Pencarian

Jumat, 08 April 2016

Menuju Tauhid

Tauhid menurut bahasa (etimologi) artinya menjadikan sesuatu itu satu. Dalam al-quran, tauhid merupakan penjabaran dari surat al-ikhlash :
Katakanlah : Dia adalah Allah yang Esa (Ahad) (QS al-ikhlash : 1)
Dia (Huwa) adalah dzat yang maha wujud, tidak berawal dan tidak berakhir yang telah menciptakan segala sesuatu.  Wujud Huwa (Dia) dijelaskan sebagai tidak ada yang semisal bagi-Nya sesuatu pun. Tidak ada yang bisa mengenal Huwa sedikitpun, baik wujud-Nya, keagungan-Nya, shifat-Nya atau apapun, kecuali diri-Nya sendiri.

Tauhid Uluhiyah

Huwa (Dia) berkehendak untuk dikenal. Kehendak-Nya adalah untuk dikenal dengan asma “Allah”.  Surat al-ikhlas  ayat 1 menjelaskan tentang perintah  kepada makhluk untuk berkata : “Dia (Huwa) adalah Allah yang Esa (Ahad)”. Maksud perintah-Nya berupa  “katakanlah” bukanlah sekadar untuk berkata, tetapi untuk berkata-kata dengan pengetahuan. Maka perintah itu dijabarkan rasulullah SAW sebagai kalimat syahadat (persaksian) yaitu : “Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah selain Allah”. Persaksian tidak akan  bermanfaat dan tidak sah tanpa disertai dengan pengetahuan.

“Allah”  adalah nama yang dikehendaki-Nya untuk dikenal makhluk, sebagai aspek dzahir Huwa (Dia)  yang bisa dikenal oleh makhluk. Tidak ada satupun makhluk yang mengenal aspek bathin Huwa (Dia)  karena tidak ada sesuatupun yang bisa menjadi misal bagi-Nya. Dia (Huwa) berkehendak agar nama “Allah” dikenal sebagai ilah, yaitu  sesuatu yang menjadi puncak kecintaan makhluk. Itu adalah tauhid uluhiyah.

Tauhid uluhiyah dapat dilakukan dengan mengenal rububiyah dan asma serta sifat-sifat yang diperkenalkan-Nya dalam segenap ufuk. Di dalam asma “Allah” terkandung seluruh aspek rububiyah dan asma serta sifat-sifat-Nya. Seseorang yang dengan ikhlash mencermati ufuk semesta dan dalam dirinya niscaya akan menemukan al-haq.

Tauhid Rububiyah

Huwa (Dia) menggunakan nama “Allah” menciptakan makhluk agar makhluk bisa mengenal nama “Allah” sebagai ilah. Dalam fase penciptaan dan setelahnya, “Allah” dikenal dengan martabat Rabbul-‘alamiin.  Sebelum ada penciptaan, tidak ada pangkat rabb disematkan bagi-Nya.  Martabat  Rabbul ‘alamiin menunjukkan bahwa Allah menciptakan dan memelihara ciptaan-Nya. Tanpa  martabat-Nya sebagai rabb, alam semesta akan lenyap tidak ada yang menjaga.

Dalam martabat rububiyah-Nya, dia menciptakan manusia dan jinn untuk menjadi hamba sebagaimana dikatakan dalam surat adz-dzariyat : 6. Ubudiyah (penghambaan) manusia dan jinn ditujukan kepada-Nya dalam martabat rububiyah. Ubudiyah (penghambaan) yang sebenar-benarnya oleh makhluk kepada rabb akan mengantarnya untuk mengenal Allah sebagai ilah. Bukti ubudiyah makhluk yang sebenar-benarnya ditandai dengan diutusnya ruh-alquds yang membawa amr (urusan) rabb bagi hambanya. Amr rabb itu adalah urusan untuk apa diri seseorang diciptakan, sehingga dikatakan dia mengenal dirinya.  Itulah tauhid rububiyah.

Ubudiyah seorang manusia atau jinn bukanlah sebuah kedudukan hina, justru ubudiyah itu akan mengangkat dirinya mengenal martabat yang lebih tinggi. Pada ujung ubudiyah seorang hamba, Allah berkehendak memberikan amr (urusan) rububiyah kepadanya, berupa urusan pemakmuran bumi, agar hamba itu mengenal bahwa hanya Allah SWT yang layak menjadi ilahnya. Hal itu terjadi bila akhlak makhluk mencapai bentuk sempurna, bentuk ciptaan yang penuh kemuliaan, akhlakul karimah.

Setiap makhluk mendapatkan rububiyah dari rabbul ‘alamin. Pada setiap makhluk terdapat ruh sebagai bentuk rububiyah-Nya yang membuat sesuatu ada dan bertahan. Dengan ruh, seseorang yang terluka dapat kembali utuh tersembuhkan, sedangkan tanpa ruh, jasad manusia akan lenyap kembali kepada tanah.  Dalam setiap materi, terdapat ruh yang memberikan bentuk keadaannya. Allah tidak memerlukan sesuatupun untuk melaksanakan rububiyah, tetapi urusan pemakmuran bumi diberikan kepada manusia yang benar-benar menghambakan diri pada-Nya agar manusia mengenal ilahnya.

Asma’ dan Shifat

Asma’ dan shifat-Nya sangatlah agung, terpancar di segenap ufuk ciptaannya. Setiap ciptaannya membawa nama yang membawa  al-haq  yang menunjukkan asma  Allah. 
Di antara seluruh ciptaan-Nya, manusia adalah makhluk yang paling sempurna untuk menunjukkan asma Allah. Manusia diciptakan dari tanah, dilengkapi dengan jiwa  yang mempunyai fuad yang dapat berkembang sempurna  hingga menjadi lubb. Dengan lubb yang sempurna, maka ruh al-quds yang membawa amr dari rabb mendapatkan tempatnya. Ketika itulah manusia menjadi makhluk-Nya yang paling sempurna untuk menunjukkan asma Allah.

Untuk mengubah jiwanya, manusia harus memohon dengan nama-Nya dan menghidupkan sifat-sifat dirinya sesuai dengan  asma’ul husna dan sifat-sifat terpuji yang sesuai dengan dirinya, terutama asma Arrahmaan dan Arrahiim.  Dengan memohon dan menghidupkan asmaul husna dalam diri, jiwa manusia akan berubah menuju kesempurnaan, dari jiwa yang menyuruh kepada keburukan menjadi jiwa muthmainnah. Dengan jiwa muthmainnah, fuad yang dikaruniakan kepada dirinya akan berkembang hingga menjadi lubb. Itulah tauhid asma dan shifat.

Menuju Tauhid

Maha suci Dia yang telah menciptakan makhluk dan menjadikan diri-Nya cahaya yang menjangkau makhluk yang  paling jauh dari diri-Nya.  Dia menciptakan manusia  dari tanah yang hina, kemudian diberikan kepadanya  jalan  penuh cahaya untuk mendekat kepadanya, maka disempurnakan penciptaannya dan diberinya amr rububiyah hingga mengenal  Allah sebagai ilahnya.

Tauhid adalah sebuah tangga untuk mendekat kepada Allah. Namun sayangnya, kaum tertentu telah menghancurkan tangga tauhid yang diajarkan alquran dengan versi tauhid  yang tidak berarti apapun, tauhid yang tidak lebih baik daripada tauhid iblis ketika diperintah untuk bersujud kepada adam. Tauhid iblis hanyalah tauhid permulaan, tetapi yang dikehendaki-Nya bukan seperti itu. Iblis-iblis mencari wasilah kepada tuhannya, mengharapkan rahmat-Nya dan takut azab-Nya, tetapi mereka terputus. Tauhid yang dikehendaki-Nya adalah sebagaimana alquran dan rasulullah ajarkan.

Allah mengambil permisalan kalimat yang baik adalah seperti pohon yang baik, akarnya menghunjam ke dalam bumi dan cabang-cabangnya menjulang di langit. Sedangkan kalimat yang buruk adalah seperti pohon yang buruk tercerabut akarnya  dari bumi tidak dapat tegak.

Tidakkah engkau perhatikan bagaimana Allah mengambil permisalan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya menjulang ke langit. Memberikan buahnya setiap saat dengan ijin tuhannya. Dan Allah mengambil pemisalan itu bagi manusia  agar mereka selalu berdzikir. Dan permisalan kalimat yang buruk adalah seperti pohon yang buruk, tercerabut akarnya dari bumi tanpa dapat tegak. (QS Ibrahim 24-26)

Kalimat tauhid yang baik adalah seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya menjulang ke langit, artinya kalimat tersebut mampu menumbuhkan pohon jiwa seseorang untuk mencintai Allah SWT, mengakar hingga aspek jasad menjadi bersifat mulia, dan  memberikan manfaat bagi orang lain dengan buahnya. 
Sedangkan kalimat tauhid yang buruk adalah seperti pohon yang buruk, akarnya tercerabut dari bumi tidak dapat tegak. Doktrin-doktrin tauhid sebagaimana tauhidnya iblis hanya seperti pohon yang buruk, tidak mempunyai akar pada sifat jasad manusia, tidak akan mampu menumbuhkan jiwa manusia agar mencintai Allah. Mereka tidak memberi manfaat kepada orang lain, hanya merasa mempunyai kebenaran, mendekati faham paganism berselubung tauhid. sebagaimana kita ketahui, iblis hanya mau bersujud kepada rabb, tidak mau mengenal adam yang membawa amr (urusan) rabb.

Sebagian kaum menyibukkan diri  mengajak  pada syariat secara berlebihan hingga hal-hal kecil yang bahkan sama sekali tidak terkait dengan syariat dianggap sebagai  bid’ah dalam agama, sementara apa yang dimaksud sebagai  agama tidak dimengerti. Umat islam dijerumuskan dalam begitu banyak perselisihan dan bid’ah dalam yang tidak diajarkan nabi-nabi. 
Kisah Qabil dan Habil dapat menjadi cermin agar manusia tidak terjebak dalam usaha ibadah yang sia-sia. Qabil yang telah bersusah-payah mengolah tanah dan mempersembahkah hasil bumi terbaik olahannya untuk korban, bahkan mempersembahkan nyawa adiknya untuk korban, ternyata korban itu sia-sia. Sebaliknya Habil yang hidup dengan tenang menggembalakan ternak, ketika berkorban dengan ternak terbaiknya maka korban itu diterima. Bila manusia tidak tepat bersikap kepada Allah, boleh jadi amal ibadah itu hanya sia-sia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar