Pencarian

Kamis, 03 November 2022

Shilaturrahmi dan Risalah

Tujuan akhir penciptaan manusia adalah mengenal kebenaran tertinggi sebagai saksi bagi Allah. Kesaksian terhadap Allah dapat diukur dari pengenalan manusia terhadap kebenaran risalah Nabi Muhammad SAW. Seseorang tidak dikatakan mengenal Allah tanpa mengenal makna-makna kebenaran risalah Nabi Muhammad SAW, karena benarnya seseorang dalam mengenal Allah hanya ditunjukkan dengan pengenalannya terhadap kebenaran risalah beliau SAW. Orang yang mengatakan dengan lisannya kesaksian terhadap risalah belum tentu benar-benar mengenal makna kebenaran risalah, akan tetapi hal itu telah mencukupi untuk dikatakan sebagai pengikut Rasulullah SAW.

Tingkat kesaksian seseorang diukur dari pemahaman akalnya tentang kebenaran risalah beliau SAW. Sebagian mukmin benar-benar melihat kesatuan kebenaran antara ayat kauniyah semesta dirinya dengan ayat-ayat dalam kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW, maka ia menjadi saksi yang sebenarnya tentang kebenaran risalah Nabi Muhammad SAW. Sebagian orang yang beriman tunduk pada ajarannya, tetapi tidak berusaha memahami kebenaran risalah Nabi Muhammad SAW dengan akalnya melalui Alquran dan sunnah Rasulullah SAW, maka kesaksiannya hanyalah sebatas apa yang diketahui dari kebenaran Rasulullah SAW. Mungkin ia membenarkan tetapi sebenarnya ia tidak memahami kebenarannya. Kesaksian seseorang terhadap Allah hanya diukur dari pemahamannya terhadap kebenaran risalah Nabi Muhammad SAW.

Landasan Memahami Kebenaran Risalah

Untuk memahami kebenaran risalah Nabi Muhammad SAW, ada beberapa tolok ukur yang harus diperhatikan oleh setiap manusia. Tolok ukur ini menentukan benarnya langkah setiap orang dalam mengikuti Rasulullah SAW hingga seseorang dapat memahami risalah dengan benar. Bila tidak memperhatikan tolok ukur ini, maka boleh jadi langkah seseorang sebenarnya telah menyeleweng dari jalan Allah, atau ia sebenarnya tidak memperhatikan dirinya dalam perjalanan kembali kepada Allah.

Beberapa tolok ukur itu disebutkan berikut ini.

﴾۰۲﴿الَّذِينَ يُوفُونَ بِعَهْدِ اللَّهِ وَلَا يَنقُضُونَ الْمِيثَاقَ
﴾۱۲﴿وَالَّذِينَ يَصِلُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَن يُوصَلَ وَيَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ وَيَخَافُونَ سُوءَ الْحِسَابِ
(20)(yaitu) orang-orang yang memenuhi janji Allah dan tidak merusak perjanjian,(21)dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk. (QS Ar-Ra’du : 20-21)

Perjanjian dengan Allah (عَهْدِ اللَّهِ) dan perikatan (الْمِيثَاقَ) merupakan dua puncak tolok ukur perjalanan untuk memahami kebenaran risalah nabi Muhammad SAW. Tidak banyak orang yang benar-benar mengenal apa yang dimaksud dengan perjanjian Allah (عَهْدِ اللَّهِ) dan perikatan (الْمِيثَاقَ). Sebagian orang beriman mendengar dan berusaha mengenal keduanya, dan kebanyakan manusia tidak mengetahui kedua hal tersebut. Hal itu terjadi karena kedua hal itu merupakan tolok ukur puncak menjelang kebersamaan dalam Al-jamaah mengikuti langkah Rasulullah SAW kembali kepada Allah sehingga tidak semua orang mengetahui.

Walaupun merupakan tolok ukur puncak, kedua hal tersebut bukan sesuatu yang tidak ada manifestasinya di kehidupan setiap manusia. Perjanjian dengan Allah (عَهْدِ اللَّهِ) selalu hadir dalam setiap tahap perjalanan manusia. Dalam tahap awal perjalanan dan seterusnya, setiap orang beriman terikat dalam sebuah perjanjian untuk selalu taat kepada Allah dan taat kepada Rasul-Nya. Ketaatan ini seringkali diturunkan pula dalam wujud ketaatan pada wakil Rasulullah SAW. Seorang pemimpin yang telah disahkan menurut kitabullah merupakan wakil beliau SAW yang harus ditaati umat, dan kedurhakaan kepada orang tersebut merupakan kedurhakaan terhadap Rasulullah SAW. Hal ini harus dipahami dan diukur oleh setiap orang dengan landasan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW, tidak bertaklid/membuta dalam mengikuti karena boleh jadi ada kesalahan atau kesesatan dalam langkah seseorang selain Rasulullah SAW.

Mengerti atau tidak mengerti isi perjanjian dirinya dengan Allah, setiap orang beriman harus berusaha mentaati Allah dan mentaati Rasulullah SAW dalam setiap langkah kehidupannya, tidak melanggar apa yang telah ditetapkan baginya. Hal ini berlaku tanpa batas akhir. Ketika seseorang kemudian mengerti isi perjanjian dirinya dengan Allah, ia tetap harus menjaga ketaatannya kepada Allah dan ketaatan kepada Rasulullah SAW, tidak kemudian bertindak bebas dalam langkahnya dengan durhaka kepada Rasulullah SAW. Ketika seseorang bertindak secara bebas melepaskan ketaatannya kepada Allah dan ketaatan kepada Rasulullah SAW, maka ia telah menyimpang dari jalan Allah. Dalam beberapa hal, kedurhakaan terhadap wakil Rasulullah SAW juga termasuk menyimpang dari jalan Allah.

Demikian pula tentang perikatan (الْمِيثَاقَ), hal ini tidak hanya terjadi di alam yang tinggi pada suatu masa setelah seseorang mengenal isi perjanjian dirinya dengan Allah (عَهْدِ اللَّهِ). Perikatan (الْمِيثَاقَ) dari alam yang tinggi itu telah diturunkan Allah bagi manusia dalam kehidupan sehari-hari dalam wujud-wujud yang hampir serupa dengan perjanjian di alam yang tinggi. Misalnya seorang laki-laki dan perempuan yang melakukan akad pernikahan sebenarnya telah mewujudkan sebuah perjanjian yang kokoh (مِّيثَاقًا غَلِيظًا) yang serupa dengan perjanjian para nabi dengan Allah (مِّيثَاقًا غَلِيظًا). Pernikahan merupakan representasi yang dihadirkan bagi setiap orang untuk mengenal perikatan para nabi dengan Allah dalam menolong Allah memperkenalkan asma-Nya yang Agung kepada setiap makhluk. Dengan menikah, seseorang dapat memperoleh sarana penghayatan tentang tujuan kehidupan bersama Rasulullah SAW, yaitu kembali kepada Allah dengan mendzikirkan dan meninggikan asma Allah kepada setiap makhluk.

Menghubungkan shilaturrahmi merupakan tolok ukur turunan berikutnya. Dalam makna hakiki, shilaturrahmi merupakan upaya untuk menghubungkan diri kepada Allah melalui manifestasi asma Allah yang dihadirkan bagi makhluk-Nya berupa Ar-rahim. Dalam kehidupan bumi, shilaturahmi hadir dalam wujud membentuk hubungan kasih sayang di antara manusia. Itu adalah bayangan silaturrahmi. Allah telah menghadirkan Ar-rahim di alam ciptaan dengan kedudukan yang sangat tinggi. Ar-rahim berkedudukan melekat pada ‘Arsy, berada di bawahnya. Hanya asma Ar-rahman yang lebih tinggi kedudukannya daripada Ar-rahim. Bila seseorang berupaya menyambungkan dirinya dengan Ar-rahim, maka ia akan mendapatkan hubungan washilah kepada Allah karena Allah memberikan washilah kepadanya melalui Ar-rahim. Barangsiapa memutuskan diri terhadap Ar-rahim, maka Allah memutuskan pula washilah kepadanya. Rasulullah SAW bersabda :

اَلرَّحِمُ مُعَلَّقَةٌ بِالْعَرْشِ تَقُوْلُ: مَنْ وَصَلَنِي وَصَلَهُ اللهُ وَمَنْ قَطَعَنِي قَطَعَهُ اللهُ
Ar-rahim bergantung di ‘Arsy seraya berkata: Barangsiapa yang menyambung hubungan padaku niscaya Allah menyambungnya, dan barangsiapa yang memutuskan aku niscaya Allah memutuskan hubungan dengannya.” (Muttafaq ‘alayh, Muslim 2555)

Yang paling mengenal Ar-rahim adalah nabi Ibrahim a.s. Beliau a.s menghadirkan bagi umat manusia tauladan dalam menyambungkan washilah kepada Ar-rahim. Barangsiapa mengikuti nabi Ibrahim a.s membangun washilah terhadap Ar-rahim maka Allah akan memberikan washilah kepada dirinya, dan barangsiapa menyelisihi nabi Ibrahim a.s dengan memotong-motong washilah terhadap Ar-rahim maka Allah akan memotong washilah kepadanya.

Millah nabi Ibrahim a.s yang paling utama adalah membangun bayt untuk mendzikirkan dan meninggikan asma Allah di dalamnya. Hal itu merupakan bentuk membina washilah terhadap Ar-rahim. Allah memberikan media bagi manusia untuk tujuan itu dalam kehidupan di alam bumi. Media yang melekat (atau dilekatkan) bagi setiap manusia dalam rangka membina washilah itu adalah pernikahan, yang harus diupayakan untuk menjadi bayt. Membangun washilah kepada Allah tidak dapat dilakukan semata-mata dalam dimensi transenden tetapi harus terwujud pula dalam dimensi horizontal. Demikian pula sebaliknya, pernikahan dan hubungan-hubungan horizontal lainnya harus diarahkan untuk mewujudkan washilah kepada Allah. Setiap pernikahan akan menghadirkan bagi seseorang hubungan sosial tertentu, dan hal itu harus dimanfaatkan untuk membina shilaturrahmi baik shilaturrahmi dalam wujud hubungan sosial dengan manusia lainnya maupun shilaturrahmi membina washilah terhadap Ar-rahim, keduanya saling berkaitan erat satu dengan yang lain melalui pernikahan.

Perjanjian dengan Allah (عَهْدِ اللَّهِ), perikatan (الْمِيثَاقَ) dan shilaturrahmi merupakan hal-hal yang akan menjadikan seseorang memahami kebenaran risalah Nabi Muhammad SAW. Hal itu akan meningkatkan kualitas kesaksian dirinya terhadap Allah. Perjanjian dengan Allah (عَهْدِ اللَّهِ), perikatan (الْمِيثَاقَ) dan shilaturrahmi akan dikenali seseorang melalui pernikahan yang baik. Kadangkala seseorang memperoleh jodoh yang diciptakan dari nafs wahidah yang sama dengan dirinya, maka ia akan memperoleh media yang baik untuk memahami perjanjian Allah (عَهْدِ اللَّهِ), perikatan (الْمِيثَاقَ) dan bentuk shilaturrahmi yang harus dibinanya itu melalui jodohnya. Boleh jadi seseorang memperoleh petunjuk tentang jodoh, maka hal itu termasuk petunjuk yang besar karena terkait dengan setengah bagian agama dirinya.

Dalam beberapa hal, mengingkari atau menolak bentuk perjodohan demikian merupakan sikap kufur terhadap nikmat Allah yang dapat menjatuhkan seseorang ke neraka. Sebagian orang menolak perjodohan demikian karena keadaan nafs-nya kufur sebab pengaruh hawa nafsu yang belum mampu bersyukur terhadap nikmat Allah. Sebagian orang menolak karena belum mempunyai kemampuan menanggung perilaku dan tindakan pasangannya terhadap dirinya. Hal ini kadang menjadi penyebab yang lebih berat karena seseorang tidak menemukan kekurangan yang harus diperbaiki dalam dirinya, tetapi melihat kekurangan itu pada pihak lain. Dan banyak hal lain yang mungkin menyebabkan penolakan. Beberapa orang tidak mempunyai pengetahuan tentang hal itu, akan tetapi bila nafs-nya cukup baik maka pada akhirnya ia akan menerima petunjuk itu dengan rasa syukur.

Setiap orang harus bersyukur atau mencapai keadaan bersyukur. Bila kufur, ia harus mengubah dirinya dari sikap kufur menuju syukur. Mengubah sikap nafs dari kufur menuju syukur ini kadangkala membutuhkan upaya yang besar dan berat, terutama bila suatu dosa terjadi di antara dua pihak. Dosa itu akan membebani langkah. Semakin banyak dosa terjadi di antara dua pihak, semakin berat upaya yang harus dilakukan untuk mengubahnya. Dalam hal ini, syaitan akan berupaya agar terjadi banyak dosa antara satu pihak dengan pihak yang lain. Setiap orang harus berusaha menahan diri berbuat dosa terhadap yang lain.

Membina shilaturrahmi dalam hubungan yang sesuai dengan kehendak Allah akan terwujud dari sikap takut (khasyah) terhadap Allah dan takut (khauf) terhadap hisab yang buruk. Orang yang takut kepada Allah dan hisab yang buruk akan membina hubungan shilaturrahmi sesuai dengan kehendak Allah, sedangkan orang yang tidak mempunyai rasa takut kepada Allah dan terhadap hisab yang buruk akan membina hubungan tanpa dasar kehendak Allah, atau sebagian orang mungkin membina hubungan hanya untuk keuntungan saja. Pada dasarnya membina hubungan yang baik dengan setiap orang merupakan kebaikan, akan tetapi ada bentuk-bentuk hubungan dikehendaki Allah, dan ada yang sebenarnya terlahir lebih merupakan wujud representasi kepentingan diri seseorang daripada kepentingan membina washilah kepada Ar-rahim. Orang yang takut kepada Allah dan hisab yang buruk akan memperhatikan pembinaan washilah kepada Ar-rahim. Hanya dengan jalan membina hubungan sesuai dengan kehendak Allah inilah manusia akan memperoleh kedudukan sesuai jati dirinya.

Memperbaiki Shilaturrahmi

Perjanjian dengan Allah (عَهْدِ اللَّهِ), perikatan (الْمِيثَاقَ) dan shilaturrahmi merupakan puncak-puncak tolok ukur kebersamaan seseorang dengan Rasulullah SAW dalam Al-jamaah. Orang yang berhasil memahami dan menjalani ketiga hal itu menunjukkan tingkat kebersamaan dirinya dalam al-jamaah mengikuti langkah perjalanan Rasulullah SAW. Orang yang tidak peduli terhadap hal-hal tersebut menunjukkan ketidakpedulian terhadap keadaan dirinya terhadap al-jamaah.

Sebagian orang merasa peduli dengan tolok ukur perjalanannya mengikuti Rasulullah SAW akan tetapi mereka kemudian mendapat laknat Allah karena melakukan hal yang berkebalikan dengan millah Ibrahim a.s dan sunnah Rasulullah SAW. Mereka merusak perjanjian Allah setelah terjadi perikatan (الْمِيثَاقَ) baginya untuk menunaikan perjanjian itu, dan mereka memotong-motong apa yang diperintahkan Allah untuk menghubungkannya, dan melakukan kerusakan di muka bumi.

﴾۵۲﴿وَالَّذِينَ يَنقُضُونَ عَهْدَ اللَّهِ مِن بَعْدِ مِيثَاقِهِ وَيَقْطَعُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَن يُوصَلَ وَيُفْسِدُونَ فِي الْأَرْضِ أُولٰئِكَ لَهُمُ اللَّعْنَةُ وَلَهُمْ سُوءُ الدَّارِ
Dan orang-orang yang merusak janji Allah setelah perikatannya, dan memotong apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan mengadakan kerusakan di bumi, orang-orang itulah yang memperoleh laknat dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (Jahannam).(QS Ar-Ra’du : 25)

Sebagian orang beriman sampai pada keadaan mengenal perjanjian Allah bagi dirinya dan kemudian diberi perikatan untuk melaksanakan perjanjian Allah. Akan tetapi ia melakukan kerusakan dalam melaksanakan perjanjian Allah setelah perikatan terjadi karena kurang memahami kehendak Allah. Mereka itulah orang-orang yang merusak perjanjian Allah setelah perikatannya.

Hal ini terkait dengan kualitas akal dalam memahami kehendak Allah ketika perikatan itu terjadi. Perjanjian Allah, perikatan dan washilah terhadap Ar-rahim harus dipahami secara benar tidak dipahami dengan campuran hawa nafsu. Hawa nafsu pada dasarnya tetaplah menginginkan suatu kedudukan walaupun hal itu terjadi melalui pengetahuan tentang perjanjian Allah dan perikatan, sedangkan Allah menghendaki manusia mengenal kasih sayang dari sisi-Nya secara murni. Perjanjian Allah dan perikatan itu merupakan parameter puncak perjalanan yang membutuhkan akal yang baik. Bila akal tidak merasakan campuran hawa nafsu dalam pemahamannya, maka hawa nafsu itu akan merusak pelaksanaan perjanjian Allah. Mereka akan merusak perjanjian Allah setelah perikatannya.

Kerusakan ini akan tampak bersamaan dengan perbuatannya yang lain yang merupakan turunannya. Hubungan shilaturrahmi akan terpotong-potong karena perbuatannya, bahkan mungkin hingga terjadi kerusakan fondasi bagi manusia dalam membangun bayt. Pembinaan pernikahan mewujudkan bayt untuk mendzikirkan dan meninggikan asma Allah merupakan bentuk pembinaan shilaturrahmi paling esensial. Bila millah Ibrahim a.s membangun bayt telah dirusak, maka perjalanan manusia dalam mengenal perjanjian dengan Allah (عَهْدِ اللَّهِ) dan perikatan (الْمِيثَاقَ) akan menjadi kacau balau. Manusia akan kehilangan jalan untuk memahami kehendak Allah dengan benar sekalipun bila terminologi-terminologi terkait hal itu menjadi kajian sehari-hari.

Terpotong-potongnya shilaturrahmi dalam kasus demikian dapat terjadi secara umum tidak hanya mengenai pribadi perseorangan. Orang-orang yang benar dalam mengikuti millah Ibrahim a.s membina bayt mungkin saja ikut terpotong-potong pula hubungan al-arhamnya karena kesalahan yang demikian. Tidak hanya shilaturrahmi yang terpotong, bisa jadi suatu pernikahan akan berkurang fungsi shilaturrahminya secara sosial dengan cara tertentu karena sunnah yang dilakukan secara berbeda dengan sunnah Rasulullah SAW. Karena hal ini, akan terjadi kerusakan di muka bumi. Setiap orang harus berusaha mengikuti millah Ibrahim a.s dan sunnah Rasulullah SAW sepenuhnyab agar millah dan sunnah itu berfungsi secara sempurna, tidak melakukan dengan cara tersendiri.

Setiap manusia pada dasarnya mendapat perintah Allah untuk membina bentuk-bentuk hubungan tertentu sebagai kehendak-Nya, yang akan diketahui bila ia tidak sepenuhnya memperturutkan hawa nafsu. Perjodohan dan pernikahan merupakan bentuk pokok hubungan yang diperintahkan Allah. Beberapa orang memperoleh petunjuk tentang jodoh secara haq dan berpasangan, maka itu termasuk dalam hubungan yang diperintahkan Allah untuk dihubungkan. Demikian pula pernikahan merupakan bentuk hubungan yang diperintahkan Allah. Banyak bentuk hubungan lain antar manusia yang merupakan hubungan yang diperintahkan Allah, dan pernikahan akan mengawali pertumbuhan bentuk hubungan lain tersebut.

Terpotongnya hubungan yang diperintahkan Allah akan mendatangkan laknat Allah. Merusak pernikahan orang lain merupakan contoh bentuk perbuatan merusak hubungan yang diperintahkan Allah untuk disambungkan. Memisahkan pasangan yang memperoleh petunjuk perjodohan secara haq tanpa melanggar syariat merupakan bentuk perbuatan merusak hubungan yang diperintahkan Allah. Perbuatan demikian dapat mendatangkan laknat Allah yang membuat seseorang celaka dan mendapatkan kehidupan akhirat yang buruk.

Setiap orang harus berusaha kembali bertaubat dengan arah yang benar mengikuti millah Ibrahim a.s dan sunnah Rasulullah SAW. Sangat penting mengembalikan hubungan-hubungan yang harus terbina sesuai dengan kehendak Allah manakala hubungan itu dirusak. Membiarkan kerusakan atau melanjutkan tindakan merusak hubungan yang harus terbina sesuai dengan kehendak Allah merupakan tindakan mengikuti syaitan yang akan mendatangkan laknat. Shilaturrahmi termasuk dalam puncak tolok ukur perjalanan mengikuti millah Ibrahim a.s yang harus diperhatikan lebih daripada yang lain, termasuk daripada amal-amal yang harus dilakukan. Baiknya shilaturrahmi akan akan memberikan bobot sangat besar terhadap amal shalih seseorang karena pemahaman terhadap kehendak Allah yang terkandung dalam shilaturrahmi. Sebaliknya rusaknya shilaturrahmi akan menghilangkan bobot amal shalih yang dilakukan karena rusaknya pemahaman terhadap kehendak Allah.

Setiap orang harus berupaya membina shilaturrahmi, karena shilaturrahmi akan terbangun bila setiap pihak berupaya dan menyambut dengan cara pandang yang sama. Seseorang mungkin saja berkeinginan membina hubungan sesuai perintah Allah akan tetapi bila sahabatnya tidak menyambut atau mempunyai waham berbeda, maka tidak terbentuk silaturrahmi secara horizontal. Setiap manusia akan berhadapan dengan hawa nafsu dan syaitan yang akan menghalanginya membina hubungan sesuai dengan kehendak Allah. Memperturutkan hawa nafsu akan menghalangi terbentuknya shilaturrahmi, dan syaitan akan menghembus-hembus hawa nafsu untuk mencegah terbinanya hubungan yang sesuai dengan kehendak Allah. Orang-orang yang mendorong atau memfasilitasi orang lain untuk memperturutkan hawa nafsu mencegah terjadinya bentuk-bentuk hubungan sesuai kehendak Allah sebenarnya telah membantu syaitan. Mereka termasuk dalam golongan orang-orang yang memotong-motong shilaturrahmi yang dikehendaki Allah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar