Pencarian

Minggu, 09 Januari 2022

Taat Kepada Allah dan Rasul-Nya

Allah memerintahkan kepada orang-orang beriman untuk taat kepada Allah dan taat kepada Rasul-Nya agar mereka mendapatkan rahmat Allah. Juga mereka diperintahkan untuk taat kepada para ulil amr yang menjalankan urusan Allah sesuai dengan ketetapan bagi masing-masing. Manakala orang beriman perbedaan pendapat dengan ulil-amri, maka hendaknya mereka mengembalikan perkara kepada Allah dan Rasul-Nya. Itu adalah sebuah perintah yang jelas bagi kaum beriman.

﴾۹۵﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS An-Nisaa : 59)

Barangkali terdapat sedikit kerancuan dalam menentukan definisi ulil amr. Ulil-amri adalah orang-orang yang telah mengerti amr Allah yang ditentukan bagi mereka sebagai ketetapan yang telah tertulis sejak sebelum kelahiran mereka. Hal ini tidak tergantung pada status sosial orang tersebut. Sebagian ulil amr tidak dikenali oleh masyarakat, dan sebagian ulil amri memperoleh kuasa di antara masyarakat. Yang menentukan kedudukan seseorang sebagai ulil amri adalah pemahamannya terhadap amr Allah bagi dirinya sebagai bagian dari amr Rasulullah SAW.

Dengan pengetahuan seseorang tentang kedudukan diri sebagai bagian dari urusan Rasulullah SAW, maka pada dasarnya upaya mentaati seorang ulil amr merupakan upaya mentaati Rasulullah SAW. Namun ketaatan itu harus dilandasi dengan penggunaan akal untuk memahami kehendak Allah. Dalam hal ini, sangat mungkin terjadi perbedaan pendapat atau cara pandang antara satu orang mukmin dengan ulil amr dalam suatu masalah tertentu. Seorang ulil amr mungkin tidak beririsan sepenuhnya dengan orang mukmin lainnya, sehingga perbedaan pendapat dengan mukmin lain mungkin terjadi.

Bilamana terjadi perbedaan dengan seorang ulil amr, seorang beriman harus menggunakan akalnya. Menggunakan akal itu bukanlah berusaha menentukan pendapatnya dengan logika secara bebas, tetapi dengan berusaha mengembalikan perbedaan itu kepada Allah dan Rasul-Nya. Itulah yang sebenarnya merupakan akal, yaitu berusaha memahami kehendak Allah dan berjalan selaras dengan kehendak-Nya. Seorang beriman harus berusaha mentaati ulil amr dalam perkara-perkara yang tidak tidak bertentangan dengan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW, tetapi tidak boleh mengikuti pendapat orang lain yang bertentangan dengan tuntunan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW.

Ketaatan dan Kekuatan Hati

Hal ini wajib diperhatikan oleh orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir. Orang beriman akan berusaha mencari jalan untuk kembali kepada Allah agar dapat menemukan sumber segala kebaikan bagi dirinya. Mereka juga mencari kehidupan akhirat yang baik dengan menjual kehidupan dunia mereka. Untuk hal itu, setiap orang yang beriman kepada Allah dan kehidupan akhirat hendaknya memperhatikan ketaatan kepada Allah dan Rasulullah SAW. Tanpa hal itu, boleh jadi ia akan salah mengambil jalan kembali kepada Allah dan kehilangan kehidupan yang baik di akhirat kelak.

Lemahnya ketaatan seseorang pada Allah dan Rasulullah SAW akan membuat seseorang mudah berbolak-balik hatinya. Ketika seseorang tidak berpegang dengan seluruh kemampuannya pada kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW, maka hati seseorang akan bergoyang tanpa pijakan yang kokoh, dan hati itu akan berbolak-balik dalam menentukan langkah kehidupan. Pikiran mereka akan berbolak-balik antara mengikuti kebenaran atau sekadar mengikuti panutan-panutan mereka tanpa menggunakan akal. Hal itu akan bertimbal balik dengan langkah perjalanan yang rapuh. Boleh jadi Allah akan menampakkan bagi seseorang wujud rapuhnya akal dan langkah mereka dengan semakin jelas manakala para panutan itu menempuh kehidupan yang sesat.

﴾۶۶﴿يَوْمَ تُقَلَّبُ وُجُوهُهُمْ فِي النَّارِ يَقُولُونَ يَا لَيْتَنَا أَطَعْنَا اللَّهَ وَأَطَعْنَا الرَّسُولَا
﴾۷۶﴿وَقَالُوا رَبَّنَا إِنَّا أَطَعْنَا سَادَتَنَا وَكُبَرَاءَنَا فَأَضَلُّونَا السَّبِيلَا
()Pada hari ketika wajah mereka dibolak-balikan dalam neraka, mereka berkata: "Alangkah baiknya, andaikata kami taat kepada Allah dan taat (pula) kepada Rasul". ()Dan mereka berkata: "Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mentaati para pemimpin (sayyid) dan para pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar). (QS Al-Ahzaab : 66-67)

Ayat tersebut bercerita tentang kehidupan sebagian orang-orang kafir kelak di neraka. Hati mereka terbolak-balik menyesali kehidupan mereka di dunia. Betapa mereka menyesali keadaan mereka dahulu yang tidak berpegang teguh dalam ketaatan pada Allah dan Rasulullah SAW, tetapi justru terombang-ambing mengikuti para sayyid yang ada di antara mereka dan orang-orang besar yang memerintah mereka.

Dalam hal ini, kafir yang dimaksudkan bukanlah para penentang kebenaran. Mereka adalah golongan manusia yang telah mampu menimbang antara nilai-nilai ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, atau mereka akan mengikuti perkataan para sayyid (pemuka) dan para pembesar di antara mereka. Akal mereka tidak cukup kuat menggenggam kebenaran yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya. Manakala para sayyid (pemuka) dan para pembesar mereka mengambil jalan kesesatan, mereka mengikuti kesesatan yang ditempuh. Ketika hal itu terjadi, maka mereka masuk dalam keadaan kufur, yaitu kekufuran dalam wujud terbolak-baliknya hati. Mereka mengalami kebimbangan untuk mentaati Allah dan Rasul-Nya atau mengikuti para sayyid dan para pembesar mereka. Keadaan itu menjadi batas kekufuran seseorang dan batas keselamatan atau neraka bagi seseorang.

Mengikuti kesesatan para sayyid dan para pembesar merupakan kebodohan, dan mengikuti firman Allah dan sunnah Rasulullah SAW adalah akal. Kadangkala seseorang berada pada batas kebodohan dan akal. Itu adalah keadaan yang sulit. Dirinya mengetahui kebenaran tetapi tidak memiliki pemahaman yang cukup kuat dalam memegang kebenaran. Barangkali ia harus memegang kebenaran sendirian berlainan pendapat dengan orang lain tanpa mempunyai pengetahuan yang cukup. Agak sulit untuk berpegang pada kebenaran sendirian, maka hendaknya ia mendekatkan diri kepada Allah agar diperkuat dalam memahami kebenaran, tanpa berusaha melakukan pembenaran bagi pendapatnya sendiri. Kebenaran yang dipegang sendirian itu akan menjadi sumber pengetahuan yang besar manakala disertai dengan keikhlasan dan ia cukup kuat menggenggamnya.

Para sayyid dan pembesar hendaknya berusaha menghindari kesesatan karena banyak manusia yang akan mengikuti langkah mereka. Mungkin itu berimplikasi baik bagi kehidupan dunia, tetapi akan menjadi beban berat kelak di akhirat. Mereka yang mengikuti masing-masing akan memintakan pelipatgandaan siksaan dan laknat yang besar bagi para sayyid dan pembesar sesat yang mereka ikuti.

Perbedaan antara ulil amri dengan para penguasa terlihat dalam ayat ini. Sekalipun seseorang memperoleh kedudukan sayyid di antara masyarakat, atau mereka memperoleh kekuasaan di antara masyarakat, hal itu tidak menjadikan mereka sebagai ulil-amri. Ulul amri hanya berasal dari golongan orang yang mengetahui kedudukan mereka dalam perjuangan Rasulullah SAW, melaksanakan bagian dari urusan Rasulullah SAW. Ketaatan kepada ulil amri tidak berkaitan langsung dengan ketaatan kepada para sayyid ataupun para pembesar di antara umat.

Ketaatan Dan Kitabullah

Ketaatan kepada Allah dan Rasulullah SAW sangat terkait dengan keimanan pada kitabullah. Tidak ada ketaatan dengan melanggar kitabullah yang diturunkan kepada Rasulullah SAW dan yang diturunkan sebelumnya. Orang yang mentaati Allah dan Rasulullah SAW adalah orang yang berhakim dengan kitabullah, yaitu apa-apa yang diturunkan Allah kepada Rasulullah SAW dan yang diturunkan Allah sebelumnya, tidak berusaha berhakim dengan yang lain tanpa mendahulukan kitabullah. Kadangkala seseorang mengira bahwa permasalahan yang terjadi atas mereka tidak tertulis dalam kitabullah sehingga perlu berhakim pada hal yang lain. Ini merupakan indikasi kelemahan dalam menempuh perjalanan kepada Allah. Orang yang mempunyai iktikad berusaha kembali kepada Allah akan mencari jalan melalui kitabullah, dan menemukan permasalahan mereka dalam kitabullah. Orang yang menempuh perjalanan kehidupan secara bebas barangkali akan kesulitan menemukan permasalahan mereka dalam kitabullah.

﴾۰۶﴿أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا أُنزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنزِلَ مِن قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَن يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَن يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَن يُضِلَّهُمْ ضَلَالًا بَعِيدًا
Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. (QS An-Nisaa : 60)

Sebagian orang berhakim kepada thaghut. Ini merupakan masalah yang lebih besar daripada orang yang tidak menempuh perjalanan kembali kepada Allah. Syaitan akan hadir bagi mereka dengan keinginannya menyesatkan manusia dengan penyesatan yang sejauh-jauhnya. Boleh jadi syaitan akan hadir menjadi tuhan bagi mereka sebagai thaghut yang berbicara. Lebih sulit untuk berbicara kebenaran kepada orang-orang yang mengikuti syaitan, sedangkan mereka mengira bahwa diri mereka adalah orang-orang yang beriman kepada apa-apa yang diturunkan Allah kepada Rasulullah SAW dan yang diturunkan Allah sebelumnya.

Kitabullah merupakan lawan bagi thaghut. Orang yang mengikuti thaghut akan ditarik perlahan-lahan meninggalkan kitabullah tanpa merasakannya, sedangkan mereka mengira bahwa mereka beriman kepada apa-apa yang diturunkan Allah kepada Rasulullah SAW dan yang diturunkan Allah sebelumnya. Sebaliknya, seseorang dapat mengetahui tipu daya syaitan dalam wujud thaghut dengan mengikuti kitabullah, yaitu dengan menjadikan Alquran sebagai imam yang menuntun perjalanan. Seseorang tidak boleh menjadikan Alquran sebagai pembenar perbuatan yang mereka lakukan. Boleh jadi seseorang berbuat selaras dengan Alquran maka ia boleh berhujjah dengan Alquran, namun apabila Alquran berbicara tentang mereka maka mereka harus menerima apa yang dituliskan Alquran dan kemudian mengikutinya. Bila mereka mengingkari firman Allah dan mencari pembenaran atas keadaan mereka, Alquran bisa jadi akan berbicara bagi mereka namun justru menyeret mereka menuju neraka.

Setiap orang beriman harus menjadikan Alquran sebagai hakim puncak untuk masalah mereka. Semua pengetahuan yang dapat diperoleh oleh seseorang harus diusahakan selaras dengan Alquran, tidak boleh dibuat sebaliknya, yaitu Alquran dihukumi dengan pendapat manusia. Pengetahuan yang benar adalah pengetahuan yang selaras dengan Alquran, sedangkan pengetahuan yang tidak mempunyai dasar dari Alquran sangat mungkin akan hilang dari diri seseorang. Seseorang yang berusaha menghukumi Alquran dengan pendapatnya sendiri atau penglihatannya akan mudah terjebak dalam penghambaan kepada thaghut, dimana syaitan akan hadir bagi dirinya memberikan pengetahuannya untuk mengimbangi Alquran. Hal ini akan terlihat hebat bagi orang kebanyakan, tetapi dapat terlihat kekafirannya oleh orang yang mengikuti Alquran.

Menentukan kitabullah sebagai hakim dapat menjadi indikator ketaatan seseorang kepada Allah dan Rasulullah SAW. Orang yang mentaati Allah dan Rasulullah SAW akan mudah menemukan permasalahan mereka dalam kitabullah, sedangkan orang-orang yang menempuh perjalanan bebas tanpa ketaatan kepada Allah dan Rasulullah SAW akan lebih sulit menemukan permasalahan mereka dalam kitabullah. Sebagian orang tersesat sejauh-jauhnya karena mengikuti syaitan berhakim kepada thaghut, sedangkan mereka mengira bahwa mereka adalah orang-orang yang beriman kepada apa-apa yang diturunkan Allah kepada Rasulullah SAW dan yang diturunkan Allah sebelumnya.

Indikator ini lebih baik daripada indikator yang dibuat manusia. Kadang manusia mengukur ketaatan seseorang berdasarkan apa-apa yang dapat ditampilkan orang tersebut. Indikasi ini bersifat nisbi karena orang-orang munafiq dan khawarij mempunyai kemampuan lebih baik dalam menampilkan indikator demikian. Kemampuan menjadikan Alquran sebagai hakim dalam kehidupan menjadi indikator yang paling baik tentang ketaatan seseorang kepada Allah dan Rasul-Nya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar