipu daya syaitan melalui hawa nafsu manusia.

Al-jamaah adalah kelompok manusia yang berada di atas amr jami’ dengan bashirah mereka, yaitu orang-orang yang mengenal urusan yang diturunkan kepada rasulullah SAW untuk ruang dan waktu mereka. Hal ini akan terbuka bila seseorang mengenal untuk apa dirinya diciptakan, mengenal kedudukan dirinya dalam perjuangan kebenaran universal yang diturunkan kepada rasulullah SAW. Mereka itu adalah kelompok al-jamaah. Dalam ungkapan lain, mereka dikatakan sebagai ahlus-sunnah karena mereka adalah orang-orang yang mengerti seruan rasulullah SAW untuk menempuh jalan kembali kepada Allah dengan bashirah mereka.

Hal yang menjadikan seseorang masuk neraka menurut hadits tersebut adalah firqah, atau kelompok. Hal ini menunjukkan adanya sebuah sikap keberpihakan secara kuat terhadap sebuah perkataan tentang keyakinan, atau fanatisme. Di sisi lain, sikap demikian mencerminkan hilangnya sikap hanif pada kelompok tersebut. Barangkali seseorang tidak atau belum masuk dalam golongan al-jamaah, atau ahlus-sunnah, tetapi tidak tumbuh fanatisme terhadap sebuah perkataan tentang keyakinan tertentu, dan tetap memelihara sikap hanif, maka orang tersebut tidak masuk dalam sebuah firqah. Sikap demikian itu tidak menjadikannya masuk dalam neraka, walaupun belum tentu menjadikannya sebagai ahli surga. Umat islam kebanyakan akan terjatuh dalam fanatisme ajaran karena kurangnya sikap hanif dalam kehidupan mereka, sehingga merasa telah menemukan kebenaran final dalam faham mereka tanpa berusaha mengerti secara sungguh-sungguh apa yang diserukan rasulullah SAW.

Firqah merupakan potensi bahaya yang nyata dalam kehidupan umat islam. Dengan ber-firqah, seseorang hanya memahami sebagian kecil apa yang diseru rasulullah SAW dan kemudian menolak kebenaran yang lebih universal. Dalam tingkatan paling bawah, seorang muslim mungkin saja akan terjatuh dalam firqah khawarij yang menjadi anjing-anjing neraka pembela munculnya dajjal. Mereka membaca alquran dan membicarakan perkataan manusia-manusia terbaik, tetapi bacaan alquran mereka tidak mengubah apa yang ada dalam hati mereka, dan mereka merasa menjadi kelompok manusia-manusia terbaik. Bacaan dan perkataan mereka itu justru menghalangi mereka untuk mengenal kebenaran yang lebih baik, padahal tauhid mereka tidak lebih baik dari tauhid iblis ketika diusir karena menolak bersujud kepada Adam.

Tidak hanya satu firqah yang tumbuh dalam islam. Paradigma jati diripun bisa menjadi sebuah firqah bilamana tidak disikapi dengan tepat. Pengetahuan jati diri merupakan gerbang awal seseorang memasuki agamanya. Bila pengetahuan jati diri seseorang kemudian menjadi penghalang, pengacau atau penghambat bagi proses terbentuknya bait di antara manusia, yaitu bait yang diijinkan Allah untuk disebut dan ditinggikan asma-Nya di dalamnya, maka ini merupakan upaya syaitan dalam menghalangi umat manusia dari agama. Fanatisme terhadap pemahaman jati diri semacam itu merupakan firqah yang akan mengantar seseorang masuk ke neraka. 


﴾۷۲﴿يَا بَنِي آدَمَ لَا يَفْتِنَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ كَمَا أَخْرَجَ أَبَوَيْكُم مِّنَ الْجَنَّةِ يَنزِعُ عَنْهُمَا لِبَاسَهُمَا لِيُرِيَهُمَا سَوْآتِهِمَا إِنَّهُ يَرَاكُمْ هُوَ وَقَبِيلُهُ مِنْ حَيْثُ لَا تَرَوْنَهُمْ إِنَّا جَعَلْنَا الشَّيَاطِينَ أَوْلِيَاءَ لِلَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ
 

Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh syaitan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapamu dari surga, ia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya auratnya. Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dan suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan syaitan-syaitan itu pemimpin-pemimpim bagi orang-orang yang tidak beriman. 


﴾۸۲﴿وَإِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً قَالُوا وَجَدْنَا عَلَيْهَا آبَاءَنَا وَاللَّهُ أَمَرَنَا بِهَا قُلْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَأْمُرُ بِالْفَحْشَاءِ أَتَقُولُونَ عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ
 

Dan apabila mereka melakukan perbuatan keji, mereka berkata: "Kami mendapati nenek moyang kami mengerjakan yang demikian itu, dan Allah menyuruh kami mengerjakannya". Katakanlah: "Sesungguhnya Allah tidak menyuruh (mengerjakan) perbuatan yang keji". Mengapa kamu mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui? (QS Al-A’raaf : 27-28)

 

Dalam dua ayat di atas, fitnah yang menimpa Adam adalah fitnah jati diri Adam berupa pohon khuldi. Bila sebuah faham jati diri kemudian menghalangi manusia untuk memahami seruan rasulullah SAW, atau perkataan yang lebih dekat dengan seruan rasulullah SAW, maka faham itu merupakan firqah yang akan mengantarkan manusia masuk ke dalam neraka. Firqah itu menghalangi pemahaman yang lebih komprehensif terhadap kebenaran universal. Barangkali itu merupakan firqah yang tertinggi sebelum seseorang atau sekelompok manusia mengenal atau mengikuti kelompok al-jamaah. Yang melakukan fitnah untuk berfirqah semacam ini adalah Iblis besar yang dahulu menolak bersujud kepada Adam.

Bila ada perkataan yang lebih dekat dengan seruan rasulullah SAW, maka pemahaman firqah tersebut harus segera diarahkan untuk mengikuti perkataan itu, dan perkataan itu merupakan perkataan dari kelompok al-jamaah atau ahlus-sunnah. Kemampuan syaitan menipu hanya akan sampai pada masalah jati diri, kemungkinan tidak menyentuh langkah yang lebih tinggi dari hal itu. Pernyataan ini hanyalah sebuah hasil pembacaan yang harus disikapi dengan ketaqwaan, karena boleh jadi seseorang tertipu dalam semua tingkatan. Iblis telah bersumpah untuk duduk di shiratal mustaqim bagi manusia, sehingga mungkin saja seseorang terjatuh ketika di shirat al mustaqim. Dengan mengikuti perkataan yang lebih baik, seseorang atau sebuah kelompok mungkin akan terlepas dari jebakan firqah yang akan menjadikan mereka sebagai ahli neraka.

Pengetahuan tentang al-arhaam, atau ke-paramartha-an, yaitu pengetahuan tentang bait yang diijinkan Allah untuk disebut dan ditinggikan nama-Nya di dalamnya merupakan pengetahuan yang lebih dekat dengan seruan rasulullah SAW dibandingkan dengan pengetahuan tentang jati diri. Hal itu dijelaskan secara tersirat dalam susunan kedua ayat tersebut di atas. Syaitan mendorong manusia untuk mengenal jati dirinya, dengan sasaran untuk menghancurkan pemahaman yang lebih baik terhadap seruan rasulullah SAW berupa bait paramartha. Tentu hal ini tidak dilakukan syaitan hanya untuk merusak bait perorangan, tetapi iblis akan membuat kekacauan pemahaman untuk masyarakat seluas-luasnya. Hal ini seharusnya dijadikan petunjuk bagi orang-orang yang ingin mengikuti rasulullah SAW dengan sebaik-baiknya. Pengetahuan tentang jati diri itu masih dapat diselewengkan syaitan dengan sebuah kekejian yang terlihat sebagai amr Allah, sedangkan orang membangun bait paramartha sesuai tuntunan rasulullah SAW lebih aman dari penyelewengan. Membina pernikahan dengan pengetahuan sunnah yang baik bisa menjadi modal langkah seseorang menuju Allah dan pagar yang mengamankan.

Pernikahan merupakan bagian besar dari sunnah rasulullah SAW, karena itu akan membentuk bait yang asma-Nya ditinggikan di dalamnya, memancarkan asma Allah bagi semesta seorang manusia. Tanpa bait, seorang yang mengenal Allah hanya menjadi makhluk asing bagi semestanya. Pembinaan rumah tangga yang baik sesuai dengan alquran dan sunnah rasulullah SAW merupakan bagian dari seruan nabi yang berkedudukan tinggi yang tidak boleh dihalangi, dikacaukan ataupun dihambat. Bilamana ada kekeliruan dalam seruan itu, maka hendaknya diperbaiki, tidak ditenggelamkan seruannya. Hendaknya manusia tidak mempersamakan seruan rasulullah SAW dengan seruan satu sama lain di antara manusia, termasuk dalam hal pernikahan.

Fanatisme akan menghalangi manusia dari kebenaran universal yang diturunkan kepada rasulullah SAW. Sebenarnya sikap itu akan membuat seseorang tidak memahami amr rasulullah SAW dengan baik dan membuat seseorang menolak kebenaran. Amr jami’ yang diturunkan kepada rasulullah SAW merupakan panduan lurus dan benar tidaknya pemahaman seseorang tentang agama. Fanatisme pada akhirnya akan menjadikan amal-amal yang bersumber dari fanatisme tertolak. karena sebenarnya mereka akan menolak kebenaran. Orang-orang fanatik tidak akan dapat memahami amr rasulullah SAW. dari Aisyah r.a bahwa Rasulullah SAW bersabda : 


مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
 

Barangsiapa yang beramal tanpa adanya perintah (amr) dari kami, maka amalan tersebut tertolak [HR Bukhari no. 2697, Muslim no. 1718, Abu Dawud no. 4606 dan Ibnu Majah no. 14 ].
 

Hadits ini menjelaskan tentang pentingnya pemahaman seseorang tentang amr jami’ sebagai landasan untuk beramal, tidak untuk dibuat sebagai alat tuduhan firqah satu dengan yang lain tanpa memahami amr rasulullah SAW. Setiap orang harus berusaha memperoleh pemahaman tentang amr rasulullah SAW dengan sebaik-baiknya, tidak terjebak dalam interpretasi orang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar