Pencarian

Kamis, 10 September 2020

Menemukan Kesenangan di Sisi Allah (10)


Menjawab Seruan Allah 


Allah berkehendak memberikan kepada manusia kesenangan-kesenangan (mata’) dari sisi-Nya, kesenangan yang lebih baik dari kesenangan di alam dunia. Di antara langkah yang harus ditempuh untuk memperoleh kesenangan dari sisi-Nya adalah menjawab seruan Allah, mendirikan shalat, memusyawarahkan amr Allah di antara mereka dan menafkahkan rezeki yang diberikan kepada mereka. 

وَٱلَّذِينَ ٱسۡتَجَابُواْ لِرَبِّهِمۡ وَأَقَامُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَأَمۡرُهُمۡ شُورَىٰ بَيۡنَهُمۡ وَمِمَّا رَزَقۡنَٰهُمۡ يُنفِقُونَ [ الشورى:38] 

Dan (bagi) orang-orang yang menjawab seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka dimusyawarahkan di antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. [Ash-Shura:38] 

Allah melalui rasulullah SAW menyeru manusia untuk kembali kepada Allah. Sebagian orang mengikuti seruan itu, sebagian berusaha mengikuti namun dengan pemahaman yang salah dan sebagian besar manusia tidak mempunyai gambaran apa yang dimaksud sebagai seruan tersebut. 

قُلۡ هَٰذِهِۦ سَبِيلِيٓ أَدۡعُوٓاْ إِلَى ٱللَّهِۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا۠ وَمَنِ ٱتَّبَعَنِيۖ وَسُبۡحَٰنَ ٱللَّهِ وَمَآ أَنَا۠ مِنَ ٱلۡمُشۡرِكِينَ [ يوسف:108] 

Katakanlah: "Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak kepada Allah dengan bashirah, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik". [Yusuf:108] 

Rasulullah SAW bersama orang-orang yang mengikuti beliau akan menyeru manusia kembali kepada Allah. Menyeru adalah sebuah keniscayaan bagi pengikut rasulullah SAW, sebagai manifestasi dari keadaan diri mereka yang berada dalam kecintaan kepada Allah. Mereka mengetahui bahwa Allah adalah sumber segala kebaikan, dan kebaikan hanya akan keluar dari orang-orang yang berusaha kembali kepada Allah. 

Perjalanan Kepada Allah 


Setiap orang harus menempuh perjalanan panjang kembali kepada Allah. Ada bagian perjalanan yang harus diusahakan oleh setiap manusia, dan sebagian (besarnya) merupakan hadiah dari Allah kepada hamba_di dunia yang dikehendaki-Nya. Bentuk perjalanan kembali kepada Allah mungkin tidak terpahami bagi sebagian manusia. Sebenarnya rasulullah SAW telah mencontohkan bagaimana seseorang kembali kepada Allah ketika beliau mi’raj bertemu dengan rabb-nya. Demikian pula orang-orang yang mengikuti beliau SAW melakukan perjalanan menuju Allah, baik tercapai ketika di dunia maupun harus ditunda untuk bertemu kelak di makhsyar. 

Bila manusia mengusahakan sendiri perjalanannya menuju Allah, perjalanan itu adalah perjalanan paling panjang terbentang sejak dari penciptaan dirinya hingga nanti bertemu rabb-nya di alam makhsyar. Itu adalah perjalanan ribuan tahun dengan beban perjalanan yang sangat berat. Sebagian manusia berharap agar Allah memperjalankan mereka. Rasulullah SAW diperjalankan Allah untuk bertemu wajah-Nya ketika mi’raj di ufuk yang tertinggi. Para pengikut beliau yang benar juga akan diperjalankan untuk bertemu dengan rabb-nya. Sebagian manusia dapat mencapainya ketika masih hidup di dunia, dan sebagian besar perlu waktu hingga kelak di alam makhsyar. Sebagian orang mencapainya dalam waktu yang lebih singkat daripada orang lain. 

Mengusahakan Perjalanan Kembali Kepada Allah 


Bagian yang harus diusahakan manusia itu adalah akhlak mulia. Setiap orang harus berusaha untuk mencapai akhlak mulia. Bilamana Allah berkenan, Allah akan memberikan kepadanya kemudahan dalam menempuh perjalanan kembali kepada Allah. Tanpa berusaha untuk memperoleh akhlak mulia, Allah tidak akan memberikan kemudahan baginya dalam menempuh perjalanannya. 

Di antara tanda terbangunnya akhlak mulia adalah terbangunnya baitullah di dalam hati. Membangun baitullah di dalam hati merupakan tugas bagi setiap manusia, sehingga seseorang dapat beribadah kepada Allah dengan sebenarnya dengan jiwanya, tidak hanya ibadah dalam bentuk-bentuk luar saja. Ketika seseorang berhasil mendirikan baitullah dalam hatinya, bila Allah berkenan maka Allah akan memperjalankan orang tersebut untuk isra’ dan mi’raj hingga perjalanannya menuju Allah tercapai. Kelak di alam makhsyar, ia tidak termasuk dalam kelompok orang-orang yang kesulitan untuk hadir di hadapan Allah, sementara kehidupan di alam makhsyar sangatlah panjang dan berat selama 50 ribu tahun. 

Membangun baitullah dicontohkan oleh nabi Ibrahim a.s dan Ismail dalam wujud fisik bangunan ka’bah di kota suci makkah. Baitullah itu dibangun di atas tanah suci al-haram. Itu adalah sebuah monumen yang berfungsi mengingatkan kepada manusia agar membangun baitullah dalam hatinya. Bait dalam hati itu adalah baitullah yang sebenarnya. Sebagaimana Ismail a.s membangun kakbah di tanah suci, setiap manusia harus menemukan tanah suci yang diperuntukkan baginya untuk mendirikan baitullah. 

أَوَ لَمۡ يَرَوۡاْ أَنَّا جَعَلۡنَا حَرَمًا ءَامِنٗا وَيُتَخَطَّفُ ٱلنَّاسُ مِنۡ حَوۡلِهِمۡۚ حَوۡلِهِمۡۚ أَفَبِٱلۡبَٰطِلِ يُؤۡمِنُونَ وَبِنِعۡمَةِ ٱللَّهِ يَكۡفُرُونَ [ العنكبوت:67] 

Dan apakah mereka tidak memperhatikan, bahwa sesungguhnya Kami telah menjadikan tanah suci yang aman, sedang manusia sekitarnya rampok-merampok. Maka apakah mereka beriman terhadap yang bathil dan kufur terhadap nikmat Allah? [Al 'Ankabut:67] 

Ayat ini harus dibaca bersama dengan beberapa ayat sebelumnya agar dapat memahami penjelasannya. Tanah suci al-haram pada ayat di atas menunjuk kepada sebuah daratan yang ditemukan oleh seseorang setelah dirinya menempuh perjalanan dalam kapal di lautan. Daratan dan lautan itu merupakan permisalan perjalanan manusia menuju Allah. Lautan adalah wujud-wujud duniawi dimana manusia dapat tenggelam di dalamnya bila tidak menaiki kapal, sedangkan daratan adalah wujud-wujud kehidupan yang lebih hakiki. 

Ketika seseorang berjalan kembali kepada Allah, dia memulainya dari alam dunia yang dapat menenggelamkannya. Ia harus mempunyai kapal untuk berlayar. Kapal untuk mengarungi dunia adalah berupa syariat rasulullah SAW agar yang membuat manusia tidak tenggelam dalam kehidupan dunia, dan dapat menemukan bentuk kehidupan yang lebih hakiki. Ketika dirinya mengenal bentuk kehidupan yang hakiki, ia telah menemukan daratan. 

Daratan yang ditemukan itu adalah tanah haram yang diberikan Allah kepada seseorang. Tanah haram itu adalah penemuan fitrah diri, dimana seseorang akan mengenal bentuk kehidupan yang seharusnya dilaksanakan, bentuk kehidupan yang lebih hakiki. Orang yang sampai kepada tanah haramnya akan mengenal fitrah dirinya berupa amal shalih yang harus dilaksanakan, rezeki yang ditetapkan baginya, bagaimana seharusnya dirinya mencapai husnul khatimah pada ajalnya, serta mengenal kesedihan dan kegembiraan yang harus dilaluinya dalam kehidupan. Di atas fitrah diri itu seseorang harus membangun baitullah. 

Ketika  menemukan tanah haramnya, sebagian orang bersyukur dengan melanjutkan membangun baitullah dalam dirinya, melanjutkan perjalanan menuju Allah. Namun tidak sedikit orang yang kemudian terjebak kembali ke dalam kebathilan-kebathilan. Bentuk kebathilan itu berupa menjalani fitrah diri untuk tujuan-tujuan duniawi, terlupa bahwa dirinya harus melanjutkan perjalanan untuk kembali kepada Allah dengan membangun baitullah dalam dirinya. Mereka akan terlihat sukses di dunia dalam bidang masing-masing karena menemukan hal yang dimudahkan, akan tetapi perjalanan mereka sebenarnya berbalik kembali menuju kepada dunia. 

Penolong dalam Perjalanan 


Baitullah dalam hati harus dibangun dengan membina diri hingga akhlaknya bersesuaian dengan jati diri yang dikehendaki Allah. Seringkali seseorang perlu berjuang keras dalam waktu lama untuk membina diri sesuai dengan fitrah dirinya. Ketika mengenal fitrah diri, seseorang kadang terkaget melihat kenyataan diri yang sangat berbeda dengan ketetapan yang digariskan baginya. Amal shalih yang ditetapkan kadang-kadang terlihat sangat jauh dari keadaan dan kemampuan dirinya. Untuk hal itu Allah memberikan penolong kepada manusia. 

Walaupun keadaannya berbeda dari yang digariskan, tidak berarti seseorang dapat keluar dari  keadaan yang tercatat di lauh al-mahfudz. Dirinya hanya berada pada garis kehidupan yang tidak menjadi kehendak Allah sebagai shirat al-mustaqim. Dirinya harus berusaha mengarahkan kehidupannya menuju shirat al-mustaqim. Usaha itu harus dilakukan dengan membangun baitullah dalam dirinya pada  tanah haramnya, yaitu fitrah dirinya.

Bagian besar lain dari fitrah diri adalah mengenali pasangan yang diciptakan dari jiwanya sendiri. Seringkali itu adalah istrinya sendiri, walaupun tidak mustahil berupa wanita lain. Dari setiap jiwa seorang laki-laki, diciptakan darinya jiwa seorang perempuan yang seharusnya menjadi istrinya. Istri yang demikian adalah ladang suci bagi pohon thayyibah jiwanya, yang setara dengan tanah suci untuk mendirikan baitullah dalam hatinya. Ayat di bawah ini saling terkait dengan ayat tentang tanah suci di atas, dengan disebutkannya kalimat : Maka apakah mereka beriman terhadap yang bathil dan kufur terhadap nikmat Allah?". Kedua ayat berbicara tentang hal yang sama yaitu nikmat Allah dan kebathilan. 

وَٱللَّهُ جَعَلَ لَكُم مِّنۡ أَنفُسِكُمۡ أَزۡوَٰجٗا وَجَعَلَ لَكُم مِّنۡ أَزۡوَٰجِكُم بَنِينَ وَحَفَدَةٗ وَرَزَقَكُم مِّنَ ٱلطَّيِّبَٰتِۚ أَفَبِٱلۡبَٰطِلِ يُؤۡمِنُونَ وَبِنِعۡمَتِ ٱللَّهِ هُمۡ يَكۡفُرُونَ [ النحل:72] 

Allah menjadikan bagi kamu dari jiwa kalian isteri-isteri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki dari yang baik-baik. Maka apakah mereka beriman terhadap yang bathil dan kufur terhadap nikmat Allah?" [An Nahl:72] 

Terkait fitrah diri, seorang istri akan mendatangkan kepada laki-laki hal-hal terkait fitrah dirinya. Rezeki yang dijanjikan akan mendatangi seorang laki-laki bila menikah dengan pasangannya dan terbentuk hubungan thayyibah di antara keduanya. Bila tidak menikah atau tidak terbentuk hubungan thayyibah, saluran rezeki itu tidak terbentuk dengan baik. Demikian pula amal-amal shalih yang ditentukan baginya akan terlahirkan bila menikah dengan pasangan yang ditentukan. Dalam peristiwa tenggelamnya kan’an putra nuh a.s, anak disebut sebagai amal yang tidak shalih. Pada ayat di atas, disebutkan juga tentang anak-anak yang juga merupakan ungkapan kelahiran amal-amal shalih. 

Dengan perempuan pasangannya itulah seseorang harus menikah dan melaksanakan ketetapan yang ditentukan sebagai fitrah dirinya. Wanita tersebut adalah ladang bagi pohon thayyibah jiwanya dan tanah haram tempat mendirikan baitullah dalam hatinya. Dengan perempuan tersebut akan terbentuk bait yang diijinkan Allah untuk meninggikan nama-Nya. Tanpa menikah dan membangun rumah tangga dengan perempuan tersebut, seorang laki-laki yang mengenal fitrah dirinya tidak tumbuh dengan baik, bagaikan pohon yang dibonsai. Akan sulit membangun baitullah dalam hati karena tidak ada lahan untuk membangunnya. Terkait dengan hal ini, rasulullah SAW bersabda dalam sebuah riwayat : “tanpa Khadijah, aku tidak akan menjadi nabi”. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar