Pencarian

Minggu, 10 Januari 2021

Khusyu’ dan Bait

manusia diciptakan dari tanah namun diberi potensi untuk menjadi paling sempurna di antara makhluk yang lain. Manusia diciptakan untuk menjadi lebih sempurna daripada para malaikat yang selalu bersujud. Dengan kesempurnaan yang bisa dicapainya, seorang manusia akan menjadi pewaris surga firdaus yang merupakan surga tertinggi yang disediakan sebagai tempat tinggal bagi makhluk.

Terdapat beberapa kriteria yang membuat seseorang termasuk dalam golongan pewaris surga firdaus, yaitu orang-orang dalam golongan al-mukminuun dalam kriteria khusus. Golongan al-mukminuun adalah orang-orang yang telah mengenal amr jami’ yang diturunkan kepada rasulullah SAW untuk ruang dan jaman kehidupan mereka, dan mereka tidak meninggalkan amr jami’ itu untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri kecuali setelah meminta ijin dari rasulullah SAW. Dengan kata lain, hal itu juga bermakna bahwa al-mukminun adalah orang yang mengenal peran dirinya dalam perjuangan kebenaran universal yang diturunkan kepada rasulullah SAW dan tidak meninggalkan perjuangan itu tanpa ijin rasulullah SAW. Mereka itulah orang yang termasuk dalam golongan almukminuun.

Ada kriteria tambahan bagi para al-mukminun agar mereka termasuk dalam golongan pewaris Firdaus. Kriteria-kriteria itu disebutkan dalam sepuluh ayat awal surat al-mukminun. Tidak semua al-mukminun mempunyai kriteria-kriteria tersebut, kecuali hanya berbentuk modal dasar yang harus dikembangkan. Ketika mereka baru memasuki golongan al-mukminun, atau bahkan ketika mereka telah lama masuk golongan almukminun tetapi tidak mampu mengusahakan kriteria-kriteria tersebut karena kurang mengetahui kunci mengusahakannya, maka kriteria tersebut hanya berupa modal dasar atau bahkan benih. Kriteria yang secara umum paling sedikit dimiliki salah seorang almukminun adalah kekhusyu’an dalam shalat.

Kriteria-kriteria tersebut secara umum terkait dengan fungsi sosial dari seorang mukmin. Kekhusyu’an dalam shalat misalnya, walaupun terlihat sebagai hubungan personal dengan Allah, sebenarnya hal itu tidak akan terbangun bilamana seseorang tidak dapat melaksanakan fungsi sosial dirinya bagi umatnya. Hal semacam ini dicontohkan oleh Musa a.s ketika meninggalkan bani Israel menghadap rabb-nya, maka Allah menimpakan fitnah bagi bani Israel. Sebagaimana kejadian demikian, seorang al-mukmin tidak akan dapat melaksanakan shalat dengan khusyu hanya dengan mengandalkan kualitas pribadinya tanpa menunaikan tugasnya bagi umat. Baitullah dalam diri seorang mukmin hanya dapat berdiri dengan benar semata-mata berdasarkan ijin Allah, tidak bergantung pada usaha seorang mukmin. Pelaksanaan amanat-amanat dan janji-janji jelas termasuk dalam fungsi sosial, dan hubungan dalam rumah tangga juga termasuk dalam fungsi sosial.

Membangun Peran Sosial

Kemampuan salah seorang al-mukminun melaksanakan fungsi sosial adalah implikasi dari kualitas rumah tangga yang dibangunnya. Seorang almukmin tidak akan dapat melaksanakan fungsi sosialnya dengan baik tanpa rumah tangga yang dibangun dengan baik. Hanya dengan membangun rumah tangga yang baik maka salah seorang al-mukminun dapat membangun dengan baik baitullah dalam hatinya untuk ibadahnya kepada Allah. Rumah tangga merupakan setengah bagian dari agama. Ini merupakan bagian yang sangat besar yang tidak dapat dilewatkan bila seseorang hendak membangun agamanya.

﴾۶۳﴿فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللَّهُ أَن تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيهَا بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ
Di rumah-rumah yang telah diijinkan Allah untuk ditinggikan dan disebut nama-Nya di dalamnya, (mereka senantiasa) bertasbih kepada-Nya pada waktu pagi dan waktu petang, (QS An-Nuur :36)

Bait yang disebutkan ayat di atas bukanlah semata baitullah dalam hati saja. Bait tersebut mencakup bait dalam wujud fisik berupa rumah tangga yang baik, sehingga rumah tangga tersebut dapat meninggikan asma-Nya. Tanpa rumah tangga yang baik, nabi Nuh dan nabi Luth a.s tidak mampu menyeru umatnya dengan baik untuk kembali kepada Allah. Ketika seorang al-mukmin tidak mampu menyeru umatnya, secara umum akan sulit muncul ketenangan dan sulit menghadap Allah dengan khusyu’.

Ada sebuah hubungan erat antara baitullah dalam hati dan bait rumah tangga. Rumah tangga merupakan media pengenalan yang paling baik terhadap asma Allah. Persoalan-persoalan rumah tangga akan mengantarkan seorang laki-laki untuk mengenal Ar-rahman yang mengajarkan bayyinat kepada manusia melalui alquran, dan seorang perempuan akan dituntut untuk mengenal dengan baik asma Ar-rahiim melalui pernikahannya. Pengenalan terhadap asma-asma Allah akan mengantarkan pasangan pernikahan membangun baitullah dalam hati mereka. Tanpa pernikahan, baitullah tidak akan terbangun sempurna untuk mendapatkan ijin Allah, sehingga asma-Nya tidak dapat ditinggikan dalam rumah tangga itu.

Kesempurnaan bait rumah tangga yang harus dibangun seorang al-mukmin adalah tercapainya keadaan al-arham. Suami dapat melihat khazanah Allah dalam diri istrinya, dan istri dapat mengenal urusan Allah yang harus dikerjakan suaminya. Keduanya dapat saling bertanya atau mencari jawaban tentang kehendak Allah dari pasangannya. Hal itu akan dapat dicapai bilamana terjadi penyatuan suami istri dalam tingkatan nafs wahidah, jiwa yang dahulu dipersaksikan di hadapan rabb sebelum kelahiran jasadnya di alam dunia.

﴾۱﴿يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada rabb-mu yang telah menciptakan kamu dari nafs wahidah dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling bertanya satu sama lain, dan (bertakwalah) terhadap al-arham. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.(QSAn-Nisaa’ : 1)

Penyatuan jiwa antara suami dan isteri dapat terjadi melalui keserupaan pengetahuan. Seorang laki-laki akan diberi keterbukaan pengetahuan tentang penciptaan dirinya bila Allah berkehendak, maka laki-laki itu akan mengenal dirinya. Demikian pula seorang istri akan dibukakan pengetahuan bila Allah berkehendak, tetapi pengetahuan itu sedikit berbeda, yaitu pengetahuan tentang suaminya. Bila suaminya orang yang mengenal diri, maka istri tersebut akan mengenal urusan Allah yang harus dikerjakan oleh suaminya, dan mengenal peran dirinya untuk berjalan selaras dengan suaminya. Jika suaminya orang yang celaka, istri akan mengenal urusan Allah yang harus dikerjakannya bagi suaminya sebagaimana Asiyah r.a berbuat terhadap Fir’aun. Bilamana suami dan istri memperoleh keterbukaan pengetahuan dari Allah, maka akan terbentuk al-arham yang menjadikan rumah tangga mereka sebagai bait yang diijinkan Allah untuk disebutkan dan ditinggikan asma-Nya di dalamnya.

Pengetahuan ilahi seorang istri akan berfokus tentang suaminya. Ini merupakan turunan dari pengetahuan ilahi bagi seorang laki-laki yang berfokus tentang kehendak Allah, bukan berfokus pada dirinya sendiri. Secara wujud, pengetahuan seorang laki-laki tentang kehendak Allah terlihat menyatu dengan pengetahuan tentang diri sendiri, tetapi Allah akan menguji keikhlasan seorang hamba dan menampakkannya, apakah ubudiyah seorang hamba ikhlas untuk Allah atau penyembahannya adalah pada diri sendiri dalam selubung kebenaran. Setiap orang harus membangun jiwa ubudiyah bagi sumber kebenaran haqiqi, tidak terjebak dalam penyembahan terhadap diri sendiri.

Kesesatan yang Tersembunyi

Kadangkala seseorang terjebak dalam kesesatan yang samar dalam perjalanannya menuju Allah. Seorang istri mungkin rajin beramal dan sangat berhasrat untuk mencapai pengenalan tentang dirinya sendiri, tetapi ia menolak ajakan suaminya untuk membangun rumah tangga yang memperoleh ijin Allah untuk disebutkan dan ditinggikan asma-Nya di dalamnya. Hal itu kadangkala terekspresikan hanya dalam sikap menolak mengambil kebenaran dan pengetahuan melalui suaminya, tetapi sebenarnya hal itu berarti menolak penyatuan untuk membangun al-arham. Ada ketidakpahaman tentang agama dalam diri seorang istri dalam kasus semacam ini. Hal ini merupakan kesesatan yang samar-samar dalam bungkus pencarian kebenaran.

Ada beberapa hal yang menyebabkan kesesatan semacam ini. Pada tingkat paling dasar, hal ini menunjukkan kurangnya keikhlasan. Keikhlasan akan membangkitkan dalam diri seseorang sikap ubudiyah yang benar. Allah akan memberikan petunjuk kepada hambanya yang ingin mengenal kebenaran agar berjalan pada jalan yang ditentukan baginya, sehingga ubudiyahnya benar. Petunjuk yang benar bagi seorang perempuan yang ikhlas akan lebih banyak berupa petunjuk pengetahuan tentang pasangan hidupnya atau suaminya, karena suami adalah jalannya kepada Allah. Tanpa ada keikhlasan, petunjuk semacam ini mungkin tidak muncul, dapat hilang dan berganti dengan petunjuk semata-mata untuk dirinya sendiri yang bebas tidak terikat pada arah perjalanan yang benar, sebagai implikasi sikap tidak berkeinginan bersembah kepada Allah, atau implikasi terjadinya penyembahan diri sendiri tidak menuju Allah.

Seorang perempuan lajang akan lebih banyak melihat petunjuk tentang calon suami yang sesuai baginya, dan seorang istri akan diberi petunjuk untuk lebih mengenal suaminya dan berbuat yang terbaik berdasar pengetahuannya. Itu merupakan petunjuk jalan ubudiah bagi msing-masing. Petunjuk bagi seorang perempuan lajang tentang pasangan seringkali merupakan petunjuk jalan ubudiyah sedangkan pada laki-laki lebih bersifat afirmasi keberpasangan bagi perempuan. Para wali perlu lebih berhati-hati dalam perkara petunjuk jodoh yang diterima seorang perempuan lajang, karena bila petunjuk itu benar, petunjuk itu menyangkut jalan ubudiyahnya.

Sebab kesesatan yang lain adalah syaitan. Syaitan dapat menyesatkan perjalanan seorang hamba dalam usahanya mencari kebenaran dengan perbuatan keji. Ketika seseorang melakukan perbuatan keji baik secara dzahir maupun hanya dalam bathin, maka petunjuk tentang jalan ubudiyah itu akan memudar atau hilang sama sekali, atau bahkan berganti dengan petunjuk yang sesat. Seorang istri tidak akan bertambah pengetahuannya tentang suaminya yang menjadi jalan ubudiahnya kepada Allah. Kadangkala petunjuk itu meredup, hilang, dan kadangkala petunjuk itu berganti dengan petunjuk-petunjuk tentang laki-laki selain suaminya dimana hatinya terpaut. Ini adalah bentuk kekejian yang dihembuskan oleh syaitan. Bila seorang perempuan berjalan kepada Allah dengan ikhlash dan benar, pengetahuan tentang suaminya dan keterampilannya akan tumbuh walaupun tidak diajarkan secara verbal.

Di sisi laki-laki, sebagaimana perempuan, ada sebuah prinsip yang sama yang menunjukkan benarnya perjalanan pada laki-laki. Pengenalan kebenaran itu akan berfokus pada sumber kebenaran tidak berfokus pada diri sendiri. Pengenalan kebenaran itulah yang berimplikasi pada pengenalan terhadap diri sendiri. Seorang laki-laki harus terlebih dahulu mengenali kebenaran dari alquran, hadits-hadits rasulullah SAW dan sumber-sumber kebenaran lain sebelum akhirnya mengenali diri sendiri. Ini merupakan indikasi keikhlasan dalam ibadah, bahwa seseorang tidak menyembah diri sendiri. Seorang laki-laki barangkali tidak akan bisa mengenali diri sendiri dengan benar dengan cara mengejar pengenalan terhadap diri sendiri. Laki-laki harus mengenali kebenaran dari sumbernya, agar dapat mengenali diri sendiri. Ini setara dengan pengenalan seorang perempuan terhadap suaminya, sehingga dapat mengenali perbuatan yang benar bagi suaminya. Ini adalah jalan yang benar untuk menuju Allah.

Fenomena petunjuk bagi seorang laki-laki akan serupa dengan fenomena bagi perempuan. Laki-laki yang ikhlas akan mengenal fenomena yang hadir sebagai manifestasi dari ayat alquran, sehingga dapat bertindak sesuai dengan kehendak Allah. Hal itu akan mengantarkannya untuk mengenal penciptaan dirinya. Kurangnya keikhlasan akan membuat visi kehidupan seorang laki-laki menjadi kabur, dengan petunjuk tanpa arah. Seorang laki-laki yang bersembah pada diri sendiri akan memperoleh petunjuk yang tidak terkait pada arah ubudiyah yang benar.

Perjalanan seorang laki-laki menuju Allah tidak akan lepas dari upaya syaitan membengkokkan dengan perbuatan keji. Hal itu akan menguji dan menampakkan keikhlasan seseorang dalam beribadah kepada Allah. Keikhlasan ini akan menentukan kualitas pengenalan seseorang kepada Allah. Seseorang yang terpedaya dengan tipuan syaitan dengan perbuatan keji akan dipertanyakan kualitas pengenalannya kepada Allah.

﴾۸۲﴿وَإِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً قَالُوا وَجَدْنَا عَلَيْهَا آبَاءَنَا وَاللَّهُ أَمَرَنَا بِهَا قُلْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَأْمُرُ بِالْفَحْشَاءِ أَتَقُولُونَ عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ
Dan apabila mereka melakukan perbuatan keji, mereka berkata: "Kami mendapati nenek moyang kami mengerjakan yang demikian itu, dan Allah menyuruh kami mengerjakannya". Katakanlah: "Sesungguhnya Allah tidak menyuruh (mengerjakan) perbuatan yang keji". Apakah kamu mengatakan tentang Allah apa yang tidak kamu ketahui? (QS Al-A’raaf : 27-28)

Syaitan selalu berusaha membengkokkan jalan setiap orang menuju Allah. Boleh jadi seorang perempuan terlihat rajin beramal dan menuntut ilmu untuk akhiratnya, tetapi ia menyingkirkan kebenaran dan pengetahuan tentang dan dari suaminya. Itu merupakan indikasi kesesatan dalam ilmunya. Perempuan demikian tidak mengetahui arah untuk menuju Allah, sedangkan ilmu-ilmunya hanya dogma yang tidak difahami hatinya. Kebenaran yang dipegang bukanlah kebenaran yang menyehatkan hatinya. Kesesatan demikian dalam tingkat tertentu merupakan wujud dari kekejian yang ditiupkan oleh syaitan. Setiap orang harus berusaha menuju terbangunnya bait yang memancarkan al-arham sebagai arah ibadah yang benar.

Demikian pula seorang laki-laki dapat tersesat dalam ilmunya bila tertipu syaitan dengan kekejian. Mungkin akan tampak banyaknya amal yang dilakukan dan ilmu, akan tetapi ilmu dan amal itu tidak menyatukan dirinya dalam perjuangan kebenaran universal berupa amr jami’ rasulullah SAW untuk ruang dan jaman kehidupan mereka. Bait yang terbangun hanya memancarkan tiruan dari al-arham. Setiap orang harus berusaha mengikuti seruan rasulullah SAW agar tidak tergelincir dalam perjalanannya menuju Allah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar