Pencarian

Minggu, 18 April 2021

Uswatun Hasanah dan Perempuan Yang Diuji

 

Rasulullah SAW dan orang-orang yang bersama beliau senantiasa menyeru manusia untuk kembali kepada Allah. Kehidupan dunia adalah kehidupan yang diciptakan Allah untuk memperkenalkan hakikat-hakikat kepada manusia, akan tetapi diwarnai dengan sekian banyak kebathilan. Setiap manusia harus kembali kepada Allah untuk memahami kebenaran yang hendak Dia perkenalkan kepada makhluk-Nya.

Allah telah menurunkan suatu tauladan yang baik dalam diri Ibrahim a.s. Beliau menjadi panutan bagi manusia untuk menempuh perjalanan kembali kepada Allah. Ibrahim a.s telah melakukan perjalanan kembali kepada Allah hingga Allah berkenan memperkenalkan suatu tajalli diri-Nya kepada beliau a.s. Perjalanan beliau untuk bertemu dan mengenal tajalli Allah dijadikan sebagai tauladan bagi umat manusia yang berharap untuk mengenal Allah dan berharap kehidupan akhirat.

Manusia hanya dapat mengenal kebenaran bila melalui jalan yang disediakan Allah dengan sikap hanif. Makhluk bumi yang hina tidak akan dapat mengenal kebenaran bilamana Allah tidak memberikan jalan kepada manusia. Uswatun hasanah Ibrahim a.s merupakan jalan yang disediakan Allah sebagai wasilah bagi manusia. Salah satu uswatun hasanah itu adalah sikap hanif. Sikap hanif dapat mengantar seseorang mengenal kebenaran hingga tingkat tertingginya dengan menempuh wasilah yang benar. Segel benarnya wasilah itu akan diketahui bilamana seseorang mengenal kebenaran yang tertinggi, yaitu mengenal Muhammad SAW sebagai rasulullah. Perjalanan untuk menuju kedudukan mulia merupakan perjalanan yang harus ditempuh melalui wasilah.

﴾۶﴿لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيهِمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَمَن يَتَوَلَّ فَإِنَّ اللَّهَ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ
Sesungguhnya pada mereka itu (Ibrahim a.s) ada teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap Allah dan hari akhir. Dan barangsiapa yang berpaling, maka sesungguhnya Allah Dialah yang Maha kaya lagi Maha Terpuji. (QS Al-Mumtahanah : 6)

Orang yang kembali kepada Allah adalah orang-orang yang berharap untuk mengenal Allah. Mereka mengharapkan Allah, bukan mengharap pahala-pahala dari sisi Allah kecuali pahala itu hanya sebagai pengingat kepada Allah. Harapan mereka adalah kemuliaan dalam makna yang sebenarnya, yaitu kemuliaan sebagaimana kehendak Allah dalam wujud akhlak al-karimah, dan hal itu hanya akan diperoleh secara sempurna bilamana Allah memperkenalkan diri-Nya kepadanya sebagaimana Allah memperkenalkan diri-Nya kepada Ibrahim a.s. Ibrahim a.s adalah suri tauladan bagi umat manusia.

Sama dengan manusia yang lain, Ibrahim a.s terlahir di bumi yang gelap. Segala sesuatu terlihat samar kebenarannya. Dari kehidupan demikian, Ibrahim a.s berjalan untuk berusaha mengenal Allah dengan sikap hanif, yaitu sikap untuk selalu mengikuti kebenaran, tidak berhenti pada satu waham kebenaran, hingga Allah memperkenalkan diri-Nya kepada beliau a.s. Sikap hanif ini dimulai dengan melepaskan segala kebathilan yang ada di sekitarnya. Beliau tidak mempercayai tuhan-tuhan yang dibuat oleh tangan ayahnya dan berusaha mencari tuhan yang lebih layak baginya, berupa bintang-bintang, kemudian bulan dan kemudian matahari. Segala sesuatu dipikirkan dalam landasan sikap hanif. Hal itu kemudian mengantarkan beliau untuk mengambil kesimpulan bahwa dirinya hanya layak untuk bersembah kepada Sang Pencipta segala sesuatu yang di langit dan bumi. Dengan harapan memperoleh petunjuk dari Sang Maha Pencipta dalam upayanya menemukan jalan ubudiyah, Allah kemudian berkenan untuk memperkenalkan diri-Nya kepada Ibrahim a.s.

Perempuan Yang Diuji

Kehidupan di bumi membuat seseorang harus bergaul dengan kebathilan-kebathilan. Seiring dengan perjalanan hijrah menuju Allah, seseorang dituntut untuk meninggalkan kebathilan-kebathilan untuk berpegang pada kebenaran. Seringkali hanya dengan melepaskan diri dari kebathilan-kebathilan maka seseorang dapat mengikuti kebenaran. Tanpa melepaskan diri dari suatu kebathilan, seseorang tidak akan dapat mengenal kebenaran-kebenaran tertentu dari Allah. Ini merupakan bentuk uswatun hasanah Ibrahim a.s yang lain.

Gambaran tentang hal ini dapat dilihat dalam kasus seorang perempuan mukminat yang berhijrah kepada Allah yang terikat pada seorang laki-laki yang memusuhi Islam. Dalam hal demikian, maka orang-orang beriman diperintahkan untuk melepaskan perempuan mukminat itu dari ikatan pernikahan dengan suaminya. Bila suaminya tidak memusuhi agama, maka alasan dari perintah itu tidak terjadi.


﴾۰۱﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا جَاءَكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ اللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِهِنَّ فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلَا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ لَا هُنَّ حِلٌّ لَّهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ وَآتُوهُم مَّا أَنفَقُوا وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ أَن تَنكِحُوهُنَّ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَلَا تُمْسِكُوا بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ وَاسْأَلُوا مَا أَنفَقْتُمْ وَلْيَسْأَلُوا مَا أَنفَقُوا ذٰلِكُمْ حُكْمُ اللَّهِ يَحْكُمُ بَيْنَكُمْ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ


Hai orang-orang yang beriman, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan beriman yang berhijrah, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka adalah perempuan beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka yang) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali dengan perempuan-perempuan kafir dan hendaklah kamu minta apa yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta apa yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS Al-Mumtahanah : 10)

Pernikahan adalah penyatuan wujud perpanjangan entitas hakiki manusia seutuhnya sebagai jiwa dan raga. Seorang laki-laki merupakan perpanjangan fungsi jiwa yang berakal kuat sebagai entitas yang harus berkembang untuk mengenal Allah, sedangkan perempuan merupakan perpanjangan fungsi raga yang harus memakmurkan aspek bumi seorang manusia. Allah memberikan perpanjangan wujud manusia itu sebagai penjelas bagi manusia agar dapat menempuh jalan mengenal Allah. Ikatan suami isteri merupakan wujud paling nyata tentang jalan yang diturunkan Allah bagi manusia untuk mengenal kebenaran yang tinggi. Pengenalan manusia kepada Allah dalam wujud kalimah thayyibah harus menyerupai pohon thayyibah yang cabangnya menjulang ke langit dan akarnya menghunjam ke bumi, dan itu terbentuk melalui pernikahan.

Raga seorang manusia merupakan makhluk bumi yang diberi kemampuan untuk mengenal Allah melalui jiwa. Hanya dengan mengenal jiwanya (nafs wahidah) maka seseorang dapat mengenal Allah. Tanpa mengenal jiwa maka raga seseorang tidak akan dapat mengenal Allah. Jiwa adalah jalan seseorang untuk mengenal Allah. Demikian pula hubungan laki-laki dan perempuan dalam pernikahan. Seorang suami adalah jalan bagi istrinya untuk mengenal Allah. Dengan suami yang tepat, seorang perempuan dapat mengenal Allah bagaikan mengenali bulan purnama, sedangkan dengan suami yang buruk seorang perempuan mungkin dapat mengenal Allah bagaikan mengenali bulan yang tidak terlihat pantulan sinar mataharinya. Baik atau buruk, suami menjadi jalan bagi seorang istri untuk mengenal Allah.

Pada pernikahan yang salah, hubungan pernikahan itu dapat menjadi bencana bagi seorang perempuan. Seorang perempuan mukminat akan tersiksa dalam pernikahan dengan seorang laki-laki yang memusuhi agama. Demikian pula seorang laki-laki mukmin akan terikat dalam ikatan yang buruk bila menikah dengan seorang perempuan yang memusuhi agama. Dalam pernikahan demikian, maka harus diusahakan perceraian di antara suami dan isteri. Ini adalah perintah yang bersifat khusus terkait hubungan pernikahan. Pada dasarnya pernikahan diperbolehkan terjadi antara seorang yang tidak/belum beriman yang tidak memusuhi agama dengan seorang mukmin,atau mukminat, bila pernikahan terjadi pada masa yang telah lampau sebelum keimanan, dan masih bisa dibangun mawaddah antara suami dan isteri dalam pernikahan itu. Barangkali pihak yang tidak beriman dapat diharapkan untuk beriman melalui mawaddah tersebut. Tetapi bila seorang suami memusuhi agama, harus diusahakan pemisahan pernikahan dengan isterinya yang mukminat.

Untuk memisahkan seorang perempuan beriman dari suaminya yang memusuhi agama, kaum mukminin harus melakukan pengujian terhadap mukminat yang berhijrah. Pernikahan itu tidak dapat dipisahkan begitu saja tanpa kaum mukminin benar-benar mengetahui keimanan mukminat tersebut. Mukminat itu harus menunjukkan keinginannya untuk berhijrah menuju akhlak mulia yang tidak dapat dibangun bersama suaminya yang memusuhi agama. Bila seorang perempuan bukan termasuk mukminat atau tidak berkeinginan hijrah, tidak diwajibkan untuk memisahkannya dari suaminya. Bila suaminya tidak memusuhi agama, tidak pula diwajibkan untuk memisahkannya, karena suaminya bisa menjadi jalan bagi istri untuk mengenal Allah. Bila perempuan itu benar-benar mukminat dan suaminya memusuhi agama, perempuan itu tidak halal bagi suaminya dan suaminya tidak halal bagi perempuan itu dan pernikahan mereka harus dipisahkan.

Kasus pemisahan tersebut merupakan wujud turunan fisis dari uswatun hasanah nabi Ibrahim a.s melepaskan kebatilan yang menjadi tauladan bagi hijrah umat manusia untuk mengenal Allah. Uswatun hasanah itu menjangkau sejak alam bumi hingga seseorang ditempatkan Allah di hadirat-Nya. Uswatun hasanah beliau bukan hanya untuk alam bumi saja atau alam langit saja. Banyak aturan-aturan lain terkait uswatun hasanah di semua lapisan yang harus diikuti oleh setiap orang yang ingin mengikuti nabi Ibrahim a.s untuk mengenal Allah.

Kasus pemisahan pernikahan seorang mukminat dari suaminya tersebut merupakan wujud aturan fisik dalam berhijrah di jalan taubat yang harus ditempuh setiap manusia untuk mengenal Allah. Pada setiap tingkatan terdapat wujud turunan uswatun hasanah yang harus dipatuhi oleh seseorang dalam berhijrah menempuh jalan taubat kembali kepada Allah. Misalnya seseorang yang memperoleh petunjuk yang benar tentang jodoh, orang tersebut dapat dikategorikan sebagai kafir bilamana menolak petunjuk yang benar tersebut. Orang tersebut bisa jadi termasuk dalam kategori beriman terhadap yang bathil dan kufur terhadap nikmat Allah karena memilih jodoh yang lain sesuai dengan hawa nafsunya. Kaum mukminin tidak boleh membiarkan hal itu terjadi, tidak boleh membiarkan seseorang kembali kepada kekufuran, walaupun dalam bentuk kekufuran yang lebih halus.

Hal ini harus dilakukan dengan didahului pengujian terhadap keimanan yang ada pada aspek perempuan seseorang yang berhijrah, baik aspek perempuan dalam wujud seorang perempuan ataupun aspek perempuan dalam wujud ragawi seorang laki-laki terkait dengan tuntunan pada jiwanya. Perempuan adalah aspek perempuan pasangan suami istri, sedangkan raga merupakan aspek perempuan bagi pasangan jiwa-raga. Bila keimanan seorang perempuan telah terlihat dalam upaya hijrahnya itu, maka tidak halal bagi mukminin untuk mengembalikannya kepada kebathilannya atau ke jalan kekufurannya. Perempuan itu harus dipisahkan dari kebathilannya dan jalan kufurnya agar dapat menemukan jalannya kembali kepada Allah. Demikian pula seorang laki-laki yang menemukan jalan keimanan yang bersumber dari jiwanya tidak boleh dikembalikan kepada kebathilannya dan jalan kufurnya bila telah terlihat bukti bahwa keinginan raganya berhijrah benar-benar berada di atas keimanan, bukan karena suatu hasrat tersembunyi yang bathil dalam hati yang menjadi keinginan hijrahnya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar