Pencarian

Minggu, 20 November 2022

Jalan Menuju Shirat Al-Mustaqim

Allah mengutus Rasulullah SAW sebagai rahmat bagi semesta Alam. Dengan risalah beliau SAW, manusia memperoleh jalan untuk mengenal Allah dengan benar. Manusia dapat kembali kepada Allah dengan menempuh jalan mengikuti Rasulullah SAW, dan manakala seseorang bisa mengenal beliau SAW dengan musyahadah yang sebenarnya, maka seseorang akan memperoleh rahmat Allah dan mengalirkan rahmat itu bagi semesta mereka bersama-sama dengan mukminin lain dalam sebuah al-jamaah.

Menempuh jalan mengikuti Rasulullah SAW harus dilakukan dengan membaca ayat-ayat yang diturunkan Allah yang menjelaskan segala sesuatu kepada umat manusia. Tanpa berusaha memahami ayat-ayat Allah yang menjelaskan sesuatu bagi umat manusia maka seseorang tidak bisa dikatakan berjalan mengikuti sunnah Rasulullah SAW, sekalipun mereka banyak melakukan amal-amal syariat yang dicontohkan. Sebagian golongan di antara manusia melakukan banyak syariat Allah tanpa berusaha bahkan menolak menggunakan akalnya untuk memahami tuntunan Allah, maka mereka tidaklah termasuk mengikuti sunnah Rasulullah SAW sebagaimana yang mereka katakan. Allah akan menunjukkan shirat al-mustaqim bagi seseorang yang dikehendaki-Nya bila orang tersebut berusaha memahami ayat-ayat Allah yang menjelaskan. Shirat al-mustaqim adalah jalan kehidupan yang ditempuh seorang mukmin bersama-sama dengan Rasulullah SAW.

Shirat al-mustaqim akan ditunjukkan Allah kepada seseorang di antara mereka yang berusaha memahami ayat-ayat Allah agar mereka mengikuti Rasulullah SAW dengan sungguh-sungguh. Ayat-ayat Allah dan shirat al-mustaqim yang ditunjukkan kepada seseorang bertujuan agar orang tersebut menjadi bagian dari kebenaran sebagai penolong Allah dan Rasulullah SAW, tidak boleh digunakan untuk menunjukkan diri kepada orang lain dengan kepandaian, pengetahuan atau kedudukan dan lain-lain yang bersifat mengikuti hawa nafsu. Setiap orang hendaknya lebih berkeinginan untuk menjadi bagian dari penolong Rasulullah SAW. Hal ini dapat dilakukan bila seseorang mengenal kebenaran, tidak hidup dalam kepalsuan ragawi, kepalsuan alam langit. Ataupun tipuan syaitan.

Iman, Ketaatan dan Tidak Berpaling

Sebagian orang berpaling setelah mereka memahami ayat-ayat Allah dan ditunjukkan shirat al-mustaqim kepada mereka. Sebagian orang berpaling setelah mereka beriman dan berusaha mentaati Allah dan Rasulullah SAW. Mereka mengatakan bahwa mereka telah beriman kepada Allah dan Rasulullah SAW dan mereka telah berusaha mentaati Allah dan Rasulullah SAW, akan tetapi kemudian dalam amalnya tidak berbuat demikian. Mereka berpaling dari ketaatan kepada Allah dan Rasulullah SAW memperturutkan diri mereka sendiri dengan berbekal pengetahuan mereka sendiri tentang ayat-ayat Allah dan shirat al-mustaqim.

﴾۷۴﴿وَيَقُولُونَ آمَنَّا بِاللَّهِ وَبِالرَّسُولِ وَأَطَعْنَا ثُمَّ يَتَوَلَّىٰ فَرِيقٌ مِّنْهُم مِّن بَعْدِ ذٰلِكَ وَمَا أُولٰئِكَ بِالْمُؤْمِنِينَ
Dan mereka berkata: "Kami telah beriman kepada Allah dan rasul, dan kami mentaati (keduanya)". Kemudian sebagian dari mereka berpaling sesudah itu, sekali-kali mereka itu tidaklah bersama orang-orang yang beriman. (QS An-Nuur : 47)

Berpaling dari ketaatan kepada Allah dan Rasulullah SAW untuk mengikuti pengetahuan yang diperoleh dirinya akan menjadikan seseorang terlepas dari al-jamaah. Pada dasarnya mereka tidaklah bersama dengan orang-orang yang beriman. Orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang berusaha membina ketaatan kepada Allah dan Rasulullah SAW. Sebagian orang beriman berhasil menempuh jalan ketaatan dan sebagian orang beriman tidak berhasil akan tetapi mengetahui bahwa mereka telah melakukan ketidaktaatan kepada Allah dan Rasulullah SAW sehingga timbul keinginan untuk menuju ketaatan. Sebagian orang melakukan ketidaktaatan tetapi tidak mengetahui ketidaktaatan yang dilakukannya karena mereka telah berpaling dari ketaatan itu. Manakala seseorang berpaling dari ketaatan kepada Allah dan Rasulullah SAW, maka mereka telah terlepas dari keberjamaahan bersama orang-orang beriman.

Ketaatan kepada Allah dan Rasulullah SAW harus dilakukan dengan melihat sungguh-sungguh tuntunan firman Allah dan sunnah Rasulullah SAW, tidak menurunkan kewalian tanpa berusaha memperoleh landasan firman Allah dan sunnah Rasulullah SAW. Makna kata يَتَوَلَّىٰ menunjuk pada arti berpaling karena mengambil wali yang lain, yaitu mengambil wali yang dianggap sebanding dengan firman Allah dan sunnah Rasulullah SAW. Mereka mengambil wali hingga bisa berpaling dari firman Allah dan sunnah Rasulullah SAW kepada wali yang mereka pilih. Ini adalah langkah yang buruk.

Bila seseorang mengambil wali untuk memahami firman Allah dan sunnah Rasulullah SAW sedangkan ia berpegang sungguh-sungguh pada firman Allah dan sunnah Rasulullah SAW, maka itu tidak termasuk dalam cakupan يَتَوَلَّىٰ pada ayat di atas. Justru kewalian dalam batasan ini sebenarnya sangat penting untuk dilakukan agar seseorang bisa mendekat pada seruan Rasulullah SAW. Akan tetapi bila ia tidak berpegang pada firman Allah dan sunnah Rasulullah SAW, maka sangat mungkin ia terjatuh termasuk orang yang berpaling kepada wali yang dipilihnya.

Hal mendasar yang menjadi perhatian dalam ayat tersebut adalah mengambil perwalian secara salah. Ketaatan terhadap hukum Allah dan sunnah Rasulullah SAW merupakan langkah lanjutan setelah benar cara mengambil hukum. Bila seseorang mengambil kewalian dengan cara yang salah, mereka salah secara mendasar yang akan menyeret pada kedurhakaan tidak memperhatikan firman Allah dan sunnah Rasulullah SAW. Seorang beriman harus berusaha taat kepada Allah dan sunnah Rasulullah SAW, tidak menggantikan dengan ketaatan pada yang lain. Kadangkala mereka melakukan kesalahan yang menyalahi perintah Allah, hanya saja orang beriman akan mengetahui atau segera mengetahui ketidaktaatan mereka kepada Allah dan bersegera kembali kepada perintah Allah dan sunnah Rasulullah SAW karena mereka menjadikan firman Allah dan sunnah Rasulullah SAW sebagai imam tidak mengangkat wali yang disetarakan.

Kadangkala hanya ada perbedaan yang sangat tipis antara ketaaatan kepada Allah dan Rasulullah SAW dibandingkan dengan ketaatan kepada diri sendiri atau kelompok sendiri. Keberpalingan dari ketaatan kepada pengetahuan diri pada sebagian orang yang merasa beriman kadangkala terjadi tanpa disadari. Mereka mengira bahwa kejelasan-kejelasan yang timbul dalam dirinya seluruhnya merupakan kebenaran dari Allah tanpa memperhatikan kembali firman Allah dan sunnah Rasulullah SAW. Hal demikian kadangkala terjadi sedemikian hingga seseorang tidak mengetahui bahwa pengetahuannya telah bertentangan dengan firman Allah dan sunnah Rasulullah, sedangkan mereka mengira mentaati Allah dan Rasulullah SAW. Manakala seseorang lebih memperturutkan kebenaran dirinya daripada firman Allah dan sunnah Rasulullah SAW, mereka telah berpaling dari ketaatan kepada Allah dan Rasulullah SAW.

Ciri berpalingnya seseorang dari ketaatan kepada Allah dan Rasulullah SAW adalah berbaliknya sikap mereka ketika diseru untuk mengikuti tuntunan firman Allah dan sunnah Rasulullah SAW. Sikap berpaling itu tidak ditunjukkan dalam seluruh perbuatan mereka ketika diseru. Mereka mengikuti dan bersepakat dengan seruan manakala firman Allah dan sunnah Rasulullah SAW bersesuaian dengan keadaan mereka. Apabila firman Allah dan sunnah Rasulullah SAW tidak sejalan dengan keadaan mereka, maka mereka berbalik pada pendapat mereka sendiri meninggalkan firman Allah dan sunnah Rasulullah SAW. Ketaatan demikian tidaklah menunjukkan ketaatan, dan keadaan mereka yang sebenarnya adalah berbalik dari ketaatan kepada Allah dan Rasulullah SAW. Mereka tidak menjadikan firman Allah dan sunnah Rasulullah SAW sebagai imam, tetapi mereka mengambil wali dengan keinginan sendiri tanpa mempunyai dasar petunjuk.

Terlepasnya seseorang dari al-jamaah dalam kasus demikian lebih menunjuk pada kualitas intrinsik yang tidak serupa dengan mukminin yang lain daripada bentuk fisik yang dilakukan. Hal ini ditunjukkan dengan penggunaan huruf “بِا" untuk arti “bersama-sama”. Kadangkala terjadi penolakan pengakuan seorang al-mukmin terhadap orang lain karena perbedaan kualitas intrinsik yang tidak dapat dilihat orang lain kecuali setelah masa yang panjang, sedangkan bentuk luar mereka tampak serupa. Seringkali orang umum tidak bisa mengetahui atau melihat perbedaan di antara dua mukmin yang berselisih, di mana satu pihak tidak mau mengakui kebersamaan dengan yang lain.

Apa yang dilakukan al-mukmin tersebut dalam hal ini bukanlah kesombongan terhadap orang lain, akan tetapi karena pengetahuan terhadap sikap Allah yang tidak mengakui, maka ia sebagai hamba bersikap pula dengan sikap yang sama. Sebagian orang mukmin tetap bergaul bersama bersama orang-orang demikian karena berharap suatu saat dapat berjalan bersama mengikuti Rasulullah SAW. Hal ini boleh dilakukan dengan mengikuti kaidah perintah Rasulullah SAW untuk tetap dalam jamaah, sedangkan apapun hasilnya harus diterima, dua lebih baik dari satu, tiga lebih baik dari dua dan empat lebih baik dari tiga. Seorang mukmin dapat memilih salah satu dari beberapa jalan yang diperbolehkan bagi mereka.

Perbuatan yang dilakukan seseorang dengan cara mengambil wali demikian tidak dapat dipandang ringan. Seseorang yang mengambil wali dan tidak mengambil hukum Allah dan Rasulullah SAW akan mudah dimanfaatkan menjadi jalan syaitan untuk merusak orang-orang beriman. Demikianlah yang akan dilakukan syaitan. Syaitan dengan leluasa memasukkan selipan-selipan pada kebenaran yang mereka ikuti dan selipan syaitan itu kemudian dikenali sebagai kebenaran bagi mereka. Akal orang-orang beriman akan menjadi lemah manakala mereka membenarkan selipan-selipan dari syaitan, dan syaitan akan mudah mempersiapkan langkah untuk mencelakakan mereka. Alquran menegaskan bahwa mereka tidaklah bersama orang-orang yang beriman.

Mentaati Allah dan Rasulullah SAW

Orang-orang yang beriman apabila datang seruan kepada mereka kembali untuk berhukum kepada Allah dan Rasulullah SAW hanya akan mengatakan kami mendengar dan kami taat. Mereka menjadikan firman Allah dan sunnah Rasulullah SAW sebagai imam. Mereka menyadari bahwa diri mereka adalah makhluk yang bodoh dan seringkali mudah ditipu oleh banyak makhluk lain, sedangkan Ar-rahman berkehendak menjadikan mereka masing-masing memperoleh ilmu. Sama saja sikap mereka dalam berbagai keadaan diri, baik ketika dalam ketaatan ataupun ketidaktaatan mereka, bahwa mereka menjadikan Allah dan Rasulullah SAW sebagai hakim. Mereka mengetahui kelemahan diri mereka sebagai makhluk dengan pengetahuan yang sebenarnya, tidak hanya berupa ungkapan tentang kelemahan diri yang menghias tampilan akhlaknya.

﴾۱۵﴿إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَن يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Sesungguhnya perkataan orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukumi di antara mereka hanyalah ucapan. "Kami mendengar, dan kami patuh". Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. (QS An-Nuur : 51)

Perkataan “kami mendengar dan kami mentaati” ini tidaklah dilakukan dengan menyingkirkan akal untuk memahami. Orang beriman harus benar-benar menggunakan akal untuk memperoleh pemahaman bersesuaian dengan firman Allah dan sunnah Rasulullah SAW. Mereka tidak menyelisihi apa yang ditetapkan Allah dan Rasulullah SAW dan menjadikannya imam. Apa yang tidak mereka pahami tetaplah mereka taati, agar kelak ia dapat memahami, sebagaimana ketaatan terhadap apa-apa yang telah mereka pahami agar bertambah kefaqihan mereka dalam mengikuti langkah Rasulullah SAW.

Sebagian kaum muslimin mensikapi ayat ini dengan penekanan pada bertindak tanpa perlu menggunakan akal untuk memahami firman Allah, dan kemudian mempersulit diri dalam mengikuti contoh-contoh syariat hingga menimbulkan perdebatan dan perselisihan. Hal ini tidak tepat, karena Allah menurunkan petunjuk-Nya bagi umat manusia agar mereka dapat memahami. Sangat penting bagi setiap orang untuk mencapai ketaatan dalam kategori “ketaatan yang ma’ruf”. Tentu saja hanya sebagian kecil dari pengetahuan Allah yang dapat dipahami oleh setiap manusia. Bagian kecil dari pengetahuan Allah yang dapat dipahami oleh masing-masing itulah bagian yang harus berusaha dipahami berdasarkan firman Allah dan sunnah Rasulullah SAW. Sebagian besar syariat harus dilakukan setiap orang beriman dengan ittiba’ tanpa perlu mempertanya-tanyakan artinya. Dan bagian besar syariat yang harus dilakukan secara ittiba’ itu tidak boleh mempersulit diri hingga terjadi perbantahan dan perselisihan.

Di sisi lain, banyak manusia menentukan langkah kehidupannya tanpa memperhatikan ayat-ayat yang diturunkan Allah dan sunnah Rasulullah SAW. Kadang seseorang berbuat dengan hawa nafsu untuk kepentingan mereka sendiri. Sebagian umat manusia berusaha berbuat kebaikan dengan pemikiran mereka sendiri tanpa sungguh-sungguh memperhatikan ayat-ayat Allah dan sunnah Rasulullah SAW, maka mereka tidak menemukan arah menyatukan langkah dalam al-jamaah. Orang-orang beriman hendaknya menimbang langkah kehidupan mereka berdasarkan tuntunan firman Allah dan sunnah Rasulullah SAW sehingga mereka menemukan kesatuan langkah mereka bersama Rasulullah SAW berupa shirat al-mustaqim. Menemukan wali yang tepat akan sangat membantu langkah seseorang dalam mencari arah kehidupan, akan tetapi setiap orang harus tetap mengutamakan perhatian terhadap firman Allah dan sunnah Rasulullah SAW daripada perwalian apapun yang dipilihnya.

Kewalian yang benar merupakan perpanjangan dari cahaya yang diturunkan Allah melalui Rasulullah SAW. Setiap wali menjadi perpanjangan cahaya Rasulullah dalam bidang yang menjadi urusan mereka, dan berfungsi sebagai turunan yang lebih mudah dijangkau oleh setiap orang. Satu wali mungkin saja berbeda perkataannya dengan wali yang lain dalam satu tuntunan yang sama, dan hal ini tidaklah salah selama perkataan mereka tidak bertentangan dengan firman Allah dan sunnah Rasulullah SAW. Bila seorang yang dijadikan wali membuat perkataan yang bertentangan dengan firman Allah dan sunnah Rasulullah SAW, hendaknya setiap orang berpegang teguh pada firman Allah dan sunnah Rasulullah SAW karena boleh jadi ia mengambil wali secara keliru.

Penting bagi setiap orang untuk mencapai keadaan taat di atas kema’rufan, yaitu ketaatan di atas pengetahuan terhadap kehendak Allah. Manakala ia mentaati seseorang, ia mengetahui petunjuk tertentu dalam kitabullah yang menjadi landasan ketaatannya. Demikian pula ia tidak mengikuti orang lain manakala ia mengetahui berdasarkan petunjuk kitabullah bahwa ia akan celaka karena mengikutinya. Hal demikian termasuk ketaatan kepada Allah dan Rasulullah SAW. Kadangkala seseorang diberi kemampuan menentukan sendiri keputusan yang selaras dengan firman Allah dan sunnah Rasulullah SAW. Atau kadangkala suatu pengetahuan yang besar telah tersimpan dalam diri seseorang, dan ketika Rasulullah SAW memberikan suatu perintah maka perintah itu memicu terbitnya pengetahuan itu dan semangatnya berjihad. Itu adalah contoh ketaatan yang ma’ruf, yang harus dijadikan sasaran bagi setiap muslim dalam bersikap mendengar dan mentaati. Kalimat “ سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا" harus dilakukan di atas landasan akal, tidak hanya mengikuti tanpa memahami.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar