Pencarian

Senin, 13 November 2023

Mencari Pengetahuan Tentang Allah

Allah telah mengutus Rasulullah SAW ke alam dunia untuk menjadi tauladan bagi seluruh umat manusia dalam beribadah kepada Allah. Hendaknya seluruh umat manusia mengikuti jejak langkah beliau SAW dengan membentuk akhlak al-karimah dalam melaksanakan ibadah kepada Allah. Dengan mengikuti Rasulullah SAW, seseorang akan menemukan jalan untuk kembali kepada Allah menjadi hamba yang didekatkan.

Di antara tanda langkah seseorang kembali kepada Allah adalah ilmu tentang kehendak-Nya. Ilmu itu menunjukkan arah kepada seseorang jalan yang harus ditempuh untuk kembali kepada Allah terkait dengan keadaan diri mereka di bumi. Ilmu itu bukan hanya ilmu yang bersifat teoritis, tetapi juga imu tentang amal yang harus dilakukan terkait keadaan duniawi mereka. Mereka dapat membaca ayat-auat Allah yang terhampar pada kauniyah mereka selaras dengan ayat-ayat kitabullah. Tidak jarang ilmu demikian disertai dengan suatu ilmu yang mengatur tatacara pelaksanaannya secara terinci, tetapi tidak semua orang memperoleh ilmu hingga demikian.

Kebanyakan orang akan memperoleh ilmu tentang kehendak Allah selangkah demi selangkah dimulai dari kegelapan tanpa pengetahuan sama sekali hingga memperoleh ilmu tentang tatacara pelaksanaan amal mereka secara terinci. Hal yang paling penting diperhatikan adalah lurusnya langkah dalam mencari ilmu. Setiap orang hendaknya memperhatikan lurusnya langkah, bahwa sedikit atau banyaknya ilmu dan jalan yang mereka tempuh akan mengantarkan mereka kepada Allah tanpa keliru. Syaitan selalu berupaya untuk menyimpangkan manusia dari jalan Allah, baik orang yang tidak mempunyai ilmu ataupun orang yang mempunyai banyak ilmu.

Hancurnya Hati dan Kesedihan Sebagai Sumber Ilmu

Banyak ilmu yang harus dicari oleh manusia melalui upaya duniawi dengan melihat ayat-ayat kauniyah dan kitabullah, dan ada ilmu yang diturunkan Allah kepada hamba-Nya secara khusus. Sebagai contoh, nabi Ya’qub a.s mempunyai pengetahuan secara khusus dari Allah tentang putera beliau nabi Yusuf a.s. Pengetahuan beliau a.s diterima dari Allah terkait dengan keadaan duniawi. Banyak tingkatan makna dari peristiwa nabi Yakub dan Yusuf tersebut, salah satunya bahwa pengetahuan yang diturunkan Allah juga ada yang mencapai pengetahuan keadaan duniawi.

﴾۶۸﴿قَالَ إِنَّمَا أَشْكُو بَثِّي وَحُزْنِي إِلَى اللَّهِ وَأَعْلَمُ مِنَ اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ
Ya'qub menjawab: "Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku, dan aku mengetahui dari Allah apa yang kamu tiada mengetahuinya". (QS Yusuf : 86)

Di antara keadaan yang membuat seseorang bisa memperoleh ilmu dari Allah terkait kehidupan dunia mereka adalah kesusahan dan kesedihan. Ayat di atas menyebutkan kesusahan dalam term بثى , menunjukkan suatu kesedihan dalam bentuk berkeping-kepingnya hati karena menghadapi suatu masalah. Hati nabi Yakub a.s hancur berkeping-keping manakala putera beliau Yusuf dihilangkan oleh saudara-saudaranya dan dikatakan telah dimangsa oleh serigala. Berkeping-kepingnya hati nabi Yakub a.s dalam peristiwa itu bukan hanya kesedihan karena kecintaan seorang ayah kepada seorang anak, tetapi lebih terkait dengan rusaknya sarana pelaksanaan amr Allah yang akan diturunkan melalui Yusuf a.s. Berkeping-kepingnya hati seseorang manakala menghadapi kerusakan dalam melaksanakan amr Allah bisa menjadi sarana turunnya ilmu Allah terkait dengan kehidupan duniawi seseorang.

Berkeping-kepingnya hati seorang hamba Allah menjadi salah satu sarana turunnya ilmu dari Allah kepada hamba tersebut. Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa nabi Musa bin ‘Imran berkata: “Wahai Rabb, di manakah aku bisa mencari-Mu?” Allah menjawab: “Carilah Aku di sisi orang-orang yang hancur hatinya. Sesungguhnya Aku dekat dengan mereka setiap hari (sejarak) satu bâ’ (sekitar dua lengan). Jikalau tidak demkian, mereka pasti roboh (binasa).” (HR Ahmad). Tidak semua orang memperoleh ilmu karena berkeping-kepingnya hati, tetapi Allah telah berada dekat dengan orang yang hatinya berkeping-keping. Hal ini ditunjukkan oleh sikap tegar hati hamba tersebut dalam menghadapi berkeping-kepingnya hati mereka. Bila tidak kuat menghadapinya, Allah tidak berada di dekat orang yang berkeping-keping hatinya tersebut.

Hancurnya hati seseorang yang mendatangkan kedekatan Allah adalah hati yang hancur ketika mencari jalan kembali kepada-Nya. Kadangkala Allah menimpakan sesuatu agar kepada seseorang agar ia kembali ke jalan Allah, atau kadang agar ia dijadikan dekat dengan Allah. Seseorang yang hatinya hancur karena urusan hawa nafsu atau dunia mereka tidak akan mendatangkan kedekatan Allah, tetapi mungkin ia akan kembali kepada Allah. Kadangkala fenomena lahiriah yang terjadi tampak sama antara seseorang yang hancur hatinya di jalan Allah dan hancur terkoyak hawa nafsu dan dunianya, tetapi nilai dalam diri mereka bisa berbeda. Misalnya kala seseorang mencintai isterinya, itu bisa terjadi karena ia mencari jalan Allah atau karena hawa nafsu dirinya dan kecantikan jasmani isterinya. Kehancuran hati manakala terjadi kerusakan mempunyai nilai yang berbeda karena sebab kecintaan yang berbeda, walaupun fenomena lahiriahnya tampak sama.

Mengukur keadaan demikian seringkali tidaklah mudah. Kecintaan dan kehancuran hati terhadap sesuatu seringkali karena sebab yang bercampur-campur. Misalnya ketika mengalami kegagalan menempuh pernikahan karena sikap salah satu pihak, akan banyak rasa kehancuran dalam peristiwa demikian. Ia tidak mengetahui kehancurannya karena Allah atau karena kehilangan seseorang. Bisa saja ia menemukan bentuk kekufuran yang menjadikannya marah, tetapi belum tentu peristiwa itu benar terjadi karena demikian. Sekalipun misalnya ia memandang kegagalan itu karena ia mengutamakan kehendak Allah, mungkin ia tidak bisa tenang dengan peristiwa itu. Ia mungkin tidak mengerti apakah hal demikian terjadi karena ia mengharapkan Allah atau karena kesalahannya sendiri. Apapun keadaannya, hendaknya seseorang beri’tikad kembali kepada Allah karena kehancuran hatinya, tidak untuk mengaku-aku bahwa ia dekat dengan Allah karena kehancuran hati itu.

Ketika seseorang mencintai dunia atau hawa nafsu, kedua hal itu sebenarnya menjauhkan dirinya dari Allah. Bila hatinya berkeping-keping karena hawa nafsu atau dunianya terkoyak, hal itu tidak akan mendatangkan kedekatan Allah kepada dirinya karena sebenarnya ia telah menjauhkan diri dari Allah. Kehancuran hati demikian dapat menjadikan seseorang roboh binasa, dan ia harus menanggung sendiri kebinasaan itu, atau ia kembali kepada Allah. Manakala seseorang mencari jalan Allah, kehancuran hati itu akan mendatangkan kedekatan Allah kepada dirinya. Ia akan lebih mudah untuk mendengarkan petunjuk Allah karena kedekatannya.

Walaupun demikian, rusaknya sarana pelaksanaan amr Allah itu tidak tergantikan dengan ilmu yang diberikan itu. Nabi Ya’kub a.s menjadi buta ketika kehilangan Yusuf karena Yusuf adalah qurrata ‘ain bagi nabi Ya’qub a.s. Ilmu yang diberikan Allah kepada nabi Ya’qub tidak menghilangkan kebutaan nabi Ya’qub a.s, karena ilmu itu tidak menggantikan kedudukan Yusuf sebagai qurrata ‘ain. Kebutaan nabi Ya’qub sembuh manakala pakaian nabi Yusuf a.s diusapkan kepada wajahnya, karena hal itu menghadirkan qurrata ‘ain yang selama itu jauh dari diri beliau, hadir dalam tingkatan jasmaniah.

Kerusakan di jalan Allah akan menjadikan seorang hamba Allah menjadi takut akan akibatnya bagi mereka. Para wali Allah apalagi nabi pada dasarnya tidak mempunyai rasa takut dalam definisi حُزْنِ , tetapi dalam hal terjadinya kerusakan pada sarana pelaksanaan amr Allah, para nabi pun akan merasa takut. Nabi Yakub a.s tidak mempunyai nyali dalam masalah hilangnya Yusuf. Hal ini bukan suatu hal yang salah. Bila seseorang tidak merasa takut akan rusaknya sarana Allah demikian, ia pada dasarnya tidak mempunyai pengetahuan. Jika berpengetahuan cukup, seseorang akan merasa sangat khawatir dengan akibat yang akan terjadi. Kadangkala seorang hamba Allah ingin dihancurkan karena hal demikian daripada mati dengan cara yang baik, sebagaimana nabi Musa a.s ingin dihancurkan bukan melalui kematian yang selayaknya dengan jemputan Izrail a.s.

Amal yang dilakukan nabi Yakub a.s dalam menghadapi hal demikian adalah mengadukan masalahnya kepada Allah, dan pengaduan itu menjadikan beliau a.s menerima ilmu dari Allah. Terminologi yang digunakan pada ayat di atas adalah أشكوا yang menunjukkan pengaduan dalam bentuk mencari pengetahuan tentang keadaan yang terjadi. شك mempunyai arti keragu-raguan, sedangkan أشكوا menunjukkan makna menghilangkan keragu-raguan. Nabi Ya’qub bertanya kepada Allah tentang pengetahuan yang samar dalam hati beliau a.s dalam urusan Yusuf dan kemudian Allah menurunkan pengetahuan tentang hal itu ke dalam hati nabi Ya’qub a.s.

Pengetahuan demikian seringkali bertentangan dengan pengetahuan orang umum. Sekalipun ada orang-orang yang mengetahui nuansa kebenaran dalam pengetahuan demikian, orang-orang tersebut mungkin saja menolak pengetahuan yang diturunkan Allah tersebut. Para putera nabi Yakub a.s mengetahui bahwa besar kemungkinan Yusuf a.s masih hidup karena mereka tahu tidak membunuhnya, akan tetapi mereka tidak membenarkan pengetahuan nabi Yakub a.s tentang hal itu. Mereka memandang ayah mereka terlalu terbawa perasaan hingga tidak mau menerima realitas bahwa Yusuf tidak lagi berada di antara mereka. Tetapi nabi Yakub a.s tidak sedikitpun meragukan bahwa nabi Yusuf masih akan kembali kepada mereka karena ilmu yang diturunkan Allah dalam urusan itu. Pengetahuan nabi Ya'qub a.s tentang keadaan Yusuf yang semula samar atau tidak mempunyai landasan itu telah menjadi jelas karena Allah telah menurunkan pengetahuan itu kepada beliau setelah beliau mencari penjelasan kepada Allah.

Waham, Pengaduan dan Ilmu

Pada dasarnya kehidupan manusia di dunia merupakan waham, kecuali bagi seseorang yang mengetahui hakikat kehidupan, yaitu berupa kandungan ayat kitabullah yang terhampar pada ayat kauniyah mereka. Waham dalam hal ini tidak selalu menunjukkan penyakit mental tetapi berupa suatu hijab yang menutupi akal manusia dalam kehidupan di bumi. Waham yang paling banyak terjadi adalah karena seseorang tidak benar-benar mengetahui hakikat sesuatu, sedangkan makna dari pemahamannya itu tidak menjadikannya celaka. Sebagian waham berupa pemahaman yang benar tetapi tidak mempunyai konsekuensi yang tepat. Ibaratnya orang yang memasuki rest area jalan tol, seseorang bisa masuk melalui jalan tol dan orang lain memasuki dari jalan perkampungan. Mereka akan mempunyai keadaan yang sama tetapi konsekuensi setelah menyelesaikan urusan di rest area akan berbeda. Kadangkala waham bersifat delusif, mencapai tahap yang jelas keliru dan menjadikannya mengarah ke neraka. Seseorang yang mengikuti langkah syaitan kadangkala merasa mengikuti petunjuk Allah, atau kadangkala seseorang merasa lebih benar dari ayat kitabullah Alquran, maka wahamnya itu akan mengarahkannya ke neraka.

Waham akan menimbulkan perselisihan di antara manusia. Perselisihan karena waham yang ringan bisa menjadi pemicu bagi umat Rasulullah SAW untuk mencapai rahmat Allah dengan menggiring mereka untuk mencapai pengetahuan yang benar. Hal ini bisa tercapai oleh suatu umat bila disertai dengan sikap hanif berusaha memahami kebenaran. Bila tidak hanif, setiap golongan akan semakin berbangga dengan kelompoknya. Waham dalam tingkat yang sedang seringkali dimanfaatkan oleh syaitan untuk menipu manusia ketika menempuh jalan kembali kepada Allah, yaitu bila tidak berpegang teguh dengan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW. Dan dengan hal itu syaitan membangkitkan pula perselisihan di antara manusia. Waham yang bersifat delusif akan membangkitkan perselisihan yang menjadi tanda kebodohan (jahalah) suatu umat.

Kadangkala hakikat sesuatu tidak sama dengan waham kebanyakan manusia. Sangat banyak hijab yang menjadikan hakikat sesuatu menjadi tidak terpahami oleh manusia, sedangkan manusia memahami sesuatu berdasarkan fenomena permukaan saja. Dalam peristiwa nabi Ya’qub a.s dan putera-puteranya, nabi Ya’qub a.s telah menerima ilmu dari Allah tentang sesuatu yang tidak diketahui oleh para puteranya, berupa ilmu yang merupakan jawaban Allah atas hancurnya hati dan rasa takut nabi Ya’qub a.s. Dalam banyak hal, wahyu Allah yang diturunkan kepada para nabi seringkali bertentangan dengan waham pada umatnya, dan menjadikan banyak di antara umatnya kufur terhadap risalah. Keimanan dan kekufuran seseorang dipengaruhi oleh waham masing-masing, dan kebaikan seseorang dalam mengikuti utusan Allah tergantung pada kualitas akal yang terbentuk. Parameter yang digunakan kaum khawarij tidak bisa dijadikan indikator baiknya kualitas seseorang dalam mengikuti sunnah Rasulullah SAW.

Nabi Ya’qub a.s mencari penjelasan itu kepada Allah. Permasalahan terkait jalan ibadah seseorang kepada Allah seringkali tidak dapat dijelaskan oleh makhluk yang lain. Banyak permasalahan yang dialami seseorang dapat dijelaskan oleh orang lain yang telah mempunyai pengetahuan, akan tetapi sangat mungkin ada permasalahan khusus yang tidak dapat dijelaskan oleh seorang makhluk pun yang hidup pada zaman yang sama. Bila suatu masalah dapat dijelaskan oleh makhluk lain, ia boleh saja mencari penjelasan atau sudut pandang lain dari seorang makhluk yang akalnya lebih kuat selama tetap berpegang kepada kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW. Bila ia mendapat masalah khusus dan ia mengadukan kepada makhluk, maka orang lain mungkin akan memandangnya tidak waras. Dalam hal-hal demikian, seseorang tidak boleh mengadukan atau mencari penjelasan masalahnya kepada makhluk. Ia hanya akan memperoleh penjelasan bila ia mengadukan masalahnya kepada Allah, dan Allah akan memberikan pengetahuan ke dalam hatinya.

Membuat pengaduan rasa hancur dan rasa takut hanya boleh dilakukan kepada Allah, tidak kepada makhluk. Mengadu kepada makhluk hanya boleh dilakukan untuk mencari celah menemukan jalan keluar dari masalah yang terjadi yang mungkin bisa diperoleh dari makhluk. Manakala tidak melihat adanya celah yang mungkin untuk memperbaiki keadaan melalui orang lain, seseorang tidak boleh mengadukan rasa hancur dirinya kepada makhluk yang lain. Demikian pula bila sebenarnya ia tidak berkeinginan untuk mencari jalan memperbaiki keadaan, hendaknya ia berdiam diri tidak menyebarkan rasa hancur dirinya kepada orang lain. Membicarakan kehancuran diri tidak boleh dilakukan kepada makhluk, hanya kepada Allah.

Membuat pengaduan masalah kepada makhluk tidak boleh dilakukan bila berkaitan dengan petunjuk atau hal-hal yang diturunkan Allah. Hal itu disebut mengeluh. Tidak ada makhluk berakal yang bisa merasa layak untuk menerima pengaduan demikian. Bila mereka menjawab, hanya kemarahan yang akan terlontar dari diri mereka agar kembali kepada Allah. Syaitan dan para pengikut mereka mungkin akan senang mendengarkan dan bergembira dengan keluhannya, tetapi bukan kegembiraan karena dendam atau tidak suka kepada Allah. Sekalipun syaitan yang terbesar, mereka takut kepada Allah dalam urusan demikian. Kegembiraan mereka hanya karena menemukan manusia yang kufur terhadap nikmat Allah, bukan karena sikap orang itu kepada Allah. Hanya makhluk bodoh yang bisa merasa pantas menerima keluhan seseorang tentang Allah. Karena hal itu, hendaknya seseorang tidak pernah mengadukan sedikitpun kepada makhluk tentang hal yang diturunkan Allah kepada dirinya.









Tidak ada komentar:

Posting Komentar