Pencarian

Kamis, 10 November 2022

Akhlak Mukmin dan Upaya Shilaturrahmi

Allah menetapkan bagi setiap manusia untuk membina bentuk-bentuk hubungan tertentu bersama orang lain dalam bentuk hubungan yang Dia kehendaki. Bentuk hubungan yang ditentukan Allah itu akan menjadikan manusia memahami kebenaran dari sisi Allah yang diturunkan kepada Rasulullah SAW. Mereka akan mempunyai kualitas kesaksian yang sungguh-sungguh terhadap kebenaran risalah Beliau SAW dan terhadap Allah. Mereka mempunyai pemahaman yang baik tentang segala sesuatu yang diturunkan Allah kepada Rasulullah SAW, tidak hanya mengatakan tanpa ada pemahaman terhadap pernyataannya.


﴾۱۲﴿وَالَّذِينَ يَصِلُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَن يُوصَلَ وَيَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ وَيَخَافُونَ سُوءَ الْحِسَابِ
dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk. (QS Ar-Ra’du : 21)

Hubungan yang Allah tentukan itu terutama berupa terbentuknya hubungan antara seseorang kepada Allah melalui manifestasi asma Allah yang dihadirkannya sebagai Ar-rahim yang berkedudukan melekat pada ‘Arsy. Membangun hubungan kepada Allah melalui Ar-rahim ini harus dengan membina bentuk-bentuk hubungan antar manusia sebagaimana yang dikehendaki Allah. Pernikahan merupakan pangkal terbentuknya hubungan yang dikehendaki Allah dan landasan tumbuhnya shilaturrahmi dalam diri seseorang kepada lingkungan sosial mereka. Melalui pernikahan, pohon thayyibah seorang laki-laki akan memperoleh ladang tempat tumbuhnya. Pertumbuhan pohon thayyibah itu akan menumbuhkan banyak bentuk-bentuk hubungan shilaturrahmi yang diperintahkan Allah untuk ditumbuhkan sehingga seseorang akan dapat tumbuh secara sosial.  

Akhlak Mukmin terhadap Mukminat

Syaitan akan selalu berusaha menghalangi terbentuknya hubungan yang diperintahkan Allah di antara manusia. Jalan utama syaitan untuk memotong-motong shilaturrahmi adalah pernikahan. Manakala syaitan bisa memperoleh jalan melalui pernikahan, mereka akan memperhatikan jalan itu tanpa melepaskannya dan tidak akan mengambil jalan lain yang lebih diutamakan, karena pernikahan itu merupakan pangkal shilaturrahmi yang diperintahkan Allah. Bahkan syaitan akan menimbulkan banyak pikiran buruk sebelum pernikahan yang dikehendaki Allah dilaksanakan oleh sepasang manusia.

Salah satu fenomena yang menghalangi upaya sepasang manusia untuk mewujudkan hubungan yang diperintahkan Allah di antara mukminin dan mukminat diterangkan Rasulullah SAW secara tersirat dalam hadits berikut :

لا يفْرَك مؤمنٌ مؤمنةً – أي: لا يُبغض ولا يكْره – إن كره منها خلقًا رضي منها آخر
Tidaklah seorang mu’min memaksa berpisah seorang mu’minat – atau tidaklah ia merasa marah dan tidaklah ia merasa benci - jika ia membenci satu akhlak maka ia akan ridha dengan akhlak yang lain.” (HR Ahmad 2/329, Muslim no.1469 dalam kitab As-shahih)

Dalam hadits di atas, Rasulullah SAW menerangkan tentang keadaan yang harus dipenuhi oleh seorang mukmin dalam hubungannya dengan seorang mukminat, yaitu bahwa ia tidak memaksa mukminat yang dekat kepadanya untuk berpisah, tidak merasa marah dengan kemarahan yang sungguh-sungguh, dan tidak membenci apa yang ada pada mukminat tersebut. Akhlak akan mempengaruhi proses terbinanya hubungan yang diperintahkan Allah. Dari sudut pandang tertentu, hadits ini merupakan teguran beliau SAW untuk memperbaiki sikap dalam hubungan antara mukmin dan mukminat. Ada banyak hal pada seorang mukminat yang dapat menjadikan diri seseorang ridha terhadap mukminat tersebut, dan sebagian rasa tidak suka hendaknya tidak menghalangi seorang mukmin untuk membina hubungan yang baik dengan seorang mukminat.

Dari kata yang digunakan, hadits ini menekankan pada keadaan hubungan antara seorang mukmin dan seorang mukminat, tidak secara khusus menunjuk pada interaksi pasangan suami dan isteri. Tidak ditunjukkan secara jelas adanya batasan suami dan isteri mukminin, sehingga dapat dilihat bahwa kasus itu mungkin pula terjadi pada hubungan mukmin dan mukminat dalam hubungan umum. Tetapi kalimat “tidak memaksa berpisah” menunjukkan adanya suatu hubungan yang erat di antara mukmin dan mukminat tersebut. Hal ini sangat mungkin menunjuk pada suatu keadaan khusus yang menunjukkan adanya ikatan tertentu antara seorang mukmin dengan seorang mukminat. Keadaan khusus itu boleh jadi adalah adanya perintah untuk membentuk hubungan yang diperintahkan Allah. Hadits tersebut tidak dibatasi kasus yang disebut dalam penjelasan di atas, tetapi bahwa kasus tersebut dapat dijelaskan oleh hadits di atas.

Rasulullah SAW menjelaskan bahwa hendaknya seorang mukmin tidak memaksakan perpisahan terhadap seorang mukminat. Lebih lanjut Rasulullah SAW menjelaskan bahwa tidak ada rasa marah (لا يُبغض ) dan tidak ada rasa benci (لا يكْره) pada mukmin tersebut terhadap sang mukminat. Rasa marah dalam terminologi tersebut menunjukkan rasa marah yang mendalam karena tidak menyukai suatu hal, dan rasa benci tersebut menunjukkan rasa tidak suka karena adanya suatu keterpaksaan. Seorang mukmin seharusnya tidak marah kepada mukminat karena rasa tidak suka terhadap sesuatu yang ada pada mukminat, dan tidak ada rasa tidak suka karena adanya suatu keterpaksaan. Mukmin tersebut harus berusaha untuk bisa menerima mukminat tanpa ada sesuatu yang menjadikannya tidak menyukai atau terpaksa menerima.

Sering terjadi seorang mukmin tidak bersikap dengan akhlak demikian. Hal itu menyelisihi apa yang diperintahkan oleh Rasulullah SAW. Banyak faktor dapat terjadi yang menyebabkan seorang mukmin ingin memaksakan perpisahan dengan seorang mukminat karena adanya rasa marah atau rasa tidak suka. Dalam keadaan demikian, seorang mukmin hendaknya berusaha memperbaiki keadaannya agar ia dapat menghilangkan keinginan untuk memisahkan mukminat tersebut. Sangat banyak kebaikan dalam hal-hal yang menjadi perintah Allah untuk dihubungkan daripada hal-hal buruk yang menjadi beban pikirannya. Sangat mungkin hal-hal buruk yang menjadi pikiran tersebut sebenarnya merupakan waham yang timbul dalam persepsi sepihak dirinya, atau sebenarnya syaitan menghembuskan pikiran buruk itu agar keadaannya semakin buruk. Waham sepihak ataupun pikiran yang dihembuskan syaitan keduanya merupakan keburukan yang harus dihilangkan.

Memperbaiki keadaan demikian dapat ditempuh dengan membangun pengertian antara satu pihak dengan pihak yang lain. Rasa tidak suka pada pihak lain hendaknya disingkirkan terlebih dahulu dan kemudian bersikap terbuka atas kebaikan yang muncul dari mukminat tersebut tidak memandangnya berdasarkan prasangka. Bila seorang mukmin tidak menyukai satu akhlak pada mukminat yang terikat kepadanya, sangat banyak akhlak yang lain terdapat pada mukminat tersebut yang akan menjadikan dirinya senang kepadanya dan ia ridha. Pada beberapa kasus, ketidaksukaan seorang mukmin terhadap suatu akhlak pada mukminat yang dekat kepadanya sebenarnya hanya merupakan prasangka karena insiden-insiden yang terjadi secara kasuistik, bukan karena akhlak yang sebenarnya dari mukminat tersebut.

Bila ada persoalan dari kejadian-kejadian buruk yang melatari prasangka satu pihak terhadap pihak lain, hendaknya mereka bersabar. Kadangkala penjelasan tentang kejadian buruk itu akan datang secara bertahap, dan kadangkala seseorang tidak perlu lagi memikirkan persoalan kejadian tersebut. Namun selama ada penjelasan yang bisa diberikan, ada baiknya adanya suatu masalah dijelaskan oleh satu pihak kepada pihak lainnya, karena hal itu dapat menghilangkan potensi rasa keterpaksaan karena prasangka buruk yang mungkin masih tersisa. Kadangkala kebohongan dalam urusan ini mempunyai akibat yang lebih baik daripada menyisakan keterpaksaan.

Setiap pihak hendaknya menyadari bahwa syaitan seringkali berhasil menggelembungkan skala masalah melalui hembusan terhadap satu atau dua pihak, atau bahkan melalui campur tangan pihak lain. Sedemikian penting arti hubungan yang harus terbina di antara seorang mukmin dengan seorang mukminat berdasarkan perintah Allah sehingga syaitan berusaha dengan keras untuk merusak terbinanya hubungan demikian. Setiap orang harus berusaha mengikuti Rasulullah SAW dengan sebaik-baiknya, tidak mengikuti hawa nafsunya sendiri. “Tidaklah seorang mu’min memaksa berpisah seorang mu’minat”. Barangkali Rasulullah SAW menyampaikan hal itu dengan kalimat halus dalam bentuk tauladan, akan tetapi setiap mukmin harus menyadari arti penting dari perintah ini dengan akalnya.

Upaya untuk memperbaiki keadaan diri agar sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW akan mendapatkan banyak hambatan. Boleh jadi seseorang akan kesulitan untuk menemukan seorang perantara yang cukup baik untuk memperbaiki pemahaman di antara kedua pihak. Orang-orang yang tidak bertakwa boleh jadi akan merendahkan upayanya memperbaiki keadaan dan justru memberikan hambatan untuk membangun pemahaman sedangkan orang-orang yang bodoh hanya akan mengikuti orang-orang lain dalam mensikapi upayanya memperbaiki keadaan. Sangat banyak hambatan yang mungkin bisa muncul yang menghalangi seseorang untuk memperbaiki keadaannya agar sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW, karena syaitan turut serta menghasut agar terjadi keadaan demikian. Seorang mukmin tidak boleh menyerah menghadapi hambatan. Bila suatu saat menyerah, mereka harus berusaha kembali bangkit ketika ada kesempatan bangkit untuk bersegera mengikuti tuntunan Rasulullah SAW.

Upaya mengikuti tuntunan Rasulullah SAW akan jauh lebih mudah bila kedua pihak berusaha secara sinergis. Manakala satu pihak menolak atau tidak berkeinginan sama sekali untuk melaksanakan kehendak Allah, pihak yang lain adakalanya lebih baik memperhatikan urusan Allah yang lain yang menjadi amanah bagi dirinya. Kadangkala amanah yang lain itu menjadi pintu kembalinya urusan membina shilaturrahmi yang dikehendaki Allah. Bila tidak kembali, ia telah terlepas dari kewajiban membina satu bentuk shilaturrahmi yang dikehendaki Allah, tidak perlu menuntut pihak lain untuk memperhatikan tuntunan hadits di atas. Hadits di atas tidak mencakup sikap seorang mukminat terhadap seorang mukmin. Kadangkala satu pihak mengalami kesulitan untuk membina shilaturrahmi, maka pihak lain harus bersabar dan teguh pada urusan shilaturrahmi tersebut, tidak membuang urusan itu tanpa memperhatikannya. Bila ia membuang urusan itu, maka hal itu akan mempengaruhi pihak lain dalam membinanya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar