Pencarian

Senin, 29 Maret 2021

Berharap Musyahadah terhadap Allah

Manusia adalah makhluk Allah yang paling sempurna, yang diberi kemampuan untuk mengenal Allah. Allah akan memperkenalkan diri-Nya bagi hamba-hamba yang dikehendaki dalam wujud perumpamaan berupa cahaya di atas cahaya. Hamba yang dikehendaki-Nya untuk diperkenalkan kepada wujud perumpamaan cahaya di atas cahaya itu adalah manusia yang tidak dilalaikan oleh jual beli dan perdagangan dari dzikir kepada-Nya, dan berada di bait yang diijinkan Allah untuk ditinggikan dan disebut asma-Nya.

﴾۶۳﴿فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللَّهُ أَن تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيهَا بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ
di dalam rumah-rumah yang telah diijinkan Allah untuk ditinggikan dan disebut asma-Nya di dalamnya, dia selalu bertasbih kepada-Nya pada waktu pagi dan waktu petang, (QS An-Nuur : 36)

Bait itu merupakan wujud turunan baitullah dalam hati yang harus dibentuk dalam struktur sosial seorang manusia berupa rumah tangganya. Seorang laki-laki tidak boleh dilalaikan oleh jual beli dan perdagangan dari berdzikir kepada Allah agar terbentuk baitullah dalam hatinya. Dengan terbentuknya baitullah dalam hatinya, dirinya dapat bersujud kepada Allah dengan sungguh-sungguh hingga bentuk-bentuk jasadiahnya. Terbentuknya baitullah dalam hati itu harus diwujudkan hingga keluar dari hatinya, berupa membina rumah tangga sebagai perpanjangan baitullah di hatinya.

Ada hubungan timbal balik antara baitullah dengan rumah tangga. Baitullah dalam hati seseorang akan terbentuk bila dirinya berusaha membentuk bait dalam wujud rumah tangga yang baik, dan baitullah dalam hati itu akan menjadi panduan arah dalam membentuk rumah tangga agar menjadi bait yang diijinkan Allah untuk ditinggikan dan disebut asma-Nya di dalamnya. Hubungan resiprokal semacam ini menjadi sunnah rasulullah SAW bagi setiap muslim agar setiap muslim dapat mengerti jalan yang harus ditempuh mengikuti rasulullah untuk mengenal Allah.

Untuk membentuk bait yang diijinkan Allah untuk ditinggikan dan didzikirkan asma-Nya di dalamnya, setiap orang harus berusaha membentuk akhlaknya dalam akhlak mulia, sehingga Allah membukakan baginya keadaan haraman (tanah suci). Dengan mengenal tanah sucinya, seseorang mengetahui bait yang harus dibentuk bersama isteri-isterinya. Tanpa mengenal tanah sucinya, seorang laki-laki tidak akan mengetahui bentuk baitullah yang harus dibangun bersama keluarganya.

Fitnah Saat Terbitnya Fajar

Tanah haram itu adalah pengenalan seseorang terhadap dirinya sendiri. Dirinya mengenal amanah yang harus ditunaikan dalam kehidupannya di bumi. Amanah itu adalah amal-amal yang ditetapkan sebelum kelahiran dirinya, yaitu ketika Allah mempersaksikan dirinya terhadap nafs mereka. Ketika mengenal dirinya sendiri, sebenarnya Allah membukakan kepadanya tanah haramnya. Jati diri itu merupakan tempat dirinya harus membangun bait dirinya.

﴾۷۶﴿أَوَلَمْ يَرَوْا أَنَّا جَعَلْنَا حَرَمًا آمِنًا وَيُتَخَطَّفُ النَّاسُ مِنْ حَوْلِهِمْ أَفَبِالْبَاطِلِ يُؤْمِنُونَ وَبِنِعْمَةِ اللَّهِ يَكْفُرُونَ
Dan apakah mereka tidak memperhatikan, bahwa sesungguhnya Kami telah menjadikannya tanah suci yang aman, sedang manusia sekitarnya rampok-merampok. Maka apakah mereka beriman kepada yang bathil dan kufur kepada nikmat Allah? (QS Al-Ankabuut : 67)

Pada saat Allah memberikan tanah haram kepada seseorang, sebenarnya ada sesuatu yang tersembunyi dalam karunia tersebut. Ada kebathilan dan nikmat Allah bercampur pada peristiwa penganugerahan karunia tersebut, sehingga ayat tersebut ditutup dengan sebuah pertanyaan : apakah terhadap hal yang bathil mereka beriman dan terhadap nikmat Allah mereka kufur? Pada peristiwa tersebut, setiap orang harus ingat untuk berusaha memisahkan antara hal yang bathil dari nikmat Allah.

Peristiwa tersebut menyerupai terbitnya matahari pada waktu pagi. Seseorang akan memperoleh cahaya yang terang dari matahari yang mulai terbit setelah kegelapan yang menyelimuti alamnya. Akan tetapi pada saat terbitnya matahari, matahari terbit di antara dua tanduk syaitan. Hal yang serupa terjadi pada saat terangnya jati diri mulai muncul pada seseorang. Banyak selipan-selipan pengetahuan yang berasal dari syaitan yang membuat seseorang dapat menjadi beriman terhadap kebatilan dan kafir terhadap nikmat Allah.

قَالَ سَمُرَةُ بْنُ جُنْدُبٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تُصَلُّوا حِينَ تَطْلُعُ الشَّمْسُ وَلَا حِينَ تَسْقُطُ فَإِنَّهَا تَطْلُعُ بَيْنَ قَرْنَيْ الشَّيْطَانِ وَتَغْرُبُ بَيْنَ قَرْنَيْ الشَّيْطَانِ
Samurah bin Jundub berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Janganlah kalian shalat ketika matahari terbit dan jangan pula (shalat) ketika matahari terbenam. Karena, sesungguhnya ia terbit di antara dua tanduk setan dan terbenam di antara dua tanduk setan." (Hadits Ahmad no.19310)

Rasulullah SAW melarang umatnya untuk melakukan shalat pada saat matahari mulai terbit dan pada saat matahari mulai tenggelam karena matahari terbit dan tenggelam di antara dua tanduk syaitan. Keadaan alam jasadiah demikian merupakan turunan dari realitas yang lebih tinggi berupa terbitnya kebatilan dari syaitan bersamaan dengan terbitnya atau tenggelamnya sumber cahaya keimanan bagi seorang manusia. Peristiwa awal pengenalan jati diri seorang manusia dan proses meninggalnya seseorang yang mengenal kebenaran merupakan dua peristiwa yang akan disertai munculnya fitnah-fitnah syaitan yang disebut sebagai terbitnya dua tanduk syaitan.

Fitnah-fitnah ini biasanya terkait dengan langkah lebih lanjut yang harus dilakukan oleh manusia, yaitu langkah untuk membentuk bait yang diijinkan Allah untuk disebutkan dan ditinggikan asma-Nya dalam rumah itu. Pengenalan diri bukanlah terminal akhir untuk ibadah manusia kepada Allah, tetapi merupakan keterbukaan tanah haram yang harus dilanjutkan dengan membangun bait sebagai tempat bersujud kepada Allah. Syaitan akan mengupayakan agar manusia tersesat dalam membangun baitnya. Tanduk syaitan boleh jadi akan memunculkan konsep yang salah tentang rumah tangga pada saat terbitnya matahari, dan akan menghancurkan potensi rumah tangga yang baik pada saat tenggelamnya matahari, yaitu bait yang akan diijinkan Allah untuk disebutkan dan ditinggikan asma-Nya di rumah tangga itu. Dengan demikian manusia akan kehilangan arah untuk membangun bait yang diijinkan Allah bagi asma-Nya.

Membentuk Pijakan Amal Shalih

Setiap orang harus mengingat tentang munculnya dua tanduk syaitan ketika mengalami keterbukaan tentang jati diri. Ada banyak hal yang akan terbuka bagi seseorang ketika Allah menjadikan dirinya berada pada tanah haram yang menjadi calon tempat bait dirinya. Segala hal yang terbuka itu harus diukur dengan kitabullah untuk menentukan apa-apa yang berasal dari Allah dan memisahkan segala sesuatu yang merupakan sisipan dari syaitan. Bilamana ia memiliki seorang mursyid yang membimbing, maka segala yang diarahkan oleh mursyid harus diperhatikan dengan sebaik-baiknya. Kedua hal itu harus dibaca bersama-sama agar dapat menentukan dengan sebaik-baiknya apa-apa yang dikehendaki Allah atas dirinya, tidak mengandung kebatilan-kebatilan yang menyeret pada sikap kufur terhadap nikmat Allah. Semua hal yang terbuka kepada dirinya harus disikapi dengan penuh ketakwaan, karena hal itu dapat menggelincirkan dirinya menuju sikap kufur terhadap nikmat Allah dan munculnya keimanan terhadap hal batil. Ketika hadir nikmat Allah, dirinya bersikap kufur terhadap nikmat itu, dan ketika hadir kebathilan timbul keimanan pada kebathilan tersebut.

Hal ini harus dilakukan hingga benar-benar jelas apa yang menjadi kehendak Allah bagi dirinya, sesuai dengan kitabullah dan sesuai dengan arahan mursyid pembimbingnya. Bilamana ada hal yang bertentangan antara satu dengan yang lain, dirinya tidak boleh melakukan tindakan yang melanggar salah satu hingga jelas kedudukan masalah yang bertentangan tersebut. Kitabullah akan berbicara memberikan penjelasan masalah sebagai kitab yang hidup, bukan sebuah tulisan yang mati, sedangkan mursyid merupakan petugas Allah yang harus membimbingnya menuntaskan pemahamannya tentang agamanya.

Keterbukaan yang dilimpahkan Allah bagi seseorang yang dibukakan tanah haramnya itu mencakup berita gembira (basyiran) dan peringatan (nadziiran) yang harus disampaikannya kepada umat. Itu adalah tugas keumatannya. Karena amanah itu, seringkali seseorang akan merasakan tekanan yang besar dalam hal peringatan (nadziiran) yang harus disampaikan kepada umat, terutama ketika langkahnya terkendala dengan adanya perselisihan dalam perkara amanahnya itu. Bila bertentangan dengan tuntunan kitabullah, perasaan itu sebenarnya hanya merupakan ilusi. Bila bertentangan dengan mukmin lain, hendaknya dirinya menahan diri hingga terjadi keselarasan bersama dengan mukmin lainnya, terutama dengan mursyid yang membimbingnya. Perkara amal shalih dan konsekuensi yang menjadi tanggung jawabnya tersebut tidak atau belum berlaku sepenuhnya selama mursyidnya masih belum membenarkannya. Bila masih ditentang oleh mursyid, segala tanggungjawab itu masih berada di tangan mursyid. Namun demikian, dirinya tidak boleh terlena, bahwa dirinya harus berusaha sebisa mungkin untuk mengerjakan amanahnya dalam batasan yang bisa dilakukannya.

Dengan membaca hal yang terbuka berdasarkan kitabullah dan arahan mursyid, seseorang akan melihat kerusakan yang ditimbulkan oleh tipu daya syaitan sebagai bayangan tanduk syaitan yang menyertai terbitnya matahari. Hal itu menunjukkan bahwa dirinya melihat kemunculan tanduk syaitan. Setiap orang seharusnya mengalami keadaan semacam itu, yang akan memperkuat pijakan dan arah perjuangannya dan memperkuat keinginannya untuk beramal shalih. Pengenalan jati diri sendiri itu benar-benar disertai dengan terbitnya dua tanduk syaitan, tidak semata-mata terbitnya sumber cahaya bagi dirinya. Bila seseorang gagal melihat tipuan syaitan dalam peristiwa itu, boleh jadi dirinya tertipu oleh tanduk syaitan, menyangka citra tanduk syaitan itu sebagai cahaya yang dilimpahkan rabb bagi dirinya. Setiap orang harus memeriksa hal ini dan mursyid akan benar-benar mengawasi muridnya dalam keadaan demikian.

Kerusakan akibat tanduk syaitan itu akan dilihatnya dari semestanya, umatnya hingga terlihat pada dirinya sendiri, terlihat mulai dari sesuatu yang jauh dari dirinya hingga ia melihat kerusakan dalam dirinya. Kadangkala seseorang akan melihat bahwa sebenarnya dua tanduk syaitan itu telah mencampakkan dirinya telanjang di bumi, terdampar dalam kesendirian terputus dari lingkungannya. Isterinya sebagai pakaian terenggut darinya oleh sepak terjang syaitan, dan ia harus memperjuangkan kembali pakaian itu dari syaitan. Bila isterinya itu kemudian beri’tikad pula untuk kembali kepada dirinya, perempuan itu adalah perempuan mulia yang layak dan harus dicintainya. Segala kerusakan yang dialaminya merupakan luka-luka jihadnya bersama dirinya karena perbuatan syaitan untuk memisahkan seorang isteri dari suaminya.

Dengan jelasnya penglihatan tentang tanduk syaitan, seseorang akan memperoleh pijakan yang lebih kokoh dan keinginan yang lebih kuat untuk berjihad. Hasrat mengusahakn pemakmuran dunia berdasarkan jati diri seringkali hanyalah sebuah ilusi manakala dirinya tidak mampu melihat kerusakan yang diakibatkan oleh syaitan. Jati diri dan tanduk syaitan itu terbit bersama-sama, dan itu harus disadari setiap orang.

Membentuk Bait dan Larangan Shalat

Rasulullah SAW melarang umatnya untuk melakukan shalat pada saat terbitnya matahari dan tenggelamnya matahari. Itu adalah larangan yang harus ditaati hingga tingkatan lahir. Larangan ini juga merupakan pencegahan agar tidak terbentuk citra tanduk syaitan dalam kebenaran yang akan diikutinya. Dalam proses terbitnya sumber cahaya kebenaran bagi seseorang, larangan ini tidak berarti melarangnya melakukan amaliah shalat selama sumber cahaya kebenaran yang terbit pada batinnya masih bercampur dengan citra tanduk syaitan. Larangan ini menunjukkan larangan untuk tidak serta merta mengambil secara langsung pengetahuan yang terbuka kepada dirinya sebagai sepenuhnya kebenaran dari Allah. Kebenaran itu masih bercampur dengan citra tanduk syaitan. Ini harus benar-benar disadarinya dan mursyid akan benar-benar mengawasi hal ini sepenuhnya.

Larangan itu dalam tingkatan lebih lanjut mencegah seseorang untuk membentuk bait dengan citra tanduk syaitan. Bait itu merupakan arah dan pijakan sujud seseorang kepada Allah dalam amaliah raganya, bukan menggantikan kakbah sebagai arah sujud shalatnya. Bait itu merupakan turunan baitullah dalam hati yang harus terbentuk dalam tataran struktur sosial dirinya dalam wujud rumah tangga yang baik. Bila terbentuk bait dengan citra tanduk syaitan, amal lahiriah yang terlahir bisa jadi melenceng dari niat baik yang ada dalam hati. Misalnya bila hati menghendaki persatuan bagi umatnya, amal yang terlahir bisa jadi malah menceraiberaikan umatnya. Hal itu dapat terjadi bilamana syaitan sedang menggunakannya untuk langkah strategis mereka, sementara manusia tidak menyadari langkah strategis yang dilakukan oleh syaitan.

Seseorang dapat berdzikir dan meninggikan asma Allah hanya bila terbentuk rumah tangga yang baik hingga diijinkan Allah untuk didzikirkan dan ditinggikan asma-Nya di dalamnya. Tanpa rumah tangga itu, seseorang tidak akan dapat meninggikan asma Allah. Dengan meninggikan asma Allah, maka shalatnya akan dapat dilakukan dengan kekhusyu’an sebagaimana yang dikehendaki Allah. Kekhusyu’an itu harus terlahir bersamaan dengan pelaksanaan fitrah dirinya bagi umat secara benar.

Terbentuknya bait yang baik ditandai dengan pengenalan isterinya terhadap amr Allah bagi mereka. Nafs wahidah suaminya akan hadir kepada istrinya dan membagikan lembaran kitab diri dan amanah yang harus ditunaikan. Istrinya akan mengerti isi lembaran kitab diri tersebut dan mengerti amanah yang diberikan kepadanya. Dengan demikian akan terbentuk bait yang baik untuk didzikirkan dan ditinggikan asma-Nya dalam rumah tangga mereka. Tanpa bait semacam itu, seseorang akan kesulitan untuk berdzikir dan meninggikan asma-Nya.

Rumah tangga demikian dapat diibaratkan kapal yang menyeberangkan umat menuju tanah suci untuk mengenal Allah. Rumah tangga itu bisa menjadi kendaraan bagi umat mereka untuk menuju Allah. Akan tetapi kadangkala Allah menghendaki bentuk lain dari rumah tangga mereka, tidak cukup dengan keadaan saat itu, sehingga Allah tidak memberikan keleluasaan dalam beramal shalih dan menjadikan keluarga itu tidak efektif dalam menunaikan amanah Allah bagi mereka. Mungkin saja Allah menghendaki kapal yang terbentuk harus berupa kapal Catamaran yang memberikan keluasan bagi umatnya mengikuti jalannya menuju Allah. Allah akan memberikan petunjuk kepada mereka untuk membentuk bait sebagaimana kehendak Allah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar