Pencarian

Kamis, 03 Agustus 2023

Rasulullah SAW Sebagai Uswatun Hasanah

Allah telah mengutus Rasulullah SAW ke alam dunia untuk menjadi tauladan bagi seluruh umat manusia dalam beribadah kepada Allah. Hendaknya seluruh umat manusia mengikuti jejak langkah beliau SAW dengan membentuk akhlak al-karimah dalam melaksanakan ibadah kepada Allah. Dengan mengikuti Rasulullah SAW, seseorang akan menemukan jalan untuk kembali kepada Allah menjadi hamba yang didekatkan.

Untuk tugas demikian Allah mengutus seorang manusia. Rasulullah SAW diutus dari kalangan manusia yang diciptakan dari alam yang terjauh dari sumber cahaya, dan dilengkapi ruh yang berasal dari alam tertinggi. Karena penciptaan demikian, beliau SAW sebenarnya mempunyai pengetahuan yang paling sempurna terhadap segala masalah yang mungkin dialami oleh sesuatu yang diciptakan Allah. Akan tetapi kebanyakan manusia tidak menyadari hal demikian justru berangan-angan bahwa utusan yang didatangkan kepada mereka berasal dari kalangan malaikat dari alam yang tinggi.

﴾۰۱۱﴿قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ يُوحَىٰ إِلَيَّ أَنَّمَا إِلٰهُكُمْ إِلٰهٌ وَاحِدٌ فَمَن كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa". Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya". (QS Al-Kahfi : 110)

Sebagian manusia menginginkan adanya keajaiban-keajaiban yang melampaui batasan umum kemanusiaan untuk membuat mereka kembali kepada Allah, dan sebagian manusia kafir terhadap seruan untuk kembali kepada Allah. Hal demikian menunjukkan adanya kelemahan dalam menggunakan akal, sedangkan sebenarnya bagi mereka telah disediakan potensi kemampuan akal yang mencukupi untuk memahami seruan Rasulullah SAW. Sebagian manusia memperoleh cahaya yang menerangi kehidupan mereka karena beriman kepada manusia mulia yang menyeru mereka untuk kembali kepada Allah, maka mereka itulah orang-orang yang berakal.

Jalan untuk kembali kepada Allah telah disediakan Allah bagi setiap manusia di alam dunia ini, yang diletakkan dalam diri masing-masing. Rasulullah SAW telah menunjukkan jalan itu kepada umat manusia. Apa yang beliau SAW tunjukkan merupakan kebenaran yang telah benar-benar beliau pahami. Beliau SAW sebagai manusia bumi telah menempuh millah Ibrahim a.s dari bumi hingga diberi karunia mi’raj hingga ufuk yang tertinggi berjumpa dengan wajah Allah. Setiap manusia mempunyai jalan untuk berjumpa dengan wajah Allah dengan menempuh jalan yang ditentukan baginya mengikuti jalan Rasulullah SAW.

Pengetahuan yang beliau SAW peroleh merupakan pengetahuan berdasarkan wahyu. Sifat pengetahuan berdasar wahyu merupakan pengetahuan atas suatu kesadaran. Wahyu yang diturunkan seringkali merupakan pembenar bagi suatu kesadaran yang dimiliki sebelumnya, atau setidaknya seseorang telah memiliki kesadaran yang mendekati kandungan wahyu tersebut. Demikian pula Rasulullah SAW merupakan manusia yang telah mempunyai akhlak Alquran sebelum Alquran itu diturunkan, dan turunnya Alquran sekaligus merupakan pembenar bagi akhlak beliau SAW. Akhlak dalam diri beliau SAW menjadikan beliau SAW mengetahui bahwasanya ilah bagi manusia hanyalah ilah yang satu, Allah SWT, dan kemudian wahyu Allah memberikan penegasan dan penjelasan apa yang telah diketahui Rasulullah SWT.

Lurusnya akhlak Rasulullah SAW dalam ibadahnya mencakup hal-hal terperinci. Hal ini tidak akan mampu diperoleh orang lain kecuali mengikuti Rasulullah SAW. Sangat banyak orang yang menyangka bahwa dirinya adalah orang-orang yang baik atau berbuat kebaikan sedangkan usaha mereka dalam kehidupan dunia sebenarnya adalah usaha yang sesat. Bahkan kadangkala manakala orang -orang lain memperingatkan kekeliruan yang mereka perbuat dengan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW, mereka tidak dapat melihat kesesatan mereka. Tidak demikian dengan keadaan Rasulullah SAW. Beliau SAW mempunyai kesadaran tentang kebenaran hingga masalah yang sangat terperinci. Karena akhlak itu beliau SAW tidak berbuat salah, dan Alquran diturunkan kepada seorang manusia dengan akhlak demikian.

Sebagian orang berada dalam keadaan bodoh. Hal itu terkait dengan akal. Yang menjadikan seseorang termasuk dalam golongan bodoh bukanlah kemampuan logika, tetapi karena akhlak yang buruk. Kelemahan dalam memahami kebenaran merupakan kelemahan akal dan akhlak yang buruk. Tidak terbatas itu, kadangkala manusia salah dalam memahami hukum-hukum yang ditentukan Allah bagi mereka, maka itu juga termasuk dalam kelemahan akal. Manakala seseorang berada dalam kelemahan akal, mereka mereka seringkali mudah terjatuh dalam golongan orang-orang kafir.

Mengambil Wali selain Allah

Di antara orang-orang kafir adalah orang-orang yang menjadikan hamba-hamba Allah sebagai wali bagi mereka selain Allah. Pikiran demikian itu jauh dari hukum Allah, dan orang yang mempunyai pikiran demikian termasuk dalam golongan orang-orang kafir. Barangkali mereka mencari wali bagi kehidupan mereka, akan tetapi mereka tidak menggunakan akalnya untuk memahami ayat-ayat Allah, maka kelemahan akal demikian menjadikan mereka tetap dalam keadaan kafir. Barangkali mereka mengira bahwa hamba-hamba Allah itu bisa menyamai kedudukan Allah hingga mereka menjadikan hamba-hamba Allah itu sebagai wali bagi mereka.

﴾۲۰۱﴿أَفَحَسِبَ الَّذِينَ كَفَرُوا أَن يَتَّخِذُوا عِبَادِي مِن دُونِي أَوْلِيَاءَ إِنَّا أَعْتَدْنَا جَهَنَّمَ لِلْكَافِرِينَ نُزُلًا
maka apakah orang-orang kafir menyangka bahwa mereka (dapat) mengambil hamba-hamba-Ku menjadi wali selain Aku? Sesungguhnya Kami telah menyediakan neraka Jahannam tempat tinggal bagi orang-orang kafir. (QS Al-kahfi :102)

Hal seperti ini termasuk dalam perincian masalah yang harus dipahami dengan mengikuti tuntunan Rasulullah SAW. Ada di antara umat manusia orang yang benar-benar berkeinginan untuk menjadi hamba Allah hingga Allah ridha kepada mereka. Mereka dapat menunjukkan kepada manusia kehendak Allah, maka manusia dapat memperoleh manfaat yang besar dari mereka. Akan tetapi setiap manusia hendaknya mengetahui batas dalam mengikuti mereka. Manakala berselisih atau bertentangan dengan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW, umat manusia tidak boleh mengikuti perkataan mereka dengan mengabaikan kedua tuntunan mulia tersebut, atau mereka termasuk dalam kelompok orang kafir yang menjadikan hamba-hamba Allah sebagai wali bagi mereka selain Allah. indikator kekufuran dalam peristiwa demikian adalah ketidakmampuan untuk melihat dan mendengar ayat-ayat Allah yang digelar pada semesta mereka sedangkan mereka berurusan dengannya.

Sikap demikian tidak akan mengantarkan seseorang memperoleh cahaya Allah yang akan menerangi kehidupan mereka. Mereka barangkali merasa mengikuti hamba-hamba Allah, akan tetapi mereka tidak mengikuti cahaya Allah. Sikap demikian seringkali mengarah berlebihan, yaitu menjadikan hamba-hamba Allah yang mereka ikuti sebagai pujaan selain Allah, hingga lebih mempercayai perkataan mereka daripada firman Allah dan sunnah Rasulullah SAW. Hal ini sama sekali tidak diperbolehkan. Seorang hamba Allah bisa menjadi penunjuk jalan kepada Allah selama ia berada di jalan Allah, dan setiap orang harus berharap kepada Allah manakala mengikuti hamba Allah yang lain, tidak menjadikannya sejajar dengan Allah atau sebagai tandingan-Nya. Manakala memandang perkataan hamba Allah sejajar dengan firman Allah, seseorang telah menjadikan hamba-Nya sebagai wali selain Allah. Mereka tidak akan menemukan amal shalih yang menjadi jalan untuk kembali kepada Allah, justru mereka akan kembali menuju neraka sebagai tempat kembali mereka.

Rasulullah SAW sangat mencegah dan menghindarkan umatnya dari keadaan demikian. Allah memberikan perintah kepada Rasulullah SAW untuk mengedepankan sisi manusiawi beliau SAW dalam menyeru manusia untuk kembali kepada Allah, maka hendaknya manusia mengikuti beliau SAW hingga sisi manusiawi diri mereka. Kebenaran telah Allah turunkan hingga menjangkau alam dunia yang gelap, maka hendaknya manusia mencari kebenaran itu padanya dengan kitabullah, tidak tersilaukan dengan tingginya suatu cahaya yang mungkin saja palsu yang dapat menipu mereka hingga tersesat dari jalan Allah. Tidak ada buruknya mengikuti kebenaran makhluk bumi selama mereka berharap kepada Allah dengan mengikuti kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW, dan tidak ada kebaikan menjadikan hamba-hamba Allah menjadi wali sedangkan hamba itu berlainan atau berseberangan dengan Allah.

Kedudukan Allah tidak dapat disejajarkan dengan apapun termasuk dengan hamba-Nya. Firman Allah tidak dapat disejajarkan derajatnya dengan perkataan lain walaupun perkataan hamba-Nya. Perkataan yang lain benar hanya bila bersifat penjelasan terhadap ayat kitabullah, dan tidak mungkin bersifat benar manakala diucapkan dengan maksud sebagai kedudukan yang sama dengan suatu ayat kitabullah. Kadangkala syaitan menjadikan seseorang terlupa terhadap kedudukan Allah dan mengucapkan sesuatu yang bertentangan dengan kitabullah. Bila manusia menilai suatu ucapan seorang hamba-Nya dapat sejajar atau dapat digunakan untuk menghapus makna suatu ayat kitabullah, maka ia termasuk dalam orang yang menjadikan hamba-Nya sebagai wali selain Allah.

Status kehambaan seseorang terkait dengan Allah harus diukur dengan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW, tidak mengikuti hawa nafsu. Setiap orang hanya dapat mengambil amr Allah melalui kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW, tidak melalui jalan yang lain, dan tidak ada amr Allah yang bertentangan dengan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW. Apa yang diambil seseorang dari kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW itulah yang dapat menjadi bagian dari amal shalih, bukan pada perbuatan mengikuti orang lain tanpa suatu landasan yang benar dari kitabullah, sekalipun mereka mengikuti para wali. Menjadikan seorang hamba Allah sebagai wali tanpa berusaha memperoleh sesuatu dari kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW tidak akan mendatangkan manfaat bagi manusia, dan ia mungkin saja akan jatuh termasuk dalam golongan orang kafir.

Sesat dalam Usaha

Seringkali manusia berbuat demikian, dan mereka memandang bahwa diri mereka telah berbuat kebaikan dengan perbuatannya. Sebenarnya mereka adalah orang-orang yang paling merugi perbuatannya, yaitu manakala perbuatan mereka di dunia ini sesat sedangkan mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat dengan perbuatan yang sebaik-baiknya.

﴾۴۰۱﴿الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا
Yaitu orang-orang yang telah sesat usahanya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. (QS Al-Kahfi :104)

Kesesatan adalah perjalanan yang keliru arah. Tidak dikatakan tersesat seseorang yang kafir karena tidak berjalan. Orang-orang yang sesat seringkali memandang bahwa diri mereka adalah golongan orang-orang yang terbaik, tetapi sebenarnya mereka tidak berada pada jalan yang benar. Demikian orang-orang yang paling merugi usahanya, mereka memandang diri mereka sebagai orang-orang yang melakukan amal-amal yang terbaik sedangkan mereka tidak mengenali kehendak Allah terhadap diri mereka. Sebagian di antara mereka adalah orang-orang yang menjadikan hamba-hamba Allah sebagai wali tetapi tidak berusaha mengambil kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW sebagai landasan amal mereka, hingga manakala mereka bertentangan dengan kitabullah mereka lebih mempercayai pendapat mereka sendiri daripada kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW.

Kesesatan pada ayat di atas berada pada tingkatan usaha (سَعْيُ) bukan pada tingkatan amal. Suatu usaha menunjukkan rangkaian amal-amal yang mempunyai sasaran tertentu, baik sasaran sementara ataupun sasaran akhir. Misalnya suatu sa’i bisa mempunyai sasaran untuk umrah atau haji, maka sa’i tersebut bernilai benar. Dalam hal usaha yang tersesat, yang dikatakan tersesat adalah sasaran yang hendak dicapai tidak sesuai dengan kehendak Allah. Pada tingkatan amal, boleh jadi mereka tidak melakukan suatu kesalahan tetapi sasaran yang dituju dengan usaha itu tidak menyentuh kehendak Allah atau justru bertentangan dengan kehendak Allah.

Parameter tersesat atau tidaknya seseorang adalah kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW. Seseorang yang mengikuti kitabullah dan sunnah Rasullah SAW dengan cara yang hanif tidaklah tersesat walaupun belum dapat melangkah jauh. Orang yang bertentangan dengan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW dapat dikatakan tersesat walaupun ia telah menempuh perjalanan yang panjang. Dalam banyak kejadian, seseorang menjadi tersesat karena memperoleh makna yang salah dari kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW. Hal ini menunjukkan adanya akhlak keliru yang tumbuh dalam diri mereka. Bila seseorang berusaha membentuk akhlak mulia secara hanif, makna yang keliru itu akan terasa kekeliruannya. Akhlak mulia akan menjadikan seseorang memahami sasaran dan tujuan yang harus dicapai dan dapat merasakan kekeliruan dalam arah usahanya.

Kemuliaan akhlak itu ditunjukkan ketulusan/kehanifan seseorang dalam mengikuti kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW. Pada perjalanan yang telah lanjut, seorang hamba Allah akan menemukan kesatuan urusan Allah sebagai bagian dari amr jami Rasulullah SAW untuk ruang dan jaman mereka. Orang lain bisa hendaknya mengikuti mereka untuk menemukan amr Allah yang menjadi amanah bagi mereka, dengan memperhatikan dan mengutamakan ayat-ayat Allah yang digelar. Para hamba Allah itu akan membantu, sedangkan sumber amr Allah ada pada kitabullah. Mengikuti mereka tidak akan memberi manfaat bila tidak memperhatikan kitabullah. Di sisi lain, banyak kepalsuan berasal dari makhluk, karenanya setiap orang hendaknya memperhatikan ayat-ayat kitabullah dan kauniyah mereka.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar