Pencarian

Senin, 20 Februari 2023

Mengikuti Sunnah Rasulullah SAW

Rasulullah SAW merupakan manusia yang dijadikan Allah sebagai penghulu semesta alam. Semesta alam diciptakan Allah untuk memperkenalkan Rasulullah SAW. Beliau adalah makhluk yang mampu mengenal seluruh hakikat penciptaan alam semesta yang hendak Allah perkenalkan, dan dengan keadaan itu beliau SAW dijadikan sebagai panutan bagi setiap makhluk untuk mengenal Allah. Tidak ada makhluk yang mengenal Allah dengan benar melalui jalan lain tanpa mengikuti tauladan Rasulullah SAW.

Kaum muslimin hendaknya berusaha untuk menyatukan langkah masing-masing pada jejak langkah Rasulullah SAW. Penyatuan langkah itu dapat dilakukan dengan memahami arah kehidupan yang dicontohkan Rasulullah SAW dengan keimanan, dan kemudian menempuh langkah tiruannya. Tidak dikatakan mengikuti sunnah Rasulullah SAW orang-orang yang sibuk meniru syariat beliau SAW tanpa memperhatikan arah kehidupan yang dicontohkan beliau SAW, sedangkan mereka menimbulkan pertengkaran membanggakan polah mereka di antara saudara muslim mereka dan memecah-belah manusia dalam pertengkaran-pertengkaran.

Landasan untuk mengikuti langkah Rasulullah SAW adalah keimanan, dimana seseorang dapat mengenali kebenaran sesuai kehendak Allah dengan keimanannya tanpa ada hijab yang mempengaruhi akurasi pengenalan kebenaran itu, dan ia dapat berbuat sesuai kehendak-Nya dengan rasa syukur. Seandainya suatu kebenaran dikatakan oleh orang yang dipandang hina, seorang beriman harus mengenali kebenaran itu dengan keimanannya, dan bila suatu kekufuran dikatakan oleh para pembesar mereka, mereka harus mengenali kekufuran itu tidak membenarkannya. Itu adalah keimanan yang disyaratkan untuk dapat menyatukan langkah mereka pada jejak langkah Rasulullah SAW.


﴾۴۵﴿وَإِذَا جَاءَكَ الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِآيَاتِنَا فَقُلْ سَلَامٌ عَلَيْكُمْ كَتَبَ رَبُّكُمْ عَلَىٰ نَفْسِهِ الرَّحْمَةَ أَنَّهُ مَنْ عَمِلَ مِنكُمْ سُوءًا بِجَهَالَةٍ ثُمَّ تَابَ مِن بَعْدِهِ وَأَصْلَحَ فَأَنَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Apabila orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami itu datang kepadamu, maka katakanlah: "Salaamun ‘alaikum. Tuhanmu telah menetapkan atas diri-Nya rahmat, (yaitu) bahwasanya barang siapa yang berbuat kejahatan di antara kamu lantaran kejahilan, kemudian ia bertaubat setelah mengerjakannya dan mengadakan perbaikan, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(QS Al-An’aam : 54)

Dengan kemampuan mengenali kebenaran dengan cara demikian, dan melangkah menempuh kehidupan sesuai dengan kehendak-Nya dengan rasa syukur, seseorang dapat datang kepada Rasulullah SAW dengan dasar keimanan kepada ayat-ayat Allah, sebagaimana disebutkan ayat di atas. Bila seseorang datang kepada Rasulullah SAW dengan keadaan demikian, Rasulullah SAW akan menyambut mereka dengan kegembiraan, menyampaikan salam dan menyampaikan pesan Allah bagi mereka. Salam Rasulullah SAW untuk hal demikian bukan bersifat salam balasan. Kadangkala beliau SAW datang kepada suatu jamaah, dan menyampaikan salam bagi jamaah tersebut. Beliau akan terlihat bagi orang-orang yang diberi kemampuan melihat dengan bashirah.

Salah satu pokok dari salam beliau SAW adalah manifestasi ayat di atas. Salam beliau SAW secara khusus ditujukan diantaranya kepada orang-orang yang menginginkan penyatuan langkah bersama beliau SAW berdasarkan keimanan terhadap ayat-ayat Allah. Orang yang disekitarnya memperoleh berkah kehadiran dan salam beliau SAW. Salam beliau SAW itu menandai bahwa orang yang memperoleh salam tersebut telah memulai penyatuan langkahnya bersama jejak langkah Rasulullah SAW. Orang yang dianggap telah menyatukan langkah tersebut adalah orang yang mengenali ayat-ayat kauniyah dan ayat-ayat Alquran yang berjalan beriring, yang menandai keterbukaan pemahamannya terhadap urusan Rasulullah SAW untuk ruang dan jamannya berupa amr jami’.

Madharat Abai Terhadap Sunnah

Keinginan untuk menyatukan langkah dalam jejak langkah bersama Rasulullah SAW harus terbina pada setiap orang beriman. Orang yang tumbuh keimanannya sebenarnya akan tumbuh pula keinginan demikian, akan tetapi boleh jadi syaitan memalingkannya pada hal lain. Terlalu banyak bahaya mengintai dalam perjalanan setiap orang menuju Allah tanpa menyatukan langkah bersama beliau SAW, bahkan tidak mungkin seseorang akan sampai pada kedekatan kepada Allah tanpa mengikuti langkah beliau SAW. Sebagian orang tersesat dalam perjalanan kembali kepada Allah karena mengandalkan kemampuan mereka sendiri dalam beramal, baik berdasar ilham ataupun petunjuk dalam dirinya ataupun mengikuti orang lain tanpa menyatukan diri pada sunnah Rasulullah SAW. Ada suatu kaum yang diberi petunjuk jalan menuju neraka jahim.

﴾۸۲﴿قَالُوا إِنَّكُمْ كُنتُمْ تَأْتُونَنَا عَنِ الْيَمِينِ
﴾۹۲﴿قَالُوا بَل لَّمْ تَكُونُوا مُؤْمِنِينَ
﴾۰۳﴿وَمَا كَانَ لَنَا عَلَيْكُم مِّن سُلْطَانٍ بَلْ كُنتُمْ قَوْمًا طَاغِينَ
(28) Mereka berkata (kepada pemimpin-pemimpin mereka): "Sungguh kalian yang datang kepada kami dari kanan. (29) (Pemimpin-pemimpin) mereka menjawab: "Sebenarnya kalian-lah yang tidak hendak beriman". (30) Dan sekali-kali kami tidaklah berkuasa terhadap kalian, bahkan kalianlah kaum yang melampaui batas. (QS As-Shaffat : 28-30)

Ayat-ayat tersebut di atas bercerita tentang suatu kaum yang tersesat mengikuti petunjuk menuju neraka jahim. Terjadi perbantahan antara para pengikut terhadap para pemimpin mereka. Para pengikut telah mengikuti pemimpin mereka karena pemimpin itu datang kepada mereka melalui sisi kanan. Para pemimpin tersebut tidak mau disalahkan oleh pengikut mereka, dan menunjukkan bahwa sebenarnya para pengikut mereka itulah yang tidak mau membina keimanan mereka. Para pemimpin itu tidaklah mempunyai kuasa atas pengikut, dan sebenarnya para pengikut mereka telah menjadi kaum yang melampaui batas.

Kaum tersebut telah melakukan perbuatan-perbuatan baik, dimana para pemimpin mendatangi orang-orang yang mengikutinya dari sisi kanan. Tidak ada yang salah di antara mereka karena pemimpin mendatangi mereka dari sisi kanan dan mereka kemudian mengikuti seseorang ke sisi kanan. Yang menjadi awal masalah adalah keimanan yang tidak terbina dengan benar, dan tidak terbinanya keimanan tersebut kemudian menjadikan mereka sebagai orang-orang yang melampaui batas. Persoalan ini akan diketahui pemimpinnya, dan kelak akan disampaikan sebagai penjelasan kepada kaumnya. Kaumnya tidak akan mempunyai suatu alasan karena mereka terlibat secara langsung apa yang dijelaskan oleh pemimpin mereka.

Keimanan merupakan bagian diri manusia yang sepenuhnya ditentukan hati seseorang tersebut. Suatu perbuatan dapat terlahir oleh seseorang manakala keadaan memungkinkan, tetapi keimanan merupakan cahaya yang tumbuh dalam hati yang tidak ditentukan keadaan oleh orang lain. Dalam keadaan tertentu, seseorang dapat saja bercampur dengan para pendosa dalam keadaan beriman tanpa dipengaruhi keimanannya, atau boleh jadi seorang beriman tidak dapat melahirkan apa yang menjadi keimanannya karena keadaan tanpa mengurangi keimanan. Hal itu mungkin terjadi, tetapi seorang beriman tidak boleh berbuat semaunya tanpa berusaha melahirkan keimanan mereka. Setiap orang harus menumbuhkan keimanan tanpa dipengaruhi atau tertipu oleh keadaan yang dibuat orang lain, dan hal itu selalu dapat diusahakan dengan mengikuti kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW.

Bilamana persoalan ini disadari dalam kehidupan dunia, seharusnya mereka dapat menghindari keadaan sulit demikian, akan tetapi seringkali kesadaran semacam ini tumbuh terlambat. Selain itu seringkali tumbuh kelembaman atau keengganan dalam bersikap manakala tumbuh kesadaran untuk mengikuti kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW. Setiap pihak hendaknya mengambil langkah yang terbaik yang dapat mereka lakukan, tidak saling memberikan pengaruh buruk. Manakala seorang pemimpin menyadari, hendaknya mereka berusaha menumbuhkan keimanan pada kaumnya. Manakala para pengikut menyadari, mereka hendaknya bersegera mengikuti kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW tidak terus melakukan penentangan terhadap kedua tuntunan mulia tersebut.

Keimanan yang seharusnya terbina dalam diri setiap muslimin harus dapat mengantar mereka dalam penyatuan dengan jejak langkah Rasulullah SAW. Ada banyak hal yang terbentuk mengikuti langkah seseorang menyatukan langkah bersama jejak Rasulullah SAW. Misalnya seseorang akan mengenal imamnya yang menghubungkan diri mereka kepada Rasulullah SAW. Itu merupakan wujud yang lebih hakiki daripada seorang perempuan menemukan imam berwujud suami, setengah bagian agama lebih lanjut yang melengkapi setengah bagian agama yang diperoleh dalam pernikahannya. Setiap diri muslimin harus dapat mengenali kebenaran dari sisi Allah dengan keimanan tanpa terpengaruhi oleh bentuk-bentuk yang tergambar dalam hawa nafsu secara keliru, karena sangat mungkin imam tersebut tidak sebagaimana keinginan hawa nafsu mereka. Membina keimanan demikian harus dilakukan dengan menempuh langkah pensucian diri (tazkiyatun-nafs) serta berpegang teguh pada kitabullah dengan berusaha memahami dan mengikuti apa-apa yang diperoleh dari kitabullah. Bila seseorang tidak berpegang pada kitabullah, maka seseorang akan mudah dibelokkan pemahamannya oleh syaitan.

Ketika suatu kebenaran sampai kepada seseorang melalui sesuatu yang tampak hina, ia tidak boleh mengabaikan kebenaran itu atau justru menganggapnya suatu kebathilan. Demikian pula manakala suatu kebathilan datang melalui apa yang dianggap mulia, ia tidak boleh menjadikan kebathilan itu sebagai suatu kemuliaan. Kesalahan dalam urusan itu akan merusak keimanan. Kemampuan itu dapat diperoleh seseorang bila nafs mereka suci, dan terbina mengikuti kitabullah. Tanpa membangun keimanan semacam ini, mereka akan terseret oleh waham-waham dan syaitan, dan itu bukanlah keimanan. Inilah yang dikatakan oleh para pemimpin mereka bahwa sebenarnya mereka itu sendiri-lah yang tidak mau beriman. Terlepas dari peran pemimpinnya, setiap pengikut benar-benar mempunyai peran dalam ke(tidak)imanan diri sendiri. Muslimin tidak boleh meninggalkan prinsip membina keimanan yang benar, sehingga dapat menyatukan langkah dalam jejak langkah Rasulullah SAW.

Bila seseorang mengabaikan pembinaan keimanan yang benar, mereka akan terseret menjadi kaum yang melampaui batas. Sikap syukur harus ditumbuhkan dengan mengikuti kehendak Allah yang diketahui dalam pertumbuhan nafs mereka dibandingkan mengikuti apa-apa yang dicintai hawa nafsu mereka. Nafs setiap orang harus tumbuh mengikuti kitabullah, tidak mengikuti hawa nafsunya. Bila nafs tumbuh dengan kitabullah, mereka perlahan-lahan akan menemukan kedudukan diri mereka dalam kitabullah. Bila seseorang lebih senang mengikuti yang dicintai hawa nafsu mereka, pertumbuhan nafs mereka akan menyertai pertumbuhan hawa nafsu. Bila mengikuti hawa nafsu, mereka akan tumbuh sebagai makhluk yang melampaui batas.

Kadangkala pertumbuhan nafs tampak baik, tetapi tidak berpegang pada kitabullah dengan tertib. Hal demikian tidak menunjukkan keadaan yang benar-benar baik karena yang akan tumbuh tetaplah hawa nafsu walaupun hawa nafsu yang baik, sedangkan nafs mereka tidak tumbuh akalnya. Pertumbuhan akal akan terjadi hanya karena mengikuti kitabullah. Hawa nafsu yang baik itu tidak akan dapat memahami kebenaran manakala terselubung dalam hijab yang tidak sesuai dengan hawa nafsu, tidak mengenal kebenarannya kecuali hanya hawa kebenarannya saja tanpa sebuah keyakinan. Sebaliknya manakala mereka menemukan kebathilan dalam selubung hijab yang disukai hawa nafsu, mereka akan menganggap itu sebuah kebenaran. Lebih buruknya, orang-orang demikian dapat membantah petunjuk berupa ayat dalam kitabullah karena waham mereka. Manakala bantahan itu terjadi, mereka telah melampaui batas.

Setiap orang beriman harus melakukan amal untuk sumbangsih mereka bagi makhluk lain. Amal itu pada puncaknya bukanlah semata-mata berupa amal yang baik, tetapi berupa amal yang telah digariskan Allah bagi setiap diri manusia yang dikalungkan pada leher mereka sejak sebelum penciptaan mereka di dunia. Amal itu sebenarnya merupakan bagian dari urusan amr jami’ sebagai amr bagi Rasulullah SAW. Dengan melakukan amal-amalnya berdasarkan sunnah Rasulullah SAW, seseorang akan memberikan sumbangsih paling besar yang dapat dilakukannya bagi manusia.

Tidak semua amal yang baik dapat memberikan hasil yang baik. Kadangkala amal yang baik mendatangkan kerusakan pada diri yang mengamalkannya, atau kadangkala ramainya amal justru mengeliminasi amal-amal yang mengikuti petunjuk kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW. Pada ayat di atas, amal-amal baik yang mereka lakukan terlaksana disertai dengan kerusakan keimanan, dimana seseorang terhijab dengan amalnya dari keimanan, hingga pada akhirnya mereka menjadi orang-orang yang melampaui batas. Hasil dari orang-orang yang beramal akan tetapi terhijab dari keimanan tidaklah baik. Keterhijaban itu dapat dihindari bila seseorang berusaha menyatukan langkah mereka bersama jejak langkah Rasulullah SAW, tidak menempuh langkah mereka sendiri tanpa berpegang pada tuntunan Alquran dan sunnah Rasulullah SAW, atau bahkan menentang Alquran dan sunnah Rasulullah SAW. Meninggalkan sunnah Rasulullah SAW mengandalkan petunjuk sendiri akan menjadikan suatu kaum memperoleh petunjuk untuk menuju jalan jahim.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar