Pencarian

Kamis, 24 November 2022

Taat Pada Ketetapan Rasulullah SAW

Allah mengutus Rasulullah SAW sebagai rahmat bagi semesta Alam. Dengan risalah beliau SAW, manusia memperoleh jalan untuk mengenal Allah dengan benar. Hal dapat diperoleh manusia dengan menumbuhkan nafs dalam dirinya hingga tumbuh menjadi pohon thayyibah yang memberikan buah dirinya bagi masyarakat, yaitu buah yang berasal dari khazanah yang tersimpan dalam diri. Pertumbuhan pohon thayyibah dalam diri setiap insan akan dapat terjadi dengan baik dan benar bila mereka selalu mengambil hikmah dari apa yang dibawa oleh Rasulullah SAW dan selalu berhakim kepada beliau SAW.

Tanpa hal itu, pohon diri manusia tidak akan tumbuh untuk memberikan buah. Pada hakikatnya seseorang tidaklah memperoleh cahaya iman yang menumbuhkan nafs mereka tanpa mencari hikmah yang diturunkan melalui Rasulullah SAW. Ibarat benih yang tidak memperoleh cahaya matahari tidak akan tumbuh menjadi pohon yang baik, demikian pula nafs seseorang tidak akan tumbuh menjadi pohon thayyibah tanpa mencari hikmah melalui Rasulullah SAW. Beliau SAW adalah sumber pertumbuhan nafs manusia untuk menjadi pohon thayyibah yang dapat memberikan buah bagi masyarakat mereka.

Perselisihan Orang Beriman

Pertumbuhan nafs seseorang menuju terbentuknya pohon thayyibah akan memberikan sumbangsih dan warna bagi masyarakat mereka. Masyarakat akan memperoleh manfaat dari pertumbuhan nafs dalam diri seseorang. Pertumbuhan nafs seseorang akan disertai dengan terbentuknya suatu jalinan kasih sayang yang dibentuk orang tersebut menurut kehendak Allah, dan hal itu akan membentuk bagian jalinan kasih sayang di antara masyarakat bilamana jalinan itu tidak diputus-putuskan. Dan sebaliknya jalinan kasih sayang itu akan mempengaruhi pertumbuhan pohon thayyibahnya.

Akan tetapi seringkali terjadi suatu perselisihan manakala tumbuh suatu jalinan kasih sayang di antara masyarakat. Tidak semua pohon thayyibah di antara orang beriman tumbuh sesuai dengan kehendak Allah. Sebagian di antara orang-orang beriman tumbuh lurus sesuai dengan tuntunan Allah, sebagian terjebak mengikuti hawa nafsu dan sebagian mengikuti syaitan. Perbedaan yang ada tersebut menyebabkan terjadinya perselisihan walaupun mereka orang-orang beriman. Perbedaan demikian seringkali tidak bisa mencapai titik temu karena setiap kelompok mengikuti keyakinan masing-masing. Hal ini hendaknya diperhatikan oleh setiap pihak yang berselisih, bahwa mungkin saja ada selisih pertumbuhan dirinya terhadap apa yang dikehendaki Allah. Keyakinan sebagai pihak yang benar harus diukur berdasarkan firman Allah dan sunnah Rasulullah SAW, tidak hanya mengikuti keyakinan diri masing-masing.

Orang-orang yang merasa beriman akan tetapi mengabaikan firman Allah dan sunnah Rasulullah SAW untuk menghukumi pertumbuhan yang terjadi pada diri mereka dan jamaah mereka pada dasarnya tidaklah beriman. Keyakinan kebenaran apapun yang mereka ikuti tidaklah dapat dijadikan landasan manakala tidak mempunyai dasar sama sekali, berselisih atau bertentangan dengan firman Allah dan sunnah Rasulullah SAW. Sebagian orang berpegang pada logika mereka dalam membangun keyakinan, sebagian mengikuti hawa nafsu yang tumbuh kecerdasannya, dan sebagian orang mengikuti tipuan syaitan.

﴾۵۶﴿فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Maka demi Tuhanmu, mereka itu (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap hal-hal yang tumbuh berkembang di antara mereka kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka mengupayakan keselamatan dengan sepenuhnya. (QS An-Nisaa’ : 65)

Ayat di atas bercerita tentang keadaan kelompok yang merasa diri mereka beriman dan menumbuhkan diri mereka berdasarkan keimanan mereka. Bahasan ayat ini tidak mencakup orang-orang yang tidak berusaha tumbuh menurut suatu keimanan. Dalam pertumbuhannya, seringkali terjadi perselisihan antara satu manusia dengan manusia lain atau suatu komunitas (jamaah) dengan komunitas yang lain. Perselisihan dalam ayat ini tidak menunjuk pada perselisihan dalam masalah umum, tetapi perselisihan terkait dengan pertumbuhan yang ada pada mereka (فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ). Perselisihan demikian merupakan bahan ujian bagi setiap pihak yang berselisih tentang keimanan yang mereka katakan. Orang-orang yang tidak menjadikan firman Allah dan sunnah Rasulullah SAW sebagai hakim tidaklah dapat dikatakan sebagai orang yang beriman, apapun keyakinan yang mereka ikuti.

Sebagian orang-orang yang merasa beriman berbuat banyak hal dengan mengharapkan kebaikan (ihsan) dan berharap taufik, tetapi mereka berbuat hanya dengan apa-apa yang mereka pikir sendiri sebagai kebaikan tanpa mencari kebaikan dan taufik pada firman Allah dan sunnah Rasulullah SAW, maka hal itu belum dimasukkan dalam kategori keimanan. Barangkali suatu saat mereka akan ditimpa suatu mushibah, maka mereka akan menyadari bahwa mereka tidaklah mengikuti firman Allah dan sunnah Rasulullah SAW. Hanya saja suatu mushibah yang menimpa barangkali akan membuat kerugian yang sangat banyak dibandingkan apabila mereka berusaha menemukan kebaikan dan taufik dengan mengikuti firman Allah dan sunnah Rasulullah SAW.

Orang yang mengandalkan logika dengan benar untuk memahami termasuk sebagai golongan orang yang berpikir, akan tetapi perjalanan menuju Allah tidak dapat mengandalkan pemikiran saja sepenuhnya. Banyak hal harus dibangun bersama dengan konstruk pemikiran manusia. Sebagian orang yang menggunakan pikiran mereka hanya menumbuhkan hawa nafsu hingga menjadikan diri mereka sebagai orang yang besar tanpa mengingat kebaikan Allah yang tersimpan dalam dirinya yang harus disumbangkan kepada masyarakat. Kadangkala ilmu mereka benar tetapi disertai dorongan hawa nafsu, dan kadangkala ilmu mereka terlahir dari hawa nafsu yang tumbuh cerdas namun tetap dalam kebodohan dari kehendak Allah. Orang yang mengikuti tipuan syaitan akan menjadi masalah tersendiri, karena walaupun mereka ingin mengikuti kebenaran, tetapi kebenaran yang mereka ikuti bercampur-campur dengan selipan syaitan yang membahayakan. Kebenaran itu dahulu diikuti syaitan dari alam yang tinggi tetapi diselipkan di antaranya sesuatu yang salah. Hal itu akan sangat sulit dilihat oleh manusia karena mereka hidup di alam yang rendah.

Dengan keadaan demikian, dapat dilihat bahwa orang-orang yang mengatakan dirinya beriman pada hakikatnya tidaklah beriman hingga mereka menjadikan firman Allah dan sunnah Rasulullah SAW sebagai hakim bagi mereka. Segala sesuatu yang tumbuh dalam diri seseorang dan yang tumbuh dalam masyarakat yang mengatakan diri mereka beriman hanya mungkin dikatakan benar bila mereka mempunyai dasar pertumbuhan mereka dari firman Allah dan sunnah Rasulullah SAW.

Ketaatan, Berat Hati dan Berupaya

Yang dikatakan sebagai orang beriman hanyalah orang yang menerima apa yang ditetapkan Rasulullah SAW tanpa suatu keberatan dalam hati mereka, dan mereka kemudian berbuat selaras sesuai dengan ketetapan Rasulullah SAW dengan sungguh-sungguh mengerjakan apa yang dapat mereka berikan bagi ketetapan itu. Hal ini seringkali bukan hal yang mudah, karena kecenderungan manusia untuk bertindak dengan pikirannya sendiri. Kesungguh-sungguhan dalam berbuat sesuai perintah Rasulullah SAW hanya dapat diperoleh bila seseorang mengerti dengan benar apa yang menjadi urusan Rasulullah SAW bagi mereka dalam ruang dan jamannya. Orang yang tidak mempunyai pemahaman sedikitpun urusan Rasulullah SAW akan mempunyai kecenderungan untuk berbuat apa yang ada dalam pikirannya. Semakin mengerti seseorang terhadap urusan Rasulullah SAW, semakin mudah ia berbuat selaras dengan ketetapan Rasulullah SAW bagi mereka.

Misalnya dalam urusan kebangkitan islam, muslimin mungkin akan terbangkitkan hasratnya untuk membuat kajian intensif keislaman dan/atau mengupayakan terobosan-terobosan pemakmuran bumi. Hal ini merupakan implikasi yang lumrah sesuai pikiran muslimin dan manusia pada umumnya. Akan tetapi Rasulullah SAW melihat hal ini dengan cara yang berbeda karena beliau SAW melihat keseluruhan sisi masalah, dan memberikan suatu ketetapan bagi manusia yang tidak sesuai dengan pikiran muslimin umumnya. Rasulullah SAW bersabda : 'Perumpamaanku dan perumpamaan apa-apa yang Allah utus aku dengannya, adalah seperti seorang yang mendatangi suatu kaum, lalu ia berkata : Wahai kaumku sesungguhnya aku melihat pasukan musuh dengan mata kepalaku, dan sesungguhnya aku mengecam yang nyata, maka marilah menuju kepada keselamatan.

Di antara orang-orang beriman, sangat mungkin ada orang yang tumbuh dengan cara sedemikian hingga ia mengetahui hal yang disampaikan Rasulullah SAW dan memperjuangkannya dengan cara demikian atas kehendaknya sendiri pada awalnya. Ia melihat bahaya dari musuh yang akan menghancurkan menusia, ia mengecam apa yang diperbuat orang-orang lainnya dan ia menyeru umat manusia untuk menuju keselamatan. Apabila ada seseorang menyeru untuk menuju keselamatan sedangkan ia dapat menunjukkan musuh umat manusia dengan jelas, dan ia mengecam sesuatu yang nyata baginya, maka sangat mungkin ia adalah orang yang dijadikan Rasulullah SAW sebagai misal bagi diri Beliau SAW. Dalam ketetapan Rasulullah SAW, lebih penting bagi umat manusia untuk mencari keselamatan sebelum mereka memakmurkan bumi.

Kecaman itu sangat mungkin menimbulkan perselisihan, maka itu adalah contoh perselisihan karena sesuatu yang tumbuh di antara umat Rasulullah SAW ketika menumbuhkan diri mereka dalam keimanan (فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ). Barangkali kejadian demikian bisa menggambarkan keadaan dimana orang-orang yang merasa beriman merasa berat untuk mengikuti. Tentu sulit untuk menerima bahwa apa yang ada pada diri mereka dikecam oleh seseorang, sedangkan mereka memandang diri mereka bersungguh-sungguh mengupayakan suatu kebaikan (ihsan) dan taufik. Di sisi lain lain hendaknya dipahami bahwa dari sisi pengecamnya, tampak nyata baginya bahwa apa yang mereka usahakan hanya akan sia-sia sedangkan mereka tidak mengupayakan apa yang perlu dipersiapkan orang-orang beriman sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW.

Dalam perselisihan semacam ini, orang-orang yang merasa beriman hanya dapat dikatakan beriman apabila mereka menerima ketetapan Rasulullah SAW tanpa ada suatu keberatan dalam hatinya, bahwa beliau SAW menjadikan orang yang mengecam itu adalah misal bagi beliau SAW. Dalam prakteknya, hal itu akan disertai banyak hal lain yang membuat orang-orang yang merasa beriman semakin sulit menerima ketetapan Rasulullah SAW tersebut. Ketaatan mereka akan benar-benar diuji. Akan lebih mudah bila mereka menyadari bahwa ada sesuatu dalam pemahaman mereka yang telah menyelisihi tuntunan dalam urusan Rasulullah SAW, akan tetapi sadar atau tidak sadar itu adalah ketetapan Rasulullah SAW yang harus diterima.

Untuk dikatakan sebagai orang beriman, mereka tidak hanya harus menerima ketetapan Rasulullah SAW, tetapi harus pula berbuat sungguh-sungguh untuk mempersiapkan apa yang perlu dipersiapkan sesuai dengan apa yang diketahuinya untuk menuju keselamatan. Ketiganya merupakan satu paket yang menentukan keimanan, yaitu taat, tidak merasa berat hati, dan melakukan upaya menuju keselamatan. Menerima ketetapan Rasulullah SAW tanpa melakukan upaya keselamatan membuat ketaatannya tidak sempurna, dan mengupayakan keselamatan tanpa menerima ketetapan Rasulullah SAW akan menjadikan upayanya tanpa arah. Keadaan demikian akan dapat dilakukan bila setiap orang beriman berusaha bersungguh-sungguh untuk memahami dengan benar urusan Rasulullah SAW untuk ruang dan jaman mereka. Memahami hanya kilas bayangan urusan Rasulullah SAW akan menjadikan seseorang merasa faham tanpa memahami, dan tidak bisa memberikan upaya mereka selaras dengan ketetapan Rasulullah SAW.

Orang-orang yang mentaati Rasulullah SAW berarti telah mentaati Allah. Ketetapan itu sebenarnya akan menjaga keselamatan mereka. Segala sesuatu yang ditetapkan oleh Rasulullah SAW berasal dari Allah yang mengetahui segenap makar yang mungkin dibuat oleh segenap makhluknya bagi yang lain, dan dengan ketaatan itu seseorang dapat menemukan jalan untuk menghindari makar yang dilakukan. Tanpa ketaatan demikian, sangat banyak makhluk jahat yang mempunyai kecerdasan, kepandaian, dan kelihaian di atas kemampuan manusia secara keseluruhan, dan mereka sangat siap untuk menipu termasuk dengan kebenaran-kebenaran yang bercampur dengan selipan dusta.

﴾۰۸﴿مَّن يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَن تَوَلَّىٰ فَمَا أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا
Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (mengikuti yang lain), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka. (QS An-Nisaa’ : 80)

Orang-orang yang tidak mentaati Rasulullah SAW hanya mengikuti ketetapan mereka sendiri atau orang yang mereka pilih sendiri, maka mereka itu menjadi tanggungan diri mereka sendiri dan tanggungan bagi orang yang mereka pilih. Rasulullah SAW dan orang-orang yang bersama beliau SAW tidak mempunyai tanggungan untuk menjaga diri mereka. Mereka sendiri yang harus menjaga keselamatan diri mereka sendiri, dan hal itu tidak akan dapat dilakukan, pasti akan celaka. Barangkali manusia dapat mempersiapkan diri dengan beberapa hal yang mereka ketahui, akan tetapi sangat banyak hal yang di luar pengetahuan mereka.

Ketaatan kepada Allah hanya terjadi bila suatu umat taat kepada Rasulullah SAW. Tidak ada ketaatan kepada Allah dengan menyelisihi Rasulullah SAW. Iblis telah manjadi kafir manakala mereka tidak mau bersujud kepada Adam sebagai manifestasi khalifatullah pada saat itu, sedangkan khalifatullah hanya pengikut Rasulullah SAW. Maka demikian pula manusia tidak dapat dikatakan taat kepada Allah dengan melakukan hal yang bertentangan dengan ketetapan Rasulullah SAW. Ketaatan kepada Rasululullah SAW adalah ketaatan kepada Allah, dan durhaka kepada Rasulullah SAW adalah durhaka kepada Allah. Dalam derajat yang lebih rendah, durhaka pada imam merupakan kedurhakaan kepada Allah dengan batas-batas tertentu.

Kualitas Ketaatan

Ketaatan yang harus dilakukan orang-orang beriman tidaklah berarti menutup akal diri mereka, tetapi akal mereka harus dibina agar sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasulullah SAW. Setiap orang yang beriman harus mengupayakan suatu ketaatan dalam bentuk ketaatan di atas pengetahuan tentang kehendak Allah, yang disebut sebagai ketaatan yang ma’ruf. Dengan ketaatan dalam kategori demikian, maka seseorang melakukan ketaatan dalam derajat ketaatan yang sesungguhnya. Dimulai dengan mengalahkan pendapatnya sendiri terhadap tuntunan Allah dan Rasulullah SAW, setiap orang harus membina akalnya agar dapat memahami apa yang sebenarnya menjadi kehendak Allah dalam semua tuntunan yang diikuti, maka ia akan berjalan menuju ketaatan yang ma’ruf.

﴾۳۵﴿ وَأَقْسَمُوا بِاللَّهِ جَهْدَ أَيْمَانِهِمْ لَئِنْ أَمَرْتَهُمْ لَيَخْرُجُنَّ قُل لَّا تُقْسِمُوا طَاعَةٌ مَّعْرُوفَةٌ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
Dan mereka bersumpah dengan nama Allah sekuat-kuat sumpah, jika kamu suruh mereka berperang, pastilah mereka akan pergi. Katakanlah: "Janganlah kamu bersumpah, (karena ketaatan yang diminta ialah) ketaatan yang ma’ruf. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS An-Nuur : 53)

Ketaatan demikian terjadi pada tingkatan inti diri seorang manusia berupa nafs, tidak terjadi pada lapis-lapis palsu yang ada dalam diri seseorang berupa hawa nafsu. Kadang-kadang semangat yang muncul pada lapis-lapis palsu dalam diri manusia menghalangi seseorang untuk mengetahui ghirah yang ada pada tingkatan nafs. Demikian pula dalam semangat ketaatan, ketaatan yang berasal dari hawa nafsu kadangkala menghalangi seseorang untuk mengetahui makna ketaatan yang sesungguhnya berupa ketaatan yang ma’ruf.

Rasulullah SAW diperintahkan untuk menyampaikan kepada umatnya agar tidak memperturutkan semangat ketaatan yang berasal dari hawa nafsu, tetapi hendaknya mereka mengubah ketaatan mereka menjadi ketaatan yang ma’ruf. Manakala umat islam mengucapkan sumpah-sumpah bagi Rasulullah SAW untuk pergi berjihad, hendaknya mereka tidak memperturutkan semangat itu dan hendaknya mereka memperhatikan terbentuknya ketaatan yang ma’ruf dalam diri mereka. Umat islam tidak boleh kehilangan semangat ketaatan, akan tetapi hendaknya mereka mengubah bentuk ketaatan mereka hingga menjadi ketaatan yang ma’ruf.

Umat Rasulullah SAW hendaknya tidak mengandalkan ketaatan dalam bentuk sumpah-sumpah dan tidak serta-merta membenarkan ketaatan seseorang berdasarkan cerita-cerita iktikadnya dalam menempuh agama. Ketaatan demikian merupakan bentuk ketaatan dalam tingkatan hawa nafsu, sedangkan yang dikehendaki Allah adalah ketaatan berdasarkan pengetahuan (ma’rifah). Ketaatan seseorang yang sebenarnya harus diukur dari kejelasan upayanya menunjukkan kehendak Allah ketika mengajak pada ketaatan. Demikian pula ukuran ketaatan diri sendiri hendaknya diukur berdasar pengetahuannya akan kehendak Allah.

Hal yang dilarang adalah melakukan taat tanpa mempunyai dasar pengetahuan kebaikan dan tidak membina bangunan pengetahuan terhadap kehendak Allah. Ketaatan yang dilakukan hanya berdasarkan semangat hawa nafsu termasuk yang tidak diperbolehkan. Semangat ini dapat diketahui manakala mereka tidak dapat membedakan apakah keinginan dalam hatinya untuk bertindak akan melahirkan perbuatan kebaikan atau kerusakan. Hal yang dilarang ini termasuk keadaan kosong sama sekali dari pengetahuan hati tentang kebaikan yang menjadi kehendak Allah. Setiap orang harus berusaha melakukan ketaatan yang ma’ruf, walaupun mungkin harus dimulai dalam derajat yang rendah.

Ketaatan yang ma’ruf adalah ketaatan berdasarkan pengetahuan tentang kehendak Allah. Pengetahuan ini tidak akan diperoleh seseorang tanpa membaca ayat-ayat Allah dan menghayatinya dengan landasan jiwa yang bersih dan benar. Tujuan membaca ayat Allah adalah menanamkan nilai ma’rifah, akan tetapi ayat Allah bisa menumbuhkan kekuatan hawa nafsu seseorang manakala mereka tidak berusaha melakukan pensucian jiwa (tazkiyatun-nafs). Sikap nafs dalam membaca ayat Allah juga harus benar, yaitu menjadikan firman Allah sebagai imam yang memandu langkah memahami, tidak menjadikan firman Allah sebagai pembenaran bagi pendapat-pendapat dirinya.

Barangkali seseorang menemukan ayat-ayat yang bersesuaian dengan pemikiran yang ada pada dirinya, maka belum tentu hal itu berarti menjadikan firman Allah sebagai pembenar pendapatnya. Ketaatan yang ma’ruf terjadi dengan cara seperti fenomena demikian, yaitu terjadi keselarasan antara pemahaman dalam diri, pengamatan terhadap peristiwa pada semesta mereka, dan firman Allah dan sunnah Rasulullah SAW. Akan tetapi tetap harus berhati-hati, boleh jadi keselarasan demikian tidak selalu menunjukkan adanya ma’rifat dalam diri seseorang. Manakala ada firman Allah yang berselisih dengan pemahamannya, maka seseorang harus berusaha mengubah pemahaman dirinya untuk mengikuti firman Allah. Selisih itu bisa menjadi petunjuk apakah sikapnya terhadap firman Allah telah benar atau perlu dikoreksi kembali.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar