Pencarian

Senin, 24 Agustus 2020

Menemukan Kesenangan Di Sisi Allah (8)

Memaafkan ketika Marah


Langkah ketiga untuk memperoleh kesenangan dari sisi Allah adalah memaafkan ketika marah. 

وَٱلَّذِينَ يَجۡتَنِبُونَ كَبَٰٓئِرَ ٱلۡإِثۡمِ وَٱلۡفَوَٰحِشَ وَإِذَا مَا غَضِبُواْ هُمۡ يَغۡفِرُونَ [ الشورى:37-37] 

Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka marah mereka memberi maaf. [Ash-Shura:37] 

Marah merupakan hal yang sering terjadi, baik pada orang-orang yang berakhlak buruk ataupun orang-orang yang berakhlak mulia. Bahkan rasulullah SAW juga mengalami rasa marah ataupun rasa senang sebagaimana manusia dapat mengalami rasa senang maupun rasa marah. 

Rasûlullâh SAW bersabda : 

إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ أَرْضَى كَمَا يَرْضَى الْبَشَرُ وَأَغْضَبُ كَمَا يَغْضَبُ الْبَشَرُ 

Aku ini hanya manusia biasa. Aku bisa senang sebagaimana manusia senang, dan aku bisa marah sebagaimana manusia marah. (HR Muslim, no. 2603). 

Hadits tersebut menjadi penjelasan bahwa rasulullah SAW juga mengalami rasa senang ataupun rasa marah sebagaimana manusia. Walaupun mengalami rasa marah dan senang yang sama, tetapi tentu ada perbedaan dalam segala sesuatu terkait rasa marah dan senangnya. 

Gambaran Marahnya Para Nabi 


Secara umum, kemarahan para nabi akan muncul bilamana umatnya mengalami penyesatan, baik karena perbuatan syaitan ataupun karena hawa nafsu umatnya. Hal yang paling membuat marah seorang nabi adalah perbuatan-perbuatan yang menimbulkan kemurkaan Allah SWT. Itu adalah penyesatan. Demikian pula memperdebatkan kepingan-kepingan kebenaran tanpa berusaha untuk memahami kebenaran secara utuh sebagaimana kehendak Allah bagi manusia merupakan penyesatan melalui hawa nafsu manusia. Setiap orang harus berusaha bertindak mengikuti kebenaran yang diketahuinya dengan ikhlas, tidak memperdebatkan kebenaran itu dengan yang lain. Syaitan benar-benar berusaha agar manusia memperkatakan tentang Allah tanpa dasar pengetahuan. Demikian pula syaitan berusaha memerintahkan manusia untuk melakukan perbuatan-perbuatan keji dan perbuatan-perbuatan berdasarkan keburukan-keburukan manusia. 

Contoh penyesatan kaum seorang nabi diceritakan dalam kisah nabi Musa a.s ketika beliau meninggalkan umatnya untuk menghadap kepada rabb-nya. Nabi Musa a.s kembali dari gunung Sinai dalam keadaan marah besar kepada seluruh kaumnya yang telah berbuat mengikuti langkah syaitan yang akan menimbulkan kemurkaan Allah SWT. 



فَرَجَعَ مُوسَىٰٓ إِلَىٰ قَوۡمِهِۦ غَضۡبَٰنَ أَسِفٗاۚ قَالَ يَٰقَوۡمِ أَلَمۡ يَعِدۡكُمۡ رَبُّكُمۡ وَعۡدًا حَسَنًاۚ أَفَطَالَ عَلَيۡكُمُ ٱلۡعَهۡدُ أَمۡ أَرَدتُّمۡ أَن يَحِلَّ عَلَيۡكُمۡ غَضَبٞ مِّن رَّبِّكُمۡ فَأَخۡلَفۡتُم مَّوۡعِدِي 

قَالُواْ مَآ أَخۡلَفۡنَا مَوۡعِدَكَ بِمَلۡكِنَا وَلَٰكِنَّا حُمِّلۡنَآ أَوۡزَارٗا مِّن زِينَةِ ٱلۡقَوۡمِ فَقَذَفۡنَٰهَا فَكَذَٰلِكَ أَلۡقَى ٱلسَّامِرِيُّ 

[ طه:86-87] 

Kemudian Musa kembali kepada kaumnya dengan marah dan bersedih hati. Berkata Musa: "Hai kaumku, bukankah Tuhanmu telah menjanjikan kepadamu suatu janji yang baik? Maka apakah terasa lama masa yang berlalu itu bagimu atau kamu menghendaki agar kemurkaan dari Tuhanmu menimpamu, dan kamu melanggar perjanjianmu dengan aku?" 

Mereka berkata: "Kami sekali-kali tidak melanggar perjanjianmu dengan kekuasaan kami sendiri, tetapi telah dibebankan kepada kami beban-beban perhiasan kaum tersebut, maka kami telah menumbuhkannya, demikian pula Samiri melemparkan", [Ta Ha:87] 

Suatu kaum akan berbuat sesuatu yang membuat Allah SWT murka bila kaum tersebut mengikuti langkah-langkah syaitan menyelisihi perjanjian dengan rasulullah. Seringkali kaum tersebut tidak merasa bahwa mereka telah mengikuti langkah-langkah syaitan, sebagaimana bani Israel tidak merasa menyelisihi perjanjian mereka dengan nabi Musa a.s. 

Langkah kesesatan mereka berawal dari tumbuhnya kecintaan pada perhiasan-perhiasan duniawi. Ketika bani Israel pergi dari negeri Mesir dan tiba di gunung Sinai, sebagian dari mereka membawa perhiasan-perhiasan dari negeri mesir. Perhiasan-perhiasan yang mereka bawa itu kemudian menumbuhkan kecintaan di dalam hati mereka, dan Samiri kemudian melemparkan kesesatan ke dalam hati melalui kecintaan terhadap perhiasan-perhiasan dunia yang telah tumbuh dalam hati mereka. 

Kesesatan tersebut kemudian diwujudkan oleh Samiri dalam suatu bentuk ilah (tuhan) berupa patung anak sapi emas yang mengeluarkan suara. Patung itu tampak dalam pandangan mereka sebagai tuhan (ilah) yang benar bagi mereka, dan bahkan dalam pandangan mereka seperti itu pula-lah tuhan (ilah) yang disembah nabi Musa a.s, akan tetapi nabi Musa a.s kemudian melupakannya. Mereka benar-benar menganggap patung anak sapi emas itu sebagai tuhan (ilah) yang benar. 

Hal ini dapat terjadi karena Samiri mencampurkan jejak-jejak rasul ke dalam patung anak sapi tersebut, dan karena bani Israel tidak terlepas dari pengaruh penyembahan patung Ba’al yang dilakukan oleh orang-orang mesir. Faktor pertama, jejak sang Rasul memberikan sedikit citra ilahiah pada patung anak sapi emas bagi bani Israel yang kemudian mengelabui pandangan mereka. Mencampurkan kebenaran bersama kebatilan merupakan persoalan yang sulit untuk dinilai dengan pandangan yang benar. Faktor lainnya, penyembahan patung Ba’al merupakan turunan dari penyembahan terhadap dewa matahari Ra, yang kemudian dianggap bani Israel sebagai sama dengan tuhannya Musa a.s. Bashirah bani Israel terkelabui oleh syaitan. Sebenarnya patung tersebut tidak menggambarkan bentuk Ba’al, tetapi hanya bentuk para iblis penguasa bumi pengikut Ba’al yang masih tersisa di bumi, yang banyak tinggal di daerah lautan liar. 

Murka Allah kepada manusia bukanlah karena keinginan-Nya untuk disembah. Segenap sembah sujud seluruh makhluk tidak akan mempunyai arti bagi keagungan diri-Nya sedikitpun. Makhluk diperintahkan beribadah hanya kepada-Nya semata-mata agar manusia menjadi makhluk yang layak dicintai-Nya tidak melenceng sedikitpun dalam meningkatkan kualitas dirinya dalam akhlak yang mulia. Akhlak al-karimah itu hanya akan terbentuk bila seorang makhluk berusaha untuk dekat kepada-Nya. Untuk dekat kepada-Nya, seseorang harus beribadah semata-mata hanya kepada Allah, tidak boleh mempunyai tujuan yang lain. Ibadah kepada wujud-wujud yang lain akan membuat akhlak menjadi buruk. Seluruh ibadah harus dimurnikan hanya kepada Allah agar manusia memiliki akhlak yang mulia. 

Kemarahan seorang nabi juga akan tampak bila suatu kebenaran dipahami dengan cara yang salah. Rasulullah SAW diceritakan merasa marah ketika beberapa sahabat mempertentangkan satu ayat dengan ayat yang lain. Beliau SAW memerah wajahnya karena marah akibat pertentangan itu dan kemudian melemparkan batu-batu kecil ke arah sahabat-sahabat yang berdebat. Beliau memerintahkan para sahabat untuk mengikuti segala sesuatu yang telah diketahuinya dan meninggalkan apa-apa yang belum diketahuinya, dan beliau SAW menjelaskan bahwa satu ayat dengan ayat yang lain adalah saling menguatkan, tidak untuk dipertentangkan. 

beberapa Shahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sedang duduk-duduk di dekat rumah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallm, tiba-tiba di antara mereka ada yang menyebutkan salah satu dari ayat al-Qur-an, lantas mereka bertengkar sehingga semakin keras suara mereka, lalu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam keluar dalam keadaan marah dan merah mukanya, sambil melemparkan kerikil dan bersabda: Tenanglah wahai kaumku! Sesungguhnya cara seperti ini (bertengkar) telah membinasakan umat-umat sebelum kalian, yaitu mereka menyelisihi para Nabi mereka serta mereka ber-pendapat bahwa sebagian isi kitab itu bertentangan sebagian isi kitab yang lain. Ingat! Sesungguhnya al-Quran tidak turun untuk mendustakan sebagian dengan sebagian yang lainnya, bahkan ayat-ayat al-Quran sebagian membenarkan sebagian yang lainnya. Karena itu amalkanlah apa yang telah kalian ketahui darinya, dan tinggalkanlah apa yang kalian tidak ketahui darinya hingga kalian mengetahuinya.” HR. Ahmad (II/195, 196) 

Setiap orang harus berhati-hati untuk bertindak. Seluruh perbuatan manusia harus didasarkan pada suatu keinginan untuk memperoleh akhlak mulia, suatu bentuk jiwa yang layak hadir di hadapan Ar-rahman Ar-rahiim. Seluruh tindakan harus dilandaskan pada sifat rahman-rahiim, bukan berlandaskan penilaian dan perasaan benar-salah menurut hawa nafsu manusia. Manusia harus berusaha bertindak benar, akan tetapi pengetahuan kebenaran manusia sebenarnya terbatas. Syaitan sebenarnya juga menggiring manusia pada kepingan-kepingan kebenaran dan meyakinkannya bahwa mereka telah memperoleh kebenaran. Syaitan benar-benar memerintahkan manusia untuk memperkatakan tentang Allah dengan sesuatu yang tidak diketahuinya. 

Tindakan manusia harus bersesuaian dengan kitabullah. Syaitan sangat ahli menyeret manusia menuju kesesatan dengan perbuatan keji tanpa dirasakan oleh manusia, dengan mencampurkan kebenaran dengan kebatilan. Bani Israel telah merasakan bagaimana mereka telah menyelisihi perjanjian mereka dengan nabi Musa a.s tanpa merasa telah menyelisihinya. Dalam pandangan mereka, ubudiyah mereka ketika menyembah patung anak sapi dijadikan syaitan tampak sama dengan ubudiyah nabi Musa a.s kepada rabb-nya. Kecintaan terhadap perhiasan-perhiasan dunia telah menyeret mereka menyelisihi perjanjian mereka dengan nabi-Nya tanpa menyadarinya. 

Pada puncaknya, syaitan akan membuat fitnah dengan menjadikan perbuatan keji tampak sebagai perintah Allah. Fitnah ini derajatnya mendekati fitnah yang menimpa Adam a.s di surga ketika Allah SWT berkehendak menjadikan seorang khalifah di bumi. Syaitan mencampurkan kebenaran dengan kebatilan. Perempuan beriman dijadikan sebagai fitnah bagi laki-laki untuk perbuatan keji, tetapi manusia mengatakan bahwa perbuatan keji itu sebagai perintah Allah. Perempuan beriman dijadikan tampak sebagai perhiasan jiwa, padahal syaitan menarik manusia melakukan perbuatan keji. Kitabullah harus dijadikan pedoman agar manusia tidak tergelincir dalam perbuatan keji mengikuti langkah-langkah syaitan. 

Memaafkan Bila Marah 


Demikianlah gambaran rasa marah para nabi terhadap umatnya. Kemarahan mereka bukan kemarahan karena hawa nafsu yang salah, tetapi karena benar-benar merasakan bahwa umatnya terancam. Bila ada pihak yang dirugikan karena sikap atau perbuatan seseorang atau sekelompok orang, maka para nabi akan marah. Demikian pula bila ada gejala pada umatnya mengarah ketersesatan, nabi akan menampakkan kemarahannya. Seluruh makhluk harus diajak untuk menuju keselamatan dan kemuliaan melalui jalan-Nya, bila makhluk tersebut mendengarkan. 

Umat manusia hendaknya berusaha mengikuti langkah para nabi. Secara umum, manusia diperintahkan untuk menahan kemarahannya karena kebanyakan rasa marah timbul karena hawa nafsu rendah yang memperjuangkan hal duniawi, harga diri dan lain-lain. Menahan rasa marah akan mengantarkan seseorang untuk bersabar, yaitu bersikap benar karena mendapatkan pengetahuan tentang kehendak Allah dalam segala musibah yang menimpa dirinya. Tanpa pengetahuan tentang kehendak Allah dalam musibah yang menimpanya, seseorang belum dikatakan bersabar, walaupun menahan marahnya. 

Sebaliknya, kemarahan para nabi bukanlah lawan dari sikap tidak sabar. Kemarahan mereka adalah marah berdasarkan pengetahuan terhadap kehendak Allah. Kemarahan mereka adalah bentuk kesabaran mereka, karena berdasarkan pengetahuan terhadap kehendak Allah. Barangkali bentuk kemarahan itu sama dengan bentuk kemarahan orang kebanyakan sebagaimana sabda nabi, akan tetapi esensi dari kemarahan itu sangat berbeda dengan kemarahan kebanyakan orang. 

Bilamana seseorang bisa memperoleh kesabaran sebagaimana kesabaran para nabi, maka hendaknya dia bersikap dengan selayaknya. Marahnya harus disampaikan bilamana Allah menghendaki dia marah, dan harus segera memaafkan bilamana Allah menghendakinya untuk memaafkan. Bilamana seseorang tidak memperoleh khabar yang lengkap tentang sesuatu yang menimpa dirinya, maka hendaknya dia menahan amarahnya dan memberikan maaf bila seseorang menerbitkan amarah dalam dirinya. Bilamana dia mengetahui khabarnya akan tetapi tidak mengetahui apa yang menjadi kehendak Allah atas peristiwa itu, maka hendaknya dia memerintahkan berbuat makruf dan mencegah kemungkaran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar