Pencarian

Kamis, 30 November 2023

Sikap Hanif Sebagai Landasan Menemukan Jalan Allah

Allah telah mengutus Rasulullah SAW ke alam dunia untuk menjadi tauladan bagi seluruh umat manusia dalam beribadah kepada Allah. Hendaknya seluruh umat manusia mengikuti jejak langkah beliau SAW dengan membentuk akhlak al-karimah dalam melaksanakan ibadah kepada Allah. Dengan mengikuti Rasulullah SAW, seseorang akan menemukan jalan untuk kembali kepada Allah menjadi hamba yang didekatkan.

Allah telah menurunkan tauladan yang membimbing lurusnya perjalanan seorang hamba untuk kembali kepada Allah berupa millah nabi Ibrahim. Mengikuti millah nabi Ibrahim a.s akan menjadikan seseorang mempunyai pengetahuan yang benar hingga ia akan dapat membenarkan segenap ketentuan Allah. Ia dapat melihat bahwa segenap ketentuan Allah adalah kebenaran yang seharusnya diikuti dalam segenap sendi kehidupan, dan melihat bahwa segala sesuatu yang bertentangan dengan tuntunan Allah merupakan kesalahan yang akan mendatangkan madlarat. Keadaan demikian merupakan suatu indikator dari sikap keshidiqan seorang hamba terhadap Allah. Tidak ada keshidiqan selama seseorang tidak mengetahui kebenaran dari tuntunan Allah, baik ia bertentangan ataupun mengikuti tanpa suatu pengetahuan.

﴾۵۹﴿قُلْ صَدَقَ اللَّهُ فَاتَّبِعُوا مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
Katakanlah: "Maha Benarlah Allah". Maka ikutilah agama Ibrahim yang lurus, dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang musyrik. (QS Ali Imran : 95)

keshidiqan merupakan akal yang berkembang dengan lurus, indikator yang harus dicapai oleh setiap hamba dalam perjalanan kembali kepada Allah. Untuk menumbuhkan keshidiqan diri, setiap orang harus mengikuti millah nabi Ibrahim a.s menempuh perjalanan untuk mengenal kehendak Allah dengan benar. Puncak millah nabi Ibrahim a.s adalah terbentuknya bayt yang diijinkan untuk mendzikirkan dan meninggikan asma Allah di dalamnya. Dari kehidupan bumi yang gelap jauh dari cahaya Allah, setiap orang harus menempuh perjalanan hijrah ke tanah suci yang dijanjikan berupa pengenalan penciptaan diri masing-masing, kemudian mendirikan bayt untuk mendzikirkan dan meninggikan asma Allah hingga memperoleh ijin Allah untuk amal itu.

Menemukan Kebenaran

Mengikuti millah demikian merupakan perintah yang harus terwujud dalam amal-amal, khususnya amal-amal yang terlahir dari pemahaman terhadap kehendak Allah melalui akal. Akal yang tumbuh dengan lurus hanya dapat dibina dengan firman Allah dalam kitabullah Alquran dan sunnah Rasulullah SAW, tidak dibina dengan pendapat sembarang tanpa merujuk pada kedua tuntunan mulia tersebut. Sangatlah berat bagi seorang manusia melihat dengan benar hakikat yang tersembunyi di balik suatu kauniyah tanpa berpegang pada kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW. Akal akan sulit melihat hakikatnya, atau ketika mampu melihat akal akan cenderung berlebihan memahaminya. Demikian pula ketika suatu akal tumbuh, syaitan akan selalu berusaha mendatangkan kebengkokan pada pertumbuhannya, maka setiap orang harus memangkas kebengkokan yang dibuat syaitan dan menumbuhkan akal yang sesuai dengan firman Allah dan sunnah Rasulullah SAW. Tanpa upaya demikian, sangat mudah bagi syaitan untuk menimbulkan kebengkokan pada akal.

Pada awal perjalanan mengikuti millah, tidak mudah bagi seseorang untuk melihat kebenaran atau hakikat dalam kauniyah yang terhampar baginya. Setiap orang akan menempuh perjalanan secara berpindah dari suatu kebenaran nisbi kepada kebenaran nisbi yang lain yang lebih mendekati hakikat, hingga suatu saat Allah berkenan memperkenalkan asma-Nya. Hal ini dicontohkan sebagaimana Ibrahim muda berpindah dari memuja satu tuhan kepada tuhan yang lain hingga Allah memperkenalkan diri-Nya kepadanya. Berusaha menemukan kebenaran yang lebih mendekati hakikat merupakan suatu sikap hanif, yaitu sikap ingin mengenal suatu kebenaran mutlak yang berasal dari Sang Maha Pencipta. Pada jaman modern ini, sikap hanif tidak boleh dilakukan dengan menyembah makhluk, akan tetapi sikap mencari kebenaran yang paling mendekati hakikat (hanif) harus selalu dijadikan landasan dalam menempuh millah.

Dalam bahasa modern, sikap hanif dapat diungkapkan paling dekat dengan istilah “mencari kebenaran”, tetapi disertai pula kandungan makna menggali makna terbaik dari segala kebenaran yang diperoleh. Orang yang tidak dapat mengenali kebenaran yang hadir di hadapannya tidak dapat dikatakan sebagai pencari kebenaran. Ia hanya seseorang yang mengikuti waham dirinya atau kelompoknya, atau kadangkala telah mempertuhankannya. Bila tidak ada keinginan mengenal Allah atau kebenaran yang diturunkan-Nya, maka seseorang tidak akan mengenal kebenaran. Boleh jadi ia seorang yang bodoh tidak mampu mengenali kebenaran, atau ia seorang pendusta. misalnya bila seseorang mempertuhankan harta, ia akan melihat kebenaran pada pihak yang mendatangkan keuntungan duniawi paling besar.

Seorang pencari kebenaran adalah orang yang dapat mengenali kebenaran yang sampai kepada dirinya, dan mampu menempatkan kebenaran itu di antara struktur pemahaman dalam dirinya. Penempatan kebenaran itu kadangkala membuat perombakan besar terhadap struktur pemahaman yang telah ada, atau kadangkala menumbuhkan suatu pemahaman yang baru bukan sekadar menambah pengetahuan. Ada orang-orang yang mengenali kebenaran tetapi tidak menempatkan kebenaran itu dalam pemahaman dirinya. Ia mungkin lalai dalam mencari kebenaran karena waham dirinya atau kesibukan dalam urusan yang lain, atau belum menemukan tempat kebenaran itu dalam struktur pemahaman dirinya. Ia mengenali kebenaran tetapi tidak mengetahui makna dari kebenaran yang sampai kepadanya. Keadaan demikian sering menghinggapi orang-orang yang mengira memperoleh petunjuk.

Jalan Allah akan ditemukan oleh orang-orang yang hanif mengikuti millah nabi Ibrahim a.s. Waham seringkali menjadikan manusia tidak bersikap hanif. Kadangkala seseorang merasa telah berada di puncak kebenaran, atau mengikuti puncak kebenaran, sedangkan Allah belum memperkenalkan kebenaran kepada mereka. Waham demikian tidak jarang membuat seseorang terjatuh dalam kerendahan. Mereka bisa menjadikan diri sebaagai saksi-saksi atau bahkan hakim-hakim terhadap kebenaran tanpa diminta, menolak kebenaran yang datang dari orang lain atau menghakimi orang yang menyampaikan dengan stigma-stigma buruk berdasarkan prasangka hawa nafsu ataupun mengikuti prasangka dari kalangan makhluk. Kadangkala mereka tidak menyangkal kebenaran itu, tetapi tetap memberikan prasangka atau stigma buruk terhadap orang yang menyampaikan. Waham demikian akan menghalangi kebenaran dari struktur pemahaman akalnya, dan tentu saja menjauhkannya dari sikap hanif.

Pada dasarnya kehidupan manusia adalah untuk menjadi saksi kebenaran, yaitu persaksian bahwa tiada ilah selain Allah dan nabi Muhammad adalah Rasulullah. Persaksian itu mempunyai pintu berupa persaksian tentang penciptaan diri sendiri sebagai hamba Allah, yaitu kedudukan dirinya dalam pelaksanaan amanah Allah sebagai umat Rasulullah SAW. Dalam mengupayakan persaksian ini, setiap orang harus menekankan perhatiannya pada ‘kehendak Allah’, bukan ‘kedudukan dirinya’, yaitu hendaknya ia lebih berusaha memahami kehendak Allah dengan benar daripada memperoleh kedudukan dirinya. Pemahaman yang benar itu akan menjadikannya mengetahui kedudukan dirinya sebagai umat Rasulullah SAW. Jika seseorang lebih memperhatikan kedudukan diri dalam pencariannya, sangat banyak tipuan syaitan yang bisa mendatangi dirinya.

Manusia diciptakan sebagai makhluk berjamaah, tidak sebagai makhluk mandiri atau gerombolan tanpa washilah. Pernikahan bisa menjadi jalan bagi seseorang untuk mengenal kedudukan diri dan kehendak Allah lebih konkrit berupa imam bagi dirinya baik berupa orang lain yang menjadi wasilahnya hingga rasulullah SAW maupun nafs wahidah yang terkait penataan diri, dapat mengenal umat yang mengikutinya baik berupa isteri dan anak-anaknya ataupun umat manusia yang seharusnya mengikuti dirinya, dan mengenal sahabat-sahabat yang dekat dengan dirinya dalam urusan Allah. Bagi perempuan, sahabat dekat itu kadang terwujud dalam bentuk madu dalam pernikahan ta’addud. Manakala seseorang terjebak dalam perasaan kesepian atau sendiri, sangat mungkin ia telah mengambil jalan yang salah, karena imam yang menjadi wasilahnya tidak akan meninggalkan dirinya bila ia di jalan yang benar. Orang yang memperhatikan kehendak Allah akan lebih memperhatikan wasilahnya daripada dirinya sendiri, sehingga ia akan merasakan kehadirannya sekalipun bersifat personal dan tidak dalam wujud materi. 

Sikap seseorang terhadap kedudukan diri dan kehendak Allah itu dapat tergambarkan pada perjodohan dan pernikahan. Allah telah menciptakan manusia pada masa permulaan dari nafs wahidah yang berpasangan, dan penciptaan berikutnya mengikuti keberpasangan tersebut. Di kehidupan dunia, banyak orang tidak mengetahui hal itu. Banyak bentuk sikap manusia dalam urusan demikian. Ada orang-orang yang mengikuti hawa nafsu dan syahwat padahal itu baru terbentuk pada kehidupan dunia, ada orang yang berhati-hati dalam memilih jodoh dengan taat mengikuti kehendak Allah, ada yang ceroboh menganggap seluruh hawa nafsu dan syahwat dirinya adalah kehendak Allah tanpa memikirkan kerusakan yang ditimbulkan, ada orang yang memperoleh petunjuk jodoh akan tetapi tidak menyukainya hingga ia kemudian merusak hubungan dirinya dengan jodohnya dan sahabatnya agar dirinya dijauhkan dari jodoh yang dikehendaki Allah. Sangat banyak macam bentuk sikap seseorang dalam menghadapi kehendak Allah.  

Pengetahuan dan Sikap Hanif 

Berusaha memahami kehendak Allah dan menepati kedudukan diri akan mendatangkan pengetahuan berupa al-ma’ruf dan al-munkar. Ada perintah amar ma’ruf nahy munkar di jalan Allah. Hal ini hendaknya dilaksanakan dengan terukur berdasar timbangan al-ma’ruf dan al-munkar yang diperolehnya, tidak bertindak sebagai saksi atau hakim tanpa berdasarkan timbangan. Bila ada orang lain meminta persaksian atau hukum tentang diri mereka, hendaknya ia memberikan persaksian atau hukum berdasarkan al-ma’ruf dan al-munkar yang diketahui dirinya, tidak bersaksi atau memberikan hukum tanpa suatu pengetahuan tentang kehendak Allah. Tidak menjelaskan persaksian dengan benar dan jelas ketika diminta dapat menimbulkan fitnah di antara umat. Persaksian atau hukum yang ditetapkan tanpa dipahami akan menjadikan pemohon sulit menerima hukum yang ditetapkan. Seharusnya persaksian atau hukum itu disampaikan untuk memberikan jalan bagi pemohon memahami kehendak Allah bagi dirinya.

Ada prinsip dasar yang harus dilakukan orang yang memperoleh al-ma’ruf dan mengetahui al-munkar. Suatu pengetahuan Al-ma’ruf hendaknya dibagikan kepada umat selama tidak menimbulkan fitnah, tidak perlu ada permintaan persaksian atau hukum dari orang lain. Di sisi lain, kadangkala ada orang-orang yang melanggar kemaslahatan dan menimbulkan madlarat bagi umat dengan kebodohannya, maka ia boleh bersaksi atau memberi hukum terhadap mereka atas nama Allah. Kekacauan akan terjadi bila seseorang yang tidak mempunyai alma’ruf dan almunkar bersaksi atau memberikan hukum. Penerima hukum itu tidak akan bisa menerima hukum dan kesaksian di atas kebodohan. Kadangkala orang-orang demikian bertindak berlebihan menjadikan diri sebagai saksi atau hakim tanpa ada permintaan persaksian atau penghakiman terhadap orang-orang yang menyampaikan al-ma’ruf dan melarang kemunkaran.

Keshidiqan akan diperoleh oleh orang-orang yang dapat menegakkan persaksian dengan benar. Keshidiqan itu merupakan persaksian terbaik yang bisa diperoleh oleh seorang hamba Allah. Ia mengetahui dan menyaksikan bahwa kehendak Allah yang diturunkan melalui Rasulullah SAW adalah hukum yang terbaik, tidak ada yang lebih baik dari kehendak-Nya. Ia mengetahui bahwa suatu ayat kauniyah yang terhampar bagi dirinya terwujud dari suatu firman Allah, dan mengetahui kehendak Allah atas kauniyah demikian. Banyak makhluk mempunyai keinginan yang tidak sama dengan kehendak Allah, dan seluruh keinginan yang berselisih, menyimpang atau menentang kehendak Allah itu adalah kebathilan yang bisa mendatangkan kerusakan. Ia menyaksikan pula bahwa tidak ada suatu dalam diri Rasulullah SAW yang menyimpang dari kehendak Allah. Seringkali hal demikian disertai dengan kesaksian tentang keburukan diri yang menyimpang dari kehendak Allah dan mensyukuri apa yang bisa sejalan dengan-Nya, tanpa mengumbar keburukan dirinya kepada orang lain.

Pengetahuan tentang hubungan kauniyah dan kitabullah bisa mencapai tingkat sangat intensif bagi seorang hamba. Ada orang-orang yang mengetahui kaitan ayat kauniyah dengan huruf-huruf tunggal yang berdiri secara terpisah dalam kitabullah. Ada pula orang yang mengenal keadaan dirinya sebagai suatu huruf dalam kitabullah. Hal demikian kadangkala tidak dapat dipahami oleh orang lain, tetapi di antara hal demikian merupakan pengetahuan yang haq, tidak boleh dihakimi secara gegabah. Bila belum mencapai pengetahuan demikian, hendaknya orang lain tidak menghakiminya. Ia boleh mendalami kebenaran dari pemahaman demikian bila landasan pengetahuannya cukup untuk memahaminya, atau ia boleh mencukupkan diri pada ayat yang pemahaman bagi dirinya telah jelas.

Sikap hanif tidak hanya harus terbangun terkait dengan hubungan seseorang kepada Allah. Amal-amal yang ditujukan untuk sasaran duniawi hendaknya juga dilaksanakan di atas landasan sikap hanif agar mendatangkan manfaat yang besar. Perumusan suatu tatanan tertentu di bumi hendaknya dilakukan dengan mengacu pada kesatuan terhadap ayat Allah, tanpa dipaksakan. Hal ini bisa dilakukan dua arah. Seseorang yang tertarik pada suatu objek parsial tertentu hendaknya berusaha mencari jalan penyatuan objeknya terhadap ayat Allah, atau para pemimpin yang mempunyai visi kesatuan ayat Allah menurunkan visinya kepada umatnya. Suatu riset misalnya, hendaknya mengacu pada ayat Allah yang besar. Contoh kasus, seharusnya umat manusia tidak lagi terlalu banyak bergantung pada teknologi yang memberi dampak banyak polusi bagi lingkungan. Alam raya diciptakan Allah dengan sistem magnetik sebagai landasan gerakannya, suatu ayat yang seharusnya dijadikan acuan riset. Contoh ini tidak berbicara tentang benar atau salah, tetapi tentang menempatkan ayat Allah sebagai acuan untuk membuat tatanan turunannya di bumi sebagai realisasi sikap hanif. Banyak riset dan periset tidak berusaha memahami basis ayat Allah sebagai acuan risetnya, sehingga kemajuan umat manusia bergerak sporadis tanpa ada tanda penyatuan antar bidang.

Akhlak mulia terbentuk dari pemahaman seseorang terhadap ayat-ayat Allah dengan akalnya. Pemahaman kehendak Allah dengan hawa nafsu akan mendukung terbentuknya pemahaman akal bila ada landasan sikap hanif pada dirinya. Tidak jarang hawa nafsu pada diri seseorang tidak mempunyai landasan sikap hanif dan pemahaman hawa nafsu itu menjadi roket yang meluncurkan dirinya jauh dari islam. Hal ini terjadi pada kaum khawarij yang merasa sebagai penguasa kebenaran. Setiap orang harus membangun landasan sikap hanif dalam dirinya, terutama sebagaimana dicontohkan oleh nabi Ibrahim a.s ketika ingin mengenal rabb yang layak untuk menerima seluruh persembahan dirinya. Akhlak mulia akan terbentuk di atas landasan sikap hanif, di mana akan terbentuk pemahaman terhadap kehendak Allah dan pemahaman yang benar terhadap ayat-ayat Allah baik ayat kauniyah maupun firman dalam kitabullah. Dari pemahaman itu akan terlahirkan suatu akhlak mulia pada diri seseorang.

Setiap orang hendaknya menempuh perjalanan mengikuti millah nabi Ibrahim a.s hingga terbentuk wahana bagi dirinya untuk melaksanakan fungsi sosial dirinya berdasarkan amanah yang ditentukan Allah dalam wujud bayt yang diijinkan Allah untuk mendzikirkan dan meninggikan asma Allah. Di antara indikator perjalanan ini adalah terbentuknya akhlak mulia dan pengenalan seseorang terhadap penciptaan dirinya. Akhlak mulia dalam hal ini adalah terwujudnya akhlak berdasar pemahaman yang benar terhadap kehendak Allah, bukan sekadar wajah yang menyenangkan segenap manusia. Ada orang yang diberi kemudahan untuk mewujudkan pemahamannya, dan ada orang yang tidak dapat mewujudkan pemahamannya sehingga tidak tampak akhlak yang sebenarnya. Bayt demikian akan terwujud bagi orang yang dapat mewujudkan pemahamannya bagi umatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar