Pencarian

Senin, 11 September 2023

Membina Diri Mengikuti Cahaya Allah

Allah telah mengutus Rasulullah SAW ke alam dunia untuk menjadi tauladan bagi seluruh umat manusia dalam beribadah kepada Allah. Hendaknya seluruh umat manusia mengikuti jejak langkah beliau SAW dengan membentuk akhlak al-karimah dalam melaksanakan ibadah kepada Allah. Dengan mengikuti Rasulullah SAW, seseorang akan menemukan jalan untuk kembali kepada Allah menjadi hamba yang didekatkan.

Ibadah seorang manusia kepada Allah akan mendatangkan pemakmuran bumi. Bila seseorang benar-benar berkeinginan untuk menjadi hamba Allah, ia akan berusaha mengetahui kehendak Allah bagi dirinya dan kemudian melaksanakan kehendak-Nya itu bagi semesta mereka. Tanpa keinginan demikian, tidak seharusnya seseorang mengatakan bahwa dirinya seorang hamba Allah. Dengan amal-amal demikian, seseorang akan mendatangkan kemakmuran bagi bumi mereka. Allah memberikan kemudahan bagi manusia untuk mewujudkan keinginan menjadi hamba-Nya dengan menurunkan syariat-syariat sehingga setiap manusia di alam jasmani dapat terhubung kepada Allah dengan benar. Syariat-syariat itu harus dipenuhi oleh setiap manusia dengan berharap untuk mengetahui jalan ibadah bagi dirinya, maka ia akan memperoleh jalan menjadi hamba Allah yang sebenarnya.

Seorang hamba Allah yang sebenarnya akan berusaha sungguh-sungguh bertindak sesuai dengan cahaya Allah. Mereka mengenal cahaya Allah dan berusaha bertindak sesuai dengan cahaya itu, maka mereka menjadi mitsal, salinan bagi cahaya Allah. Hal ini tidak menunjukkan bahwa seorang hamba menyatu dengan Allah, tetapi menunjukkan seseorang telah menyalin cahaya Allah. Hal ini dapat digambarkan layaknya gambar foto sesuatu. Gambar foto tidak menunjukkan keberadaan objek di dalam gambar itu, tetapi gambar itu menunjukkan keberadaan objek yang dapat dilihat oleh orang lain yang mau melihat. Foto sebuah pohon tidak menunjukkan adanya pohon dalam foto itu, tetapi menunjukkan adanya pohon di suatu tempat yang dapat dilihat sesuai dengan gambar foto itu. Demikian hamba Allah yang sebenarnya bisa menjadi mitsal bagi cahaya Allah. Mereka bisa menunjukkan keberadaan cahaya Allah, walaupun mungkin tidak sepenuhnya terlepas dari perbuatan salah.

﴾۵۳﴿ اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ مَثَلُ نُورِهِ كَمِشْكَاةٍ فِيهَا مِصْبَاحٌ الْمِصْبَاحُ فِي زُجَاجَةٍ الزُّجَاجَةُ كَأَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّيٌّ يُوقَدُ مِن شَجَرَةٍ مُّبَارَكَةٍ زَيْتُونَةٍ لَّا شَرْقِيَّةٍ وَلَا غَرْبِيَّةٍ يَكَادُ زَيْتُهَا يُضِيءُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌ نُّورٌ عَلَىٰ نُورٍ يَهْدِي اللَّهُ لِنُورِهِ مَن يَشَاءُ وَيَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Allah (adalah) cahaya lelangit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan kaukab (objek terang di langit) seperti mutiara, yang dinyalakan dari pohon yang diberkahi, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur dan tidak pula di sebelah barat, yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya, Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.(QS An-Nuur : 35)

Ayat tersebut berbicara tentang susunan mitsal (salinan) bagi cahaya Allah, yaitu hamba Allah yang sebenarnya. Cahaya Allah yang dapat dilihat oleh makhluk dari seorang mitsal cahaya Allah hanyalah berupa lubang kecil dari suatu misykat yang tidak tembus cahaya, karena mereka hanya diberi jalan cahaya yang kecil. Misykat dapat dibayangkan layaknya suatu kamera. Mereka tidak diberi jalan cahaya selain lubang kecil itu, dan tidak berkeinginan mencari jalan lain itu. Cahaya Allah itu ada dalam diri seorang hamba, layaknya gambar suatu kamera. Cahaya di dalam diri seorang hamba itu berasal dari pohon zaitun yang dinyalakan. Pohon itu sendiri pada dasarnya telah bercahaya karena minyaknya sebelum disentuh api.

Misykat cahaya itu adalah susunan diri manusia yang sempurna. Jasad mereka dimisalkan misykat yang tidak tembus cahaya, sedangkan nafs mereka dimisalkan sebagai bola kaca yang memendarkan cahaya karena adanya cahaya-cahaya dari pohon berapi. Tanpa adanya pohon yang mengeluarkan cahaya, nafs mereka tidak dapat memendarkan cahaya. Adanya cahaya yang terpancar dari bola kaca itu adalah pancaran cahaya dari pohon. Pohon zaitun berapi itu adalah kalimah thayyibah yang tumbuh dalam diri seorang hamba hingga menghasilkan minyak yang bercahaya, kemudian Allah menyalakannya dengan api. Seandainya Allah belum menyalakan dengan api, minyak dari kalimah thayyibah yang telah tumbuh itu mengeluarkan cahaya yang menerangi. Pohon dan minyaknya itu diperoleh dari kematangan pertumbuhan kalimah thayyibah dalam diri seseorang, sedangkan Allah yang memberikan api untuk menyalakannya.

Pertumbuhan Kalimah Thayyibah

Pertumbuhan kalimah thayyibah terjadi bila seseorang mengikuti kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW. Suatu ayat dalam kitabullah yang tumbuh mengakar dalam diri seseorang akan menjadikan pohon thayyibah tumbuh. Pengetahuan itu tumbuh bila seseorang mengikuti langkah Rasulullah SAW, yaitu melangkah kembali mendekat (bertaubat) kepada Allah. Ada tahapan-tahapan yang menandai tingkat perkembangan seseorang dalam mengikuti langkah Rasulullah SAW, yang menunjukkan bahwa mereka benar dalam mengikuti langkah Rasulullah SAW. Bila tanda itu tidak muncul, boleh jadi ia tidak melangkah mengikuti sunnah Rasulullah SAW atau ia salah dalam melangkah, atau ia terlalu lambat dalam mengikuti sunnah Rasulullah SAW. Sebagian umat islam meniru perbuatan yang dilakukan oleh Rasulullah SAW tanpa sedikitpun melangkah mengikuti sunnah, dan justru menimbulkan kegaduhan di antara umat islam karena dan dengan kebodohan mereka tentang sunnah Rasulullah SAW. Mereka adalah kaum khawarij.

Arah utama yang menjadi pedoman melangkah mengikuti Rasulullah SAW di alam dunia adalah terbentuknya bayt untuk meninggikan dan mendzikirkan asma Allah. Membina bayt merupakan millah Ibrahim a.s bersama isteri dan anak-anak dalam sebuah keluarga yang diijinkan Allah untuk meninggikan dan mendzikirkan asma Allah di dalamnya. Bayt nabi Ibrahim a.s dijadikan kiblat bagi umat manusia dalam melangkah berupa bayt al-haram dan bayt al-aqsha, keduanya merupakan bayt nabi Ibrahim a.s. Dalam sunnah Rasulullah SAW, menikah merupakan setengah bagian dari agama karena fungsi pernikahan untuk membentuk bayt. Melalui pernikahan yang penuh ketakwaan, seseorang akan memperoleh wahana membentuk bayt untuk meninggikan dan mendzikirkan asma Allah.

﴾۶۳﴿فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللَّهُ أَن تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيهَا بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ
di rumah-rumah yang telah diijinkan Allah untuk ditinggikan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang (QS An-Nuur : 36)

Dengan terbentuknya bayt yang diijinkan untuk meninggikan dan mendzikirkan asma Allah, seseorang memperoleh wahana untuk kembali mendekat kepada Allah (bertaubat) melalui jalan yang terdekat berupa shirat al-mustaqim. Demikian pula melalui bayt seseorang memperoleh wahana untuk mewujudkan pemakmuran bumi (umrah). Itu merupakan jalan Allah yang sebenarnya. Di dalam bayt tersebut, seseorang akan mengetahui kehendak Allah sesuai ayat-ayat kitabullah dan mempunyai jalan untuk memberikan sumbangsih bagi pemakmuran bumi mereka.

Banyak orang tidak mengetahui pokok arah kehidupan ini. Misalnya sebagian orang menyangka bahwa umat islam harus melakukan gerakan sosial politik untuk memajukan umat. Sebagian berpendapat bahwa kemakmuran umat manusia harus dimulai dari riset sains dan teknologi. Banyak persangkaan lain manusia terkait dengan kemakmuran, sedangkan persangkaan itu bukanlah pokoknya. Sebagian persangkaan itu merupakan cabang-cabang yang seharusnya tumbuh dari pokoknya, pokok berupa membentuk bayt untuk meninggikan dan mendzikirkan asma Allah. Membentuk bayt menjadi pokok karena terkait transformasi inti diri manusia berupa nafs hingga transformasi terbentuknya pondasi struktur sosial seseorang. Manakala tidak melibatkan pembentukan bayt, upaya manusia tidaklah menghasilkan pemakmuran, dan tidak menumbuhkan pohon thayyibah. Tidak jarang seseorang atau suatu jamaah sangat memperhatikan apa-apa yang menjadi cabang pemakmuran, tetapi dengan merusak pokok arah kehidupan berupa terbentuknya bayt. Bila demikian, mereka tidak melangkah mengikuti Rasulullah SAW, tidak mengikuti sunnah Rasulullah SAW menumbuhkan pohon thayyibah dalam dirinya, dan justru berbuat kerusakan yang banyak.

Ada beberapa turunan yang menjadi penjelasan arah dalam mengikuti sunnah Rasulullah SAW. Bayt didirikan di tanah haram. Setiap orang harus menempuh hijrah dari keadaannya di bumi menuju tanah yang dijanjikan baginya. Tanah haram itu adalah jati diri penciptaan setiap manusia. Setiap orang hendaknya mendidik diri agar dapat mentaati kehendak Allah, sehingga ia bisa mengenali jati diri penciptaan diri mereka. Itu adalah proses hijrah menuju tanah yang dijanjikan. Sejak seseorang mendidik diri untuk taat kepada Allah dan taat kepada Rasulullah SAW, seseorang dikatakan mengikuti sunnah Rasulullah SAW. Hendaknya mereka terus mengikuti sunnah itu hingga terbentuk bayt untuk meninggikan dan mendzikirkan asma Allah. Pengenalan diri dan hal lainnya hanyalah sasaran antara, bukan sasaran akhir dari millah dan sunnah. Sasaran utamanya adalah terbentuknya bayt untuk meninggikan dan mendzikirkan asma Allah, dan itu bentuk ubudiyah yang mapan tidak mudah digoyahkan. Syaitan akan selalu berusaha menyimpangkan manusia bila tidak berhati-hati, bahkan hingga manakala seseorang mengenali shirat al-mustaqim mereka.

Menyemai Kalimah Thayyibah

Allah menciptakan makhluk sebagai manifestasi ilmu-Nya yang sangat luas, dan menjadikan Rasulullah SAW sebagai penghulunya. Beliau SAW adalah makhluk yang paling mengetahui hakikat penciptaan. Pengetahuan beliau SAW mencakup segenap firman Allah, baik firman dalam wujud kitabullah maupun firman Allah berupa kauniyah alam semesta. Setiap orang bisa mengikuti Rasulullah SAW untuk menumbuhkan pohon thayyibah dengan mengambil ayat dari ayat kitabullah dan ayat kauniyah.

Luasnya ilmu Allah tidak terbatasi oleh pengetahuan makhluk-Nya, sedangkan ilmu yang diperkenalkan Alah kepada makhluk dibatasi Allah dengan pengetahuan yang diberikan kepada nabi Muhammad SAW. Ilmu makhluk yang lain hanya merupakan bagian-bagian dari ilmu nabi Muhammad SAW. Sekalipun misalnya seseorang memperoleh pengetahuan hakikat dalam derajat mengenal tajalli Allah di kursi-Nya, ilmu Allah yang tidak dikenalnya masih sangat luas. Kursi dibandingkan dengan ‘arsy dapat diibaratkan sebesar suatu cincin di gurun pasir yang sangat luas. Sangat banyak ilmu yang mungkin tidak dikenali oleh seseorang, walaupun oleh orang yang mengenal Allah. Seseorang yang mengenal Allah kebanyakan mengenali tajalli Allah dalam wujud salinan yang sesuai bagi kursi hamba itu sendiri, bukan tajalli Allah di kursi-Nya, apalagi tajalli Allah di atas ‘arsy. Rasulullah SAW mengenal tajalli Allah di ufuk yang tertinggi.

Setiap manusia dapat mengambil kalimat Allah yang sesuai dengan keadaan kauniyah dirinya untuk ditumbuhkan sebagai pohon thayyibah. Tumbuhnya pohon itu ditandai dengan akal yang memahami kehendak Allah. Syaitan sangat ingin manusia tercerabut akalnya atau memisahkan seseorang dari firman Allah. Syaitan seringkali mengurung manusia dalam suatu pemahaman tertentu yang memisahkan mereka dari firman Allah berupa ayat kauniyah maupun kitabullah, sehingga manusia itu tidak dapat memahami firman Allah yang mendatangi diri mereka. Syaitan membangkitkan perkataan ttentang Allah tanpa pengetahuan. Beberapa fenomena dapat menjadi penanda terkurungnya manusia dalam waham yang dibuat syaitan. Sebagian manusia menjadikan hamba-hamba Allah sebagai wali, tetapi wali selain Allah. Mereka tidak berusaha memahami kehendak Allah dengan akalnya melalui wali-wali yang mereka pilih tetapi hanya bergantung kepada wali yang mereka pilih sendiri tanpa menggunakan akalnya. Manakala para wali itu bertentangan dengan firman Allah, mereka mengikuti langkah itu tanpa memikirkan kehendak Allah yang tertera dalam kitabullah. Itulah menjadikan wali selain Allah, dan itu termasuk bagian dari cara syaitan mengurung manusia dalam waham.

Bertanam Kalimah dengan Pernikahan

Membina bayt untuk meninggikan dan mendzikirkan asma Allah dimulai dari pernikahan, sehingga pernikahan merupakan setengah bagian dari agama. Transformasi manusia melalui pernikahan akan terjadi secara fundamental menyentuh kesatuan nafs manusia. Namun disayangkan bahwa kebanyakan manusia tidak mempunyai visi untuk membentuk bayt demikian.

Keadaan sakinah, mawaddah dan rahmah dalam suatu rumah tangga merupakan indikator tingkat keberhasilan dalam membina rumah tangga. Hal ini hendaknya tidak dipandang sama dengan keadaan pasangan yang dimabuk asmara sedangkan mereka belum mengalami ujian dalam kebersamaan. Sakinah, mawaddah dan rahmah dalam rumah tangga merupakan hasil transformasi pasangan menikah melalui pernikahan mereka, melibatkan transformasi nafs dan perkembangan akal dalam memahami kehendak Allah untuk diri mereka dan semesta mereka. Tidak semua pernikahan mendatangkan perkembangan demikian. Ada pasangan yang berkembang bersama, ada yang berkembang sepihak, dan ada yang tidak berkembang sama sekali justru menimbulkan permusuhan di antara pasangan.

Transformasi dalam pernikahan terjadi meliputi fundamen seseorang berupa nafs mereka. Manakala dua nafs berpasangan disatukan dalam pernikahan, penyatuan itu dapat menumbuhkan sekian banyak hal lain karena kesuburan di antara mereka, dan itu tidak terjadi tanpa ada pernikahan. Seorang laki-laki akan mengalami perubahan kekuatan akalnya, baik untuk memahami kehendak Allah ataupun dalam melaksanakan amal, apabila ia menghendaki. Kadang perubahan ini tidak disadari seseorang, tetapi akan disadari manakala ia ditinggalkan isterinya. Seorang perempuan akan tumbuh rasa mawaddah yang menjadikannya subur, berupa iktikad untuk membantu suaminya melaksanakan amal shalih. Itu adalah basis perkembangan yang akan diperoleh orang yang menikah.

Transformasi melalui pernikahan bergantung pada keikhlasan masing-masing pihak. Keadaan awal berpasangan seringkali mewarnai terbentuknya transformasi, tetapi tidak sepenuhnya menentukan keberhasilan transformasi. Sangat banyak pasangan muda yang saling mencintai dengan menggebu-gebu kemudian padam dalam tempo singkat. Demikian pula tidak jarang suatu pasangan muda memperoleh petunjuk orang-orang yang tidak sesuai dengan keinginan masing-masing. Keadaan awal tidak menjadi komponen utama yang mempengaruhi transformasi pasangan itu dalam membentuk bayt. Untuk perempuan, keadaan awal barangkali akan lebih berpengaruh terhadap transformasi mereka, dibanding laki-laki, walaupun mungkin saja masalah itu dapat terlampaui oleh keikhlasannya.

Dalam perjalanan, akhlak dan adab satu pihak kepada yang lain akan sangat mempengaruhi terbentuknya kebaikan dalam rumah tangga. Akhlak dan adab seringkali merupakan satu kesatuan, akan tetapi bisa berbeda. Adab yang baik tidak selalu menunjukkan akhlak yang baik, dan sebaliknya. Misalnya bila seorang perempuan bersikap baik pada laki-laki kaya, tetapi merendahkan manakala menghadapi laki-laki lain karena miskinnya. Dalam peristiwa demikian, adab yang baik itu tidak menunjukkan akhlak yang baik. Sebaliknya, seorang perempuan dengan akhlak baik dapat bersikap buruk karena suatu mushibah tertentu. Adab yang buruk tidak selalu menunjukkan akhlak yang buruk. Akhlak dan adab yang baik-lah yang akan membentuk bayt. Manakala satu pihak atau kedua pihak tidak mengalami transformasi melalui pernikahannya, tidak terbentuk bayt yang diijinkan untuk meninggikan dan mendzikirkan asma Allah.

Orang beriman kadang menghadapi suatu petunjuk yang tampak tidak masuk akal dalam urusan pernikahan, bahkan masih tampak tidak masuk akal ketika ia mengesampingkan hawa nafsunya. Hal itu dapat terjadi karena informasi yang keliru atau prasangka. Syaitan gemar menimbulkan kekisruhan dalam urusan itu, hingga syaitan yang didekatkan kepada pemuka Iblis yang utama. Pernikahan merupakan jalan utama untuk mengikuti millah Ibrahim a.s maka syaitan sangat berusaha merusak. Seseorang tidak boleh meninggalkan petunjuk itu bila itu petunjuk yang benar. Manakala ia belum memperoleh kejelasan informasi, ia mungkin boleh menunda memutuskan petunjuk itu, tetapi hendaknya ia dapat menerima dengan baik bila ada informasi baru yang lebih benar, atau manakala ada perubahan dari keadaan sebelumnya. Kadangkala suatu komitmen untuk berubah lebih baik harus dianggap mencukupi agar petunjuk itu dapat terlaksana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar