Pencarian

Senin, 26 Desember 2016

Hanif dan Kejumudan Beragama

Menegakkan Wajah bagi Agama

Dalam terminologi Alquran   yang dimaksud sebagai agama (addiin) adalah sebuah jalan hidup sempurna sesuai dengan fitrah diri yang telah digariskan oleh Allah SWT. Untuk mencapai agama, manusia harus menempuh perjalanan panjang menaklukkan diri sendiri dan ujian yang menghadang dalam perjalanan hidupnya. Perjalanan hidup untuk mencapai agama (Addiin) itu disebut hijrah.  
Pengertian agama didefinisikan dalam Alquran sesuai dengan ayat di bawah :

“Maka tegakkanlah wajahmu bagi addiin secara hanif, yaitu fitrah Allah yang manusia diciptakan di atasnya. Tidak ada penggantian bagi ciptaan Allah. Itulah agama (addiin) yang tegak, akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (QS 30 : 30).

Manusia diperintahkan menegakkan kehidupan untuk agama (addiin) secara hanif, yaitu pelaksanaan fitrah diri yang telah digariskan Allah bagi setiap manusia. Tidak ada perubahan dalam penciptaan Allah, bahwa fitrah yang telah digariskan_Nya bersifat tetap. Dengan pelaksanaan fitrah diri itulah agama menjadi tegak.

Beberapa point yang dapat kita ambil dari ayat tentang agama di atas :
- Allah telah menciptakan manusia atas sebuah fitrah tertentu
- Fitrah manusia telah ditetapkan, dan tidak berubah
- Manusia diperintahkan untuk menegakkan wajah kehidupan dirinya bagi agama
- Menegakkan wajah bagi agama hanya dapat dilakukan dengan bertindak hanif
- Agama yang tegak adalah pelaksanaan fitrah diri oleh setiap manusi

Terminologi hanif diterangkan dalam kisah Ibrahim sebagaimana disebutkan dalam alquran. Ibrahim  telah berlaku hanif dan tidaklah termasuk golongan musyrikin semenjak kecil. Tindakan beliau bersembah kepada bintang, bulan dan matahari bukanlah sebuah kemusyrikan, karena beliau mencari apa yang sebenar-benarnya patut menjadi tuhan. Dalam semua tindakan beliau mencari kebenaran yang sejati itu, beliau bertindak secara hanif. 

“Sesungguhnya aku menghadapkan wajahku bagi yang telah menciptakan langit-langit dan bumi secara hanif, dan aku bukanlah termasuk golongan orang musyrik.”(QS 6:79).

Dengan ketulusan hati mencari kebenaran dan dengan segenap kemampuan akalnya, Ibrahim mencari pengetahuan tentang ayat-ayat Allah dari alam,  ayat-ayat tentang bintang, bulan dan matahari. Namun dengan segenap usaha yang telah dilakukan, beliau merasa bahwa apa yang bisa dicapai dan dimengerti oleh dirinya hanyalah bagian kecil dari kebenaran yang sesungguhnya, maka beliau mengatakan sebagaimana ayat tersebut. Dari ayat tersebut, gambaran tentang hanif adalah sebagai berikut :
- Mencari pengetahuan kebenaran, dan mengikuti kebenaran yang lebih tinggi.
- Tidak berhenti dalam mencari pengetahuan kebenaran.
- Tidak merasa bahwa apa yang diperolehnya adalah kebenaran yang mutlak

kejumudan dalam beragama

Dengan tuntutan sikap hanif dalam menegakkan wajah bagi agama, setiap orang yang berusaha menegakkan agama seharusnya berkembang akalnya dan berpikiran  terbuka terhadap hal-hal yang mengandung kebenaran. Tetapi di jaman modern ini,  hal sebaliknya terjadi  ketika beberapa umat berselisih atas nama agama. Di kalangan umat Islam sendiri berkembang sebuah fenomena perselisihan yang kuat antar kelompok-kelompok. Fenomena itu bahkan berkembang kadang hingga taraf salah satu fihak tidak  mengakui bahwa pihak lain bukan merupakan bagian dari Islam hanya berdasarkan pikiran sendiri tanpa berdasarkan petunjuk dari Alquran maupun hadits nabi.

Fenomena perselisihan yang sering terjadi menunjukkan bahwa seseorang seringkali tidak berusaha mencari perkataan yang lebih baik, dan  lebih berkeinginan untuk membuktikan  bahwa lawan bicaranya dalam posisi salah. Orang yang berbeda pendapat cenderung tidak berusaha memahami frase kalimat yang diucapkan lawan bicaranya dengan lebih komprehensif, dan lebih berusaha menekankan pemahaman atas apa yang diucapkan dirinya. Tentu hal itu sama sekali berkebalikan dengan tuntutan sikap hanif untuk menghadapkan wajah bagi agama. Perselisihan itu tidak membawa manfaat karena semangat mengalahkan pihak lawan, dan tidak mempunyai ujung penyelesaian karena masing-masing tidak berusaha mencari perkataan yang terbaik.

Kelemahan akal yang menimpa sebagian umat rasulullah ini telah beliau ceritakan dalam sebuah hadits. Rasulullah SAW menyampaikan tentang akan bangkitnya kaum yang keluar dari islam walaupun kaum itu merupakan kaum yang membaca alquran, yang karenanya banyak manusia akan tertipu menjadi pengikut Dajjal. Salah satu ciri yang disebutkan oleh rasulullah adalah adanya kelemahan akal pada kaum tersebut.

Dari Ali r.a berkata, aku mendengar Rasulullah SAW bersabda : di akhir zaman akan muncul kaum yang muda usia dan lemah akal. Mereka berbicara dengan pembicaraan yang seolah-olah berasal dari manusia terbaik. Mereka membaca alquran tetapi tidak melampaui kerongkongannya. Mereka keluar dari islam sebagaimana anak panah terlepas dari busurnya. Apabila kalian bertemu dengan mereka maka perangilah mereka, karena memerangi mereka berpahala di sisi Allah pada berdirinya as-sa’ah (HR Muslim)

Kaum itulah yang dimaksudkan sebagai Khawarij.  Rasulullah telah menerangkan bahwa akan muncul suatu kaum yang keluar dari islam (khawarij), walaupun mereka mengikuti ajaran islam. Bahkan dalam sebagian riwayat dikatakan bahwa para sahabat akan merasa minder bila membandingkan shalat, puasa dan ibadah-ibadah mereka terhadap ibadah kaum itu, tetapi kaum itu keluar dari islam sebagaimana anak panah terlepas dari busurnya.  Hal yang mereka tegakkan berdasarkan pemahaman mereka terhadap agama pada dasarnya keliru sehingga mereka dikatakan keluar dari agama.

Pemahaman dalam beragama harus berangkat dari sikap hanif, berupa sikap tulus dalam berusaha sungguh-sungguh  mengenal kebenaran dan melakukan amal berdasar kebenaran dari segala sesuatu yang hadir dalam semesta dirinya. Doktrin-doktrin kebenaran yang diterima tanpa sebuah sikap hanif boleh jadi akan melontarkan seseorang keluar dari Islam sebagaimana anak panah terlempar dari busurnya, sementara dirinya merasa sebagai seorang pejuang untuk agama. Hal itulah yang menimpa kaum khawarij yang harus diperangi oleh  umat rasulullah.

Pendidikan agama harus diarahkan untuk pembentukan karakter hanif sebelum diberikan indoktrinasi ajaran agama. Ketiadaan sikap hanif pada tahap awal akan menjadikan seseorang menjadi lemah akal, dan pada akhirnya akan menjadikan seseorang menghayati pendidikan agama secara salah. Seorang anak yang diberi doktrin-doktrin agama tanpa sikap hanif boleh jadi akan mudah menjadi orang yang merasa sebagai pemilik kebenaran tanpa mengetahui kebenaran secara menyeluruh dan akhirnya malah melontarkannya menjauh dari agama.

Hal itulah yang menimpa hampir seluruh umat manusia jaman modern, sehingga keberagamaan dipandang sebagai sesuatu kelompok yang menjadi pemilik kebenaran yang membawa perselisihan terhadap klaim benar dan salah. Umat manusia tidak bergerak untuk mengenal kebenaran yang lebih tinggi tetapi terjebak dalam kebenaran yang statis, atau bahkan mungkin sebenarnya bisa dikatakan terjebak dalam waham kebenaran. Dalam jebakan waham kebenaran, satu orang berselisih dengan orang lain,  satu kaum berselisih dengan kaum yang lain dan satu umat berselisih dengan umat yang lain. Masing-masing merasa sebagai pemilik kebenaran sehingga perbedaan pendapat itu tidak membawa manfaat.

Keber-agama-an harus dilihat sebagai usaha untuk menjalankan perintah sang Pencipta, yang mempunyai nama-nama baik dan sifat yang baik. Segala cela dan kekurangan berasal dari makhluk sedangkan tidak ada cacat dan cela sedikitpun dalam segala kehendak-Nya. Dengan menyadari hal itu, seseorang yang berusaha menjalankan perintah-Nya dengan ikhlas harus juga berusaha mengenali dan menghindari segala cela dalam usahanya, karena syaitan akan menjadikan manusia memandang baik segala usaha  manusia termasuk keburukan dan cacat yang ada dalam usaha itu.


Pada jaman ini bersikap hanif tidaklah seperti perbuatan Ibrahim muda  yang bersembah kepada bintang, bulan dan matahari. Agama pada jaman ini telah diturunkan kepada para nabi hingga akhirnya disempurnakan kepada rasulullah Muhammad SAW. Bersikap hanif pada jaman ini adalah berusaha dengan tulus memahami kebenaran dan menjalankannya sesuai dengan tuntunan nabi. Kebenaran demi kebenaran harus dipahami hingga akhirnya mengantarkan setiap diri  bersaksi bahwa Rasululllah SAW adalah makhluk yang paling mulia, membawa kebenaran paling tinggi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar