Pencarian

Minggu, 17 Mei 2020

Membangun Baitullah sebagai Jalan Menuju Allah


Rasulullah SAW diutus ke dunia untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak. Kemuliaan akhlak itu akan terbentuk bila seseorang kembali kepada Allah. Tidak akan terbentuk kemuliaan akhlak dalam diri seseorang bila dia tidak berusaha untuk kembali (taubat) kepada Allah. 



قُلۡ هَٰذِهِۦ سَبِيلِيٓ أَدۡعُوٓاْ إِلَى ٱللَّهِۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا۠ وَمَنِ ٱتَّبَعَنِيۖ وَسُبۡحَٰنَ ٱللَّهِ وَمَآ أَنَا۠ مِنَ ٱلۡمُشۡرِكِينَ [ يوسف:108-108]

Katakanlah: "Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak kepada Allah dengan bashirah, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik". [Yusuf:108]

Rasulullah SAW bersama orang-orang yang mengikuti beliau akan selalu menyeru manusia untuk kembali kepada Allah dengan berdasar pada bashirah yang jelas. Ada orang-orang yang menyeru untuk kembali kepada Allah, padahal belum mempunyai visi yang jelas apa yang dimaksud dengan kembali kepada Allah, maka sebenarnya belum benar-benar mengikuti rasulullah SAW untuk kembali kepada Allah. Bahkan syaitan juga menghadirkan bagi manusia penyeru-penyeru yang akan mengantarkan mereka menuju pintu jahannam, maka syaitan kemudian melemparkan orang-orang yang mengikuti seruan itu ke jahannam dari depan pintunya. Mereka adalah para khawarij yang sangat menyerupai orang islam, akan tetapi mereka sebenarnya telah terlempar jauh dari islam sebagaimana anak panah melesat dari busurnya. 

Visi yang jelas tentang kembali kepada Allah adalah sebagaimana rasulullah SAW mi’raj ke ufuk yang tertinggi. Beliau SAW dimi’rajkan untuk bertemu dengan rabb-nya, dan kemudian dikembalikan ke dunia. Perjalanan mi’raj beliau merupakan sebuah berjalan kepada Allah dengan bashirah yang jelas, dan itu adalah jalan kembali yang paling singkat bagi makhluk-Nya. Kebanyakan manusia akan menempuh jalan kembalinya dalam waktu yang sangat panjang, membentang sejak dari kehidupan di dunia ini, kemudian memasuki alam barzakh, kemudian hari kiamat dan makhsyar hingga kelak bertemu dengan rabb di akhirat. Namun bukan tidak mungkin seseorang dapat menempuh perjalanan sebagaimana rasulullah SAW, kembali kepada Allah dan mengenal rabb-nya ketika dalam kehidupan di dunia. 

Isra’ mi’raj rasulullah SAW adalah sebuah hadiah Allah bagi hamba-Nya. Beliau diperjalankan Allah dari masjidil haram ke masjidil aqsha, dan kemudian dimi’rajkan ke ufuk yang tertinggi yang dapat dicapai beliau SAW, dan ufuk beliau adalah ufuk yang tertinggi dari seluruh semesta yang diciptakan Allah. Sebenarnya perjalanan semacam itu diberikan kepada hamba-Nya, tidak disebut khusus untuk rasulullah SAW. Allah akan memberikan hadiah perjalanan isra’ dan mi’raj kepada hamba-hamba yang dikehendaki-Nya, hingga ufuk yang dapat dicapai oleh masing-masing hamba itu. Tentu bentuknya tidak akan sama dengan isra mi’raj rasulullah SAW. 

Sebagai hadiah Allah, seorang insan tidak akan dapat mengusahakan untuk mendapatkan hal itu. Namun ada hal yang dapat diusahakan oleh insan agar memperoleh kesempatan mendapatkan hadiah itu. Seorang manusia harus berada di titik berangkat isra’ yaitu masjidil haram untuk memperoleh kesempatan itu. 

Masjidil haram itu adalah tempat bersujud kepada Allah. Masjidil haram yang dimaksudkan itu adalah tempat bersujud kepada Allah bagi masing-masing insan yang harus dibangun di dalam hatinya. Ada beberapa tahapan yang harus ditempuh oleh setiap manusia agar dapat membangun masjidil haram, yang secara garis besar adalah sebagai berikut : 

1. Melakukan hijrah hingga mencapai tanah haram 

2. Membangun baitullah 

3. Melakukan pelayanan bagi orang-orang yang thawaf, iktikaf, rukuk dan sujud. 


Tanah Haram 


Sebagai awal proses membangun baitullah dalam hati adalah melakukan hijrah dari ikatan tabiat duniawi hingga menemukan tanah haramnya. Hijrah itu harus dilakukan untuk mengerti arti penciptaan dirinya. Menemukan tanah haram itu adalah mengenali penciptaan dirinya, mengenali untuk tujuan apa Allah menciptakan dirinya. Ketika seseorang mengenali penciptaan dirinya, maka dirinya akan melihat bahwa Allah telah menciptakan dirinya sebagai seseorang yang sangat khusus, tidak akan ada orang yang dapat menggantikan dirinya, tidak akan berebut dengan orang lain dalam urusan dirinya. Sebelum hal itu terjadi, dirinya akan melihat bahwa dunia adalah tempat perebutan satu dengan yang lain dan tidak aman, sedangkan setelahnya dia mengetahui bahwa dirinya berada dalam keadaan yang aman dan tidak akan berebut. 



أَوَ لَمۡ يَرَوۡاْ أَنَّا جَعَلۡنَا حَرَمًا ءَامِنٗا وَيُتَخَطَّفُ ٱلنَّاسُ مِنۡ حَوۡلِهِمۡۚ حَوۡلِهِمۡۚ أَفَبِٱلۡبَٰطِلِ يُؤۡمِنُونَ وَبِنِعۡمَةِ ٱللَّهِ يَكۡفُرُونَ [ العنكبوت:67-67] 

Dan apakah mereka tidak memperhatikan, bahwa sesungguhnya Kami telah menjadikan tanah suci yang aman, sedang manusia sekitarnya rampok-merampok. Maka apakah mereka beriman terhadap hal yang bathil dan kufur kepada nikmat Allah? [Al 'Ankabut:67] 

Bila seseorang telah mencapai tanah haramnya, yang harus diperhatikan adalah hendaknya dirinya membersihkan semua kebatilan dalam dirinya, dan memperhatikan nikmat-nikmat Allah yang disediakan bagi dirinya. Allah akan memberikan banyak hal ketika seseorang mencapai tanah haramnya, dalam rupa yang bermacam-macam sesuai dengan keadaannya. Akan tetapi pemberian-pemberian itu dimaksudkan untuk menguji apakah dirinya akan menjadi kufur karena pemberian-pemberian itu, dan atau dia akan bersenang-senang karenanya. Hendaknya setiap orang fokus memperhatikan setiap kebatilan-kebatilan dirinya yang mungkin terlihat dalam pemberian-pemberian itu berdasarkan kitabullah, dan memperhatikan nikmat-nikmat Allah yang diperuntukkan bagi dirinya. 

Kebatilan-kebatilan itu harus benar-benar dibersihkan terlebih dahulu. Setiap kebatilan yang tersisa dan terbawa dalam perjalanan menuju Allah akan menjadi bencana, yang semakin besar bencananya bila semakin dekat dengan Allah. Seseorang tidak boleh terburu-buru untuk memperoleh hadiah berupa Isra’ mi’raj karena boleh jadi akan membawa bencana bila ada kebatilan yang tersisa dalam dirinya. Masih banyak langkah yang harus ditempuh agar layak mengharapkan hadiah Isra’. Boleh jadi Allah mengabulkan harapan itu, dan kelak dia akan mengetahui keadaannya. 

Nikmat-nikmat Allah harus diperhatikan ketika seseorang mencapai tanah haramnya. Pengetahuan tentang nikmat Allah itu harus digunakan untuk melakukan langkah berikutnya, yaitu meninggikan pondasi baitullah dalam hatinya. Tanpa memperhatikan nikmat Allah, seseorang tidak akan mempunyai gambaran tentang baitullah yang harus dibangun di dalam hatinya. 
Meninggikan Dasar-Dasar Baitullah 

Baitullah dapat dibangun bila seseorang telah memperoleh gambaran nikmat Allah yang akan diberikan kepada dirinya. Profil itu adalah pengenalan terhadap jiwanya sendiri. Allah telah menciptakan dirinya dari satu nafs wahidah dirinya sendiri, sebuah jati diri yang dikehendaki Allah dalam penciptaan dirinya. Nafs wahidah dirinya itu adalah aspek langit yang menjadi acuan dalam membangun baitullahnya. 

وَإِذۡ يَرۡفَعُ إِبۡرَٰهِ‍ۧمُ ٱلۡقَوَاعِدَ مِنَ ٱلۡبَيۡتِ وَإِسۡمَٰعِيلُ رَبَّنَا تَقَبَّلۡ مِنَّآۖ إِنَّكَ أَنتَ ٱلسَّمِيعُ ٱلۡعَلِيمُ [ البقرة:127-127] 

Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): "Ya Tuhan kami terimalah dari kami, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui". [Al Baqarah:127] 

Membangun baitullah adalah dengan meninggikan pondasi baitullah. Pondasi baitullah itu adalah aspek duniawi dirinya yang berupa jasmani dan hawa nafsu yang terbentuk dalam kehidupan dunia. Jasmani dan seluruh hawa nafsu harus dibangun agar sesuai dengan nafs wahidahnya, sehingga nafs wahidah itu dapat menghuni raganya dan memimpin seluruh hawa nafsunya. 

Di antara dasar-dasar (qawaid) baitullah bagi laki-laki itu adalah an-nisaa’, atau perempuan. Hal ini disebutkan dalam ayat 60 surat An-Nuur. Setiap orang harus membina baitullah dengan membina pernikahannya, karena istrinya harus menjadi bagian qawaid yang ditinggikan. Kualitas baitullah yang dapat dibangun oleh setiap laki-laki akan sangat dipengaruhi oleh istrinya. Seorang laki-laki tidak akan dapat membangun dirinya sebagai pribadi yang kokoh bila istrinya tidak menjadi pondasi yang kokoh. Setiap istri harus berusaha untuk memberikan pondasi yang kokoh bagi suaminya. 

Akan tetapi Allah memaafkan bila seorang istri tidak mampu menjadi pondasi yang kokoh bagi baitullah suaminya, selama telah berusaha untuk memberikannya. Mungkin dirinya akan kehilangan kedudukan sebagai pemilik bait; atau dapat membagi beban mendukung baitullah suaminya dengan perempuan lain sehingga suaminya tumbuh dengan baitullah yang kokoh bersama dirinya. Setiap orang harus berusaha memberikan kesempatan bagi laki-laki untuk membangun baitullahnya dengan kokoh. Bila tidak mampu, seorang perempuan tidak boleh bertingkah dengan memperlihatkan perhiasan-perhiasan dunia dan hendaknya tetap menjaga kehormatan dirinya. 

Menjadikan Maqam Ibrahim Sebagai Mushalla 


Keluarga yang berhasil membina baitullah inilah bait yang mendapatkan ijin Allah untuk meninggikan dan didzikirkan di dalamnya asma-Nya, sebagaimana disebutkan dalam ayat An-Nuur. Laki-laki itu adalah orang yang mendapatkan petunjuk untuk mengenal cahaya Allah. Keluarga itu merupakan keluarga yang menjadi tempat berkumpul bagi manusia, dan ada keamanan pada keluarga itu. Dengan demikian keluarga tersebut telah mengikuti millah Ibrahim a.s untuk mendirikan baitullah. 

وَإِذۡ جَعَلۡنَا ٱلۡبَيۡتَ مَثَابَةٗ لِّلنَّاسِ وَأَمۡنٗا وَٱتَّخِذُواْ مِن مَّقَامِ إِبۡرَٰهِ‍ۧمَ مُصَلّٗىۖ وَعَهِدۡنَآ إِلَىٰٓ إِبۡرَٰهِ‍ۧمَ وَإِسۡمَٰعِيلَ أَن طَهِّرَا بَيۡتِيَ لِلطَّآئِفِينَ وَٱلۡعَٰكِفِينَ وَٱلرُّكَّعِ ٱلسُّجُودِ [ البقرة:125-125] 

Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. Dan jadikanlah sebahagian maqam Ibrahim tempat shalat. Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: "Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i'tikaf, yang ruku' dan yang sujud". [Al Baqarah:125] 

Hendaknya diketahui bagi orang-orang yang telah mencapai tanah haramnya, dirinya harus membangun baitullah dalam hatinya, membangun jasmani dan hawa nafsunya melalui pernikahan yang baik. Pernikahan yang baik merupakan setengah bagian dari agama yang akan membuat baitullah dalam hatinya berdiri dengan kokoh. Tanpa keluarga yang baik, dirinya akan menjadi manusia yang rapuh. 

Dengan berdirinya baitullah dalam keluarga itu, hendaknya seseorang menemukan maqam Ibrahim dan menjadikan maqam Ibrahim tersebut sebagai kedudukan untuk melakukan shalat. Setelah mengenali maqam Ibrahim dan menjadikannya mushalla, maka hendaklah dirinya melakukan pelayanan dengan menjaga kebersihan baitullah bagi orang-orang yang thawaf, I’tikaf, yang rukuk dan sujud. 

Bila mengenal maqam ibrahim sebagai kedudukan untuk melakukan shalat, maka dirinya dapat berharap agar menjadi golongan orang-orang yang menegakkan shalat dengan sebenarnya, dan dapat menjaganya dengan pelayanan bagi orang-orang yang mencari jalan menuju Allah. Dengan demikan ia dapat berharap mendapatkan Isra’ dan mi’raj menuju ufuk dirinya. Dengan jalan itulah seseorang dikatakan mengikuti Rasulullah SAW dengan benar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar