Pencarian

Kamis, 15 Juli 2021

Menuju Ulul Albab

Rasulullah SAW dan orang-orang yang bersama beliau dalam al-jamaah senantiasa menyeru umatnya untuk kembali kepada Allah. Dalam perjalanan kembali kepada Allah, setiap mukmin akan menemukan keadaan dimana Allah SWT memberikan kabar gembira kepada dirinya. Di antara kabar gembira itu adalah kabar tentang kedudukan dirinya dalam kehidupan dunia dan kehidupan akhirat. Itu akan dilimpahkan bagi orang-orang yang termasuk dalam golongan Ulul Albab yang dikehendaki Allah.

Menghindari Thaghut

Berita gembira itu adalah hadiah bagi seseorang yang telah menempuh perjalanan kembali kepada Allah dengan membersihkan kesalahan dalam mengenali tujuan kehidupannya, yaitu Allah. Harus disadari bahwa syaitan sangat menginginkan untuk menghalangi setiap manusia untuk mengenal Allah. Mereka membuat perkataan-perkataan tentang Allah agar manusia mengikuti perkataan-perkataan itu tanpa memiliki pengetahuan. Dengan konsep dan perkataan mereka tentang Allah, mereka menghalangi manusia untuk memperoleh pengetahuan yang benar tentang Allah, dan seringkali manusia tidak mengetahui kesalahan yang terjadi atas pengetahuan mereka tentang Allah.

﴾۷۱﴿ وَالَّذِينَ اجْتَنَبُوا الطَّاغُوتَ أَن يَعْبُدُوهَا وَأَنَابُوا إِلَى اللَّهِ لَهُمُ الْبُشْرَىٰ فَبَشِّرْ عِبَادِ
Dan orang-orang yang menjauhi thaghut (agar) tidak menyembahnya dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira; maka sampaikanlah berita itu kepada hamba-hamba-Ku (QS Az-Zumar : 17)

Agar seorang muslim dapat memperoleh berita gembira tentang diri mereka dari Allah, hal pertama yang harus dilakukan adalah dirinya harus berusaha sungguh-sungguh menghindari thaghut yang dibangun syaitan untuk menjerat. Tanpa berusaha menghindari thaghut, ia tidak akan menemukan berita gembira dari Allah. Menghindari thaghut merupakan pondasi kecintaan seseorang kepada Allah, bahwa Allah menguji kekokohan pondasi cinta seorang hamba kepada Allah melalui upaya syaitan berupa thaghut. Orang yang menghindari thaghut adalah orang yang akan mempunyai kecintaan yang kokoh kepada Allah, sebagaimana Ibrahim kecil menghindari penyembahan secara keliru kepada tuhannya.

Perkataan syaitan bagi manusia tentang Allah adalah suatu thaghut yang akan menghalangi dan menyesatkan manusia. Mereka membuat perkataan-perkataan itu dengan dasar ajaran-ajaran yang diturunkan Allah, tetapi disusun sedemikian agar manusia tidak dapat memperoleh pengetahuan tentang Allah. Dalam sejarahnya, mereka dapat membuat thaghut sedemikian hingga mengubah apa yang diturunkan Allah bagi manusia. Tentang nabi Isa a.s misalnya, beliau bisa dijadikan syaitan sebagai suatu thaghut bagi mayoritas umat pengikut beliau a.s dengan diberikan dasar suatu kitab suci yang terkodifikasi bagi umatnya.

Dalam islam, thaghut tidak dapat dibuat syaitan dengan sedemikian bebas. Akan tetapi tidak berarti syaitan tidak bisa membuat thaghut di antara umat islam. Alquran sangat banyak memberikan peringatan tentang thaghut atau tentang syaitan yang menyuruh manusia mengatakan tentang Allah tanpa pengetahuan. Hal itu menunjukkan adanya upaya syaitan untuk membuat perkataan-perkataan tentang Allah agar manusia mengatakan tentang Allah tanpa pengetahuan. Hal yang harus digarisbawahi, ini tidak selalu berarti syaitan membuat perkataan yang salah tentang Allah, tetapi mereka hanya membuat manusia mengikuti perkataan tentang Allah tanpa mencari makna dan pengetahuan tentang hal itu.

Ada kaum yang menghamba kepada syaitan menyebarkan perkataan-perkataan itu di antara muslimin, yang berciri memecah belah agama menjadi beberapa golongan dan setiap golongan berbangga dengan apa yang ada pada mereka. Mereka adalah orang musyrik yang menyebarkan perkataan syaitan tentang Allah di antara umat islam. Selain itu, syaitan pun selalu berusaha menyelipkan perkataan mereka itu melalui hembusan ke dalam hati di antara orang-orang yang tidak bertakwa ketika mengatakan sesuatu tentang Allah.

Kembali Kepada Allah

Selain menghindarkan diri dari thaghut, seorang hamba harus mendekat kembali kepada Allah agar Allah memberikan berita gembira kepada dirinya. Mendekat kembali kepada Allah adalah langkah mengikuti para uswatun hasanah kembali kepada Allah sebagaimana nabi Muhammad SAW dan nabi Ibrahim a.s. Dalam millah Ibrahim a.s, beliau diperintahkan untuk mencari tanah suci, kemudian membangun baitullah di tanah suci bersama keluarga beliau. Sedangkan rasulullah SAW memberikan contoh Isra’ dan Mi’raj sebagai langkah kembali kepada Allah.

Langkah-langkah demikianlah yang harus diikuti oleh setiap manusia tanpa terkecuali sebagai sunnah dan millah. Berhijrah ke tanah suci merupakan pencarian jati diri seseorang hingga seseorang mengenal untuk apa dirinya diciptakan Allah. Dalam tataran praktis, seseorang yang tiba di “tanah suci”nya akan mengenal amal-amal yang ditetapkan bagi dirinya sebelum kelahirannya ke dunia. Itu adalah hijrah dalam tahapan pertama, sebagaimana Ibrahim a.s bersama keluarganya hijrah ke lembah Bakkah, atau seperti Musa a.s menghijrahkan bani Israel ke tanah yang dijanjikan. Tahap berikutnya setelah mengenal penciptaan diri, setiap orang harus membangun bait yang diijinkan untuk disebut dan ditinggikan asma-Nya di dalam bait itu. Bait itu secara konkrit terbentuk dalam wujud keluarga yang sakinah sebagai perpanjangan fungsi sosial dirinya dalam berkiprah bagi umat manusia. Dengan bait sakinah itu, seseorang dapat meninggikan asma Allah bagi umatnya.

Dengan menjalankan tugas dirinya dalam meninggikan asma Allah melalui baitnya, seseorang dapat berharap agar Allah memperjalankan dirinya isra’ dan mi’raj sebagaimana rasulullah SAW mi’raj. Tentu saja ada perbedaan dengan mi’raj rasulullah SAW. Seseorang hanya akan mi’raj hingga kedudukan yang disediakan bagi dirinya, tidak akan mampu melampaui sedikitpun, tidak akan mampu mencapai kedudukan rasulullah SAW ketika mi’raj. Bila seseorang mencapai keadaan demikian, ia telah ikut bersama memenuhi seruan rasulullah SAW kembali kepada Allah.

Memperkuat Akal

Perjalanan demikian tidak akan dapat ditempuh seseorang dengan raganya. Seseorang hanya dapat menempuh perjalanan demikian dengan melibatkan jiwa dan raganya. Akal raga dalam bentuk logika tidak akan mampu melampaui alam raga. Ada Akal dalam jiwa yang bisa memahami apa yang ada dibalik alam raga. Akal yang ada dalam jiwanya harus berkembang hingga sempurna untuk memahami cahaya Allah yang digelar di seluruh semesta.

Orang yang memperoleh berita gembira tentang dirinya adalah seseorang yang memiliki kualitas akal lubb, termasuk dalam kategori ulul albab. Hal itu dapat dicapai oleh seseorang yang berupaya kembali kepada Allah dengan akal terbuka. Seseorang yang menutup akalnya atau mempunyai fanatisme tidak akan dapat mencapai kualitas akal demikian.

﴾۸۱﴿الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ أُولٰئِكَ الَّذِينَ هَدَاهُمُ اللَّهُ وَأُولٰئِكَ هُمْ أُولُوا الْأَلْبَابِ
(18)yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.

Alquran mendetailkan sifat keterbukaan itu dalam ungkapan memperhatikan perkataan dan mengikuti yang terbaik di antara perkataan-perkataan. Secara tersirat, seorang muslim tidak boleh terjebak dalam kejumudan suatu pemikiran agar akalnya bisa berkembang mencapai kualitas lubb. Setiap muslim harus berusaha mendengarkan hal-hal terbaik dalam suatu perkataan dan mengikuti kebaikan yang ada dalam perkataan itu.

Kebaikan dan baiknya suatu perkataan adalah pemahaman-pemahaman yang mengantarkan seseorang untuk mengenal Allah dengan lebih baik. Akan tetapi mengenal Allah bukanlah bidang garapan logika yang dapat disusun dengan kata-kata, tetapi mengenal Allah adalah dengan mempunyai sifat yang sesuai dengan Allah. Allah yang Maha Rahman dan Maha Rahim itu hanya akan dapat dikenal oleh orang yang mempunyai sifat rahmaniah dan rahimiah. Orang-orang yang mencintai dan memiliki sifat-sifat tersebut adalah orang-orang yang mempunyai pengenalan kepada Allah, sedangkan orang membenci kedua sifat tersebut adalah orang-orang yang tidak akan mengenal Allah. Kebaikan suatu perkataan adalah kata-kata yang mengantarkan seseorang untuk memiliki sifat rahmaniyah dan rahimiyah karena kedua sifat itu adalah nama Allah yang paling utama. Demikian pula apa yang mengantarkan seseorang mempunyai sifat mulia dan akhlak mulia, itu adalah perkataan yang baik (ahsan).

Perkataan yang baik akan membangun pemahaman agama (tafaqquh fiddiin) dalam diri seseorang. Kerangka pemahaman agama hanya akan dapat di bangun bila seseorang bisa mendengarkan perkataan yang paling baik (ahsan) dan mempunyai keinginan mengikuti perkataan yang baik itu. Perdebatan bukanlah perkataan yang baik kecuali perdebatan itu dapat menunjukkan seseorang untuk memiliki sifat dan akhlak yang mulia. Tanpa hal itu, perdebatan merupakan perbuatan sia-sia. Perdebatan dengan mengadu dalil-dalil agama ataupun logika tidaklah akan menunjukkan seseorang pada suatu kebaikan.

Tafaqquh dalam agama akan menjadikan seseorang memiliki keemampuan mengerti kehendak Allah bagi dirinya dalam kehidupan di dunia. Ketika sebuah berita gembira dari Allah dikenalkan dalam hatinya, pikirannya tidak melambung jauh melampaui batas-batas yang ditentukan Allah dalam berita itu. Yang lebih penting, berita dari Allah itu harus benar-benar dipahami sesuai dengan kehendak-Nya, tidak melenceng karena hawa nafsu. Cirinya, ia mengetahui kedudukan dirinya dalam perjuangan rasulullah SAW. Hal ini hanya dapat dilakukan bila seseorang memiliki kerangka agama yang benar. Ia telah mengenali thaghut-thaghut yang mungkin menjebak dirinya, dan ia mengenal jalan kembali kepada Allah sebagaimana dicontohkan uswatun hasanah Rasulullah SAW dan nabi Ibrahim a.s serta keluarganya, kemudian ia membuka akalnya untuk mengikuti perkataan terbaik yang mengantarkannya mengenal Allah dengan cara yang benar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar