Pencarian

Jumat, 28 Agustus 2020

Menemukan Kesenangan Di Sisi Allah (9)

Menahan Amarah 


Salah sifat jalal yang disematkan kepada Allah adalah sifat marah. Marah atau gadlab dalam terminologi Alquran lebih menunjukkan kemarahan dalam konteks kemarahan yang benar, sebuah sifat marah yang timbul di atas dasar kasih sayang. Rasulullah, para nabi, dan Allah akan mengalami kemarahan bilamana ada seseorang yang akan membuat dirinya atau umat manusia celaka. Kemarahan ini bukanlah karena pengaruh perbuatan seseorang terhadap beliau atau Allah, tapi agar orang tersebut agar tidak celaka atau menjadi buruk. 

Dalam banyak hal, kemarahan para nabi dan Allah timbul bila seseorang mengikuti langkah-langkah syaitan. Nabi Musa a.s marah kepada umatnya karena mereka mengikuti langkah syaitan bersembah kepada patung anak sapi emas. Hal ini menjatuhkan akhlak mereka, membuat mereka hanya mampu mengenal Allah dalam citra dan cara yang salah. Mereka menganggap bahwa patung anak sapi emas adalah ilah yang benar, sedangkan anak patung sapi emas itu dan ilahnya Musa a.s merupakan ilah yang sama. Mereka jatuh dalam akhlak yang buruk. Untuk memperbaiki keadaan mereka, Allah memerintahkan mereka membunuh diri mereka. Bila ada yang baik, Allah menghidupkan kembali mereka, sedangkan orang yang buruk tetap dibiarkan mati. 

Demikian pula Rasulullah SAW marah kepada dua muslim yang mempertentangkan satu ayat dan ayat lainnya. Beliau SAW melemparkan kerikil kepada mereka sebagaimana nabi Ibrahim melemparkan kerikil kepada syaitan. Beliau tampaknya memang melempar syaitan yang berusaha menyesatkan dua muslim tersebut, dengan mengarahkan mereka memperdebatkan ayat-ayat Allah. Bila mengikuti ajakan syaitan, kedua manusia itu akan tertimpa kesesatan berupa memperkatakan sesuatu tentang Allah tanpa pengetahuan. Itu yang akan terjadi pada dua orang yang mempertentangkan satu ayat dengan ayat lain, walaupun masing-masing berpegang pada ayat-ayat yang tercantum dalam kitabullah. 

Marah (gadlab) yang benar harus dilakukan oleh para nabi untuk menyelamatkan umatnya. Kemarahan para nabi merupakan pertanda akan munculnya kemarahan Allah, bila kemarahan itu tidak diperhatikan. Ciri kemarahan yang benar demikian adalah bersamaan dengan marahnya ada pengampunan. Bila orang yang ditimpa kemarahan memohon ampunan dan menghindarkan dirinya dari penyebab kemarahan Allah, maka akan segera terbit rasa pengampunan tidak ada dendam atau kemarahan berkepanjangan. Hal demikian ini harus berusaha ditiru oleh setiap mukmin. 

وَٱلَّذِينَ يَجۡتَنِبُونَ كَبَٰٓئِرَ ٱلۡإِثۡمِ وَٱلۡفَوَٰحِشَ وَإِذَا مَا غَضِبُواْ هُمۡ يَغۡفِرُونَ [ الشورى:37-37] 

Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka marah mereka memberi maaf. [Ash-Shura:37] 

Ini berbeda dengan kemarahan yang biasa terjadi dalam diri kebanyakan manusia. Kemarahan kebanyakan manusia muncul karena adanya hawa nafsu yang kecewa terhadap sesuatu yang terjadi atas dirinya atau yang ditemuinya. Kemarahan jenis ini cenderung menutup bashirah manusia dan membelokkan manusia dari jalannya menuju Allah bila orang tersebut bertaubat. 

Mencapai Keihsanan 


Kemarahan jenis ini harus ditahan dan dikendalikan agar seseorang tetap dapat melihat jalannya untuk kembali kepada Allah. Seseorang tidak boleh selalu merasa kecewa atas segala sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan dan hawa nafsunya, dan melampiaskan kekecewaannya kepada orang lain. Seringkali komentar buruk dan pelampiasan kekecewaan itu menimbulkan suasana yang tidak nyaman bagi masyarakat di sekitarnya, dan lebih buruk lagi, itu akan menutup bashirahnya kepada Allah. Hatinya akan terguncang dan tidak dapat menempuh perjalanan yang benar menuju Allah. 

ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ فِي ٱلسَّرَّآءِ وَٱلضَّرَّآءِ وَٱلۡكَٰظِمِينَ ٱلۡغَيۡظَ وَٱلۡعَافِينَ عَنِ ٱلنَّاسِۗ وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلۡمُحۡسِنِينَ [ آل عمران:134-134] 

(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan orang lain. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. [Al 'Imran:134] 

Menafkahkan harta di waktu sempit dan lapang, menahan kekecewaan dan amarah, serta memaafkan orang lain merupakan bekal bagi seseorang untuk memperoleh sifat ihsan. Seseorang tidak akan memperoleh sifat ihsan bilamana selalu memandang orang lain dengan cara buruk tidak berusaha memandang dengan bersih, atau membiarkan hatinya diliputi kekecewaan dan kemarahan terhadap segala sesuatu, atau tidak menginfakkan hartanya di waktu sempit atau lapang. Ketiga hal tersebut merupakan bekal agar seseorang dapat melihat wujud ayat-ayat ilahiah yang menghampiri dirinya. Ayat-ayat itu akan mengantarkan seseorang menuju sifat ihsan. 

Mencapai Derajat Muttaqin 


Keihsanan-keihsanan yang diperoleh seseorang akan mengantarkan seseorang menjadi seorang muttaqin bila orang tersebut menempuh perjalanan menuju Allah. Seorang muttaqin adalah orang yang menempuh perjalanan kembali kepada Allah dengan benar, tidak melenceng. 



وَٱلَّذِينَ إِذَا فَعَلُواْ فَٰحِشَةً أَوۡ ظَلَمُوٓاْ أَنفُسَهُمۡ ذَكَرُواْ ٱللَّهَ فَٱسۡتَغۡفَرُواْ لِذُنُوبِهِمۡ وَمَن يَغۡفِرُ ٱلذُّنُوبَ إِلَّا ٱللَّهُ وَلَمۡ يُصِرُّواْ عَلَىٰ مَا فَعَلُواْ وَهُمۡ يَعۡلَمُونَ [ آل عمران:135-135] 

Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui. [Al 'Imran:135] 

Ayat 134 dan 135 surat ali imran menceritakan kriteria seorang muttaqin yang mendapatkan janji ampunan dan surga sebagaimana disebutkan dalam ayat 133. Ayat 134 bercerita tentang kriteria pertama sebagai muttaqin, yaitu sifat muhsinin. Ayat 135 menceritakan tentang langkah lurus yang harus ditempuh oleh seorang muhsin. Ketika seorang telah mendapatkan keihsanan, mungkin saja ia berhenti tidak melangkah menuju Allah atau bahkan kembali ke alam dunia. Untuk mendapatkan kriteria sebagai muttaqin, seorang yang telah ihsan harus melangkah dalam jalan yang benar. 

Ketika orang yang memperoleh sifat ihsan terjebak dalam langkah yang bengkok atau tertarik kembali kepada dunia kemudian ia kembali mengingat Allah dan memohon kepada Allah ampunan bagi dosa-dosa mereka, mereka mungkin akan termasuk ke dalam golongan orang-orang yang muttaqin. Kehidupan dunia adalah kehidupan yang berat bagi makhluk yang berakal, yang menjebak mereka dalam dosa-dosa. Allah Maha Mengetahui keadaan tersebut, dan Allah menciptakan manusia sebagai puncak ciptaan yang dicintai-Nya karena permohonan ampunan yang mereka panjatkan bagi dosa-dosa mereka dalam kehidupan di dunia. Keihsanan dan permohonan ampun bagi dosa merupakan satu hal yang menjadi pengantar seseorang mencapai derajat muttaqin. 

Kadang-kadang seorang manusia yang telah mendapatkan keihsanan tidak menyadari bahwa mereka telah terjebak dalam perbuatan keji, kadang hingga merasa menjadi seorang suci yang tidak tersentuh dosa. Perbuatan keji yang dilakukannya dipandang sebagai perintah Allah yang harus dilaksanakannya. Ini merupakan tipuan syaitan. Setiap orang harus menyadari bahwa dirinya diciptakan di alam dunia yang penuh kesamaran-kesamaran yang mungkin menjebak. 

Selama seorang yang ihsan yang terjebak dalam dosa kemudian mengingat Allah dan memohon ampunan bagi kesalahannya, maka mungkin ia akan dapat memperoleh derajat sebagai seorang muttaqin. Syarat tercapainya derajat itu adalah dirinya tidak meneruskan perbuatan kejinya, dan dirinya mengetahui kesalahan yang telah dilakukannya. Bila ia tidak meneruskan perbuatan kejinya tetapi tidak mengetahui perbuatan keji yang telah dilakukannya, ia belum termasuk dalam derajat muttaqin. Demikian pula bila ia mengetahui perbuatan kejinya tetapi tetap melakukannya, ia tidak termasuk dalam derajat muttaqin. Kedua hal itu harus dilakukan seluruhnya, tidak meninggalkan salah satu di antara keduanya. 

Kesempurnaan Sunnah Rasulullah SAW. 


Bila seseorang mencapai derajat muttaqin, ia akan mendapatkan ampunan Allah dan syurga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Di dalam surga tersebut, orang-orang tersebut akan memperoleh balasan-balasan yang terbaik bagi amal-amalnya di dunia. Di atas surga itu, kenikmatan yang diperoleh bukan lagi karena amal-amal perbuatan manusia, tetapi lebih karena kualitas diri seseorang sehingga Allah memberikan kenikmatan yang lebih baik berasal dari alam-alam selain yang berasal dari kehidupannya di alam dunia. 

أُوْلَٰٓئِكَ جَزَآؤُهُم مَّغۡفِرَةٞ مِّن رَّبِّهِمۡ وَجَنَّٰتٞ تَجۡرِي مِن تَحۡتِهَا ٱلۡأَنۡهَٰرُ خَٰلِدِينَ فِيهَاۚ وَنِعۡمَ أَجۡرُ ٱلۡعَٰمِلِينَ [ آل عمران:136-136] 

Mereka itu balasannya ialah ampunan dari Tuhan mereka dan surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah sebaik-baik pahala orang-orang yang beramal. [Al 'Imran:136] 

Surga bagi golongan muttaqin adalah surga dimana amal-amal perbuatan manusia selama di dunia akan diganjar dengan pembalasan yang terbaik. Akan tetapi masih banyak tingkatan di atas surga tersebut. Setiap manusia diciptakan untuk sebuah kedudukan surga yang tertinggi, terlepas dari kenyataan bahwa tidak setiap manusia dapat mencapai kedudukan surga yang tertinggi tersebut, bahkan sangat banyak manusia yang terjatuh ke neraka. 

Manusia diciptakan di dunia ini sebagai masterpiece ciptaan-Nya. Rasulullah, khalilullah dan khalifatullah diciptakan dari kalangan manusia, makhluk yang diciptakan dari bumi yang merupakan alam terjauh dari sumber cahaya Allah. Setiap manusia sebenarnya juga diciptakan sebagai masterpiece ciptaannya pada kedudukan masing-masing, akan tetapi kebanyakan manusia melangkah menuju kegelapan. Bila seseorang mencapai kedudukan untuk apa penciptaannya, dirinya akan memperoleh sumber mata air di surganya. Sumber mata air ini merupakan hal yang lebih baik daripada sungai-sungai. 

Kedudukan ini dapat dicapai hanya dengan mengikuti Rasulullah SAW dan millah Ibrahim a.s. Beliau berdua adalah uswatun hasanah bagi manusia yang paling mengenal dengan sebaik-baiknya rahmaniah dan rahimiah Allah. Mengikuti langkah uswatun hasanah adalah menginternalisasi sifat rahman dan rahim dalam jiwanya dan mewujudkannya dalam amal-amalnya. 

Pernikahan menjadi sunnah rasulullah SAW yang sangat ditekankan, karena itu yang akan mengantarkan seseorang dalam menginternalisasi dan menumbuhkan sifat rahman dan rahim Allah dalam jiwanya. Bila pernikahan rusak, seseorang yang baik mungkin akan tumbuh sebagai manusia yang bersifat rahman dan rahim, tetapi sifat-sifat itu hanya akan tumbuh kerdil tidak terlihat tumbuh besar. Sifat-sifat baiknya hanya akan terlihat kecil, walaupun berusaha keras untuk menjadi baik, ibarat tanaman yang media tumbuhnya buruk akan tumbuh tidak subur. 

Pernikahan akan memberikan jalan sunnah kepada manusia dari awal perjalanan hingga mencapai kedudukan tertingginya. Dalam posisi seseorang untuk mencapai muttaqin, seorang yang ihsan harus menghindari perbuatan keji. Gambaran keberadaan sifat keji dalam diri seseorang itu mudah terlihat jelas dalam pernikahan. Seorang perempuan harus bermakmum kepada suaminya tidak mencari imam bagi jiwanya dalam figur laki-laki lain. Seorang laki-laki tidak boleh menjalin hubungan batin dengan perempuan bersuami. Pernikahan merupakan perpanjangan wujud entitas ghaib dalam diri yang memudahkan manusia mengelola seluruh entitas dalam dirinya. Seluruh entitas itu merupakan tangga untuk berjalan menuju Allah. Jiwa merupakan imam bagi raga, ruh qudus menjadi imam bagi jiwa, sedangkan ruh qudus akan memperkenalkan seseorang pada kedudukan rasulullah SAW sebagai pemimpin segenap ciptaan. 

Ikatan pernikahan merupakan perpanjangan tangga yang paling nyata menuju Allah. Allah memanjangkan tangga itu dalam wujud suami sebagai imam dan istri sebagai makmum. Bila seseorang melakukan perbuatan melanggar ikatan pernikahan, itu adalah perbuatan keji walaupun tidak mewujud dalam perzinaan. Perzinaan merupakan wujud paling nyata dari perbuatan keji. Itu merupakan Bila hal itu terjadi, hendaknya setiap orang berusaha untuk mengenali bahwa perbuatan itu akan membelokkan perjalanannya menuju Allah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar