Pencarian

Kamis, 16 April 2020

Mawaddah dan Peran Sosial Wanita


Sebagian masyarakat mengalami kebingungan untuk mensikapi gerakan feminisme yang memperjuangkan kesetaraan gender. Feminisme adalah serangkaian gerakan sosial, gerakan politik, dan ideologi yang memiliki tujuan untuk mendefinisikan, membangun, dan mencapai kesetaraan gender di lingkup politik, ekonomi, pribadi, dan sosial (wikipedia). 

Kebingungan itu karena semua orang dengan jelas melihat ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang tidak dapat dipersamakan, akan tetapi feminis dapat memberikan alasan-alasan yang terlihat masuk akal. Hal ini merupakan penggunaan metode kebenaran setengah dalam berpikir. Banyak persamaan dan perbedaan antara seorang laki-laki dan perempuan, dan hanya digunakan satu atau sebagian sisi sebagai bahan berpikir. Permasalahan semacam ini dapat dientaskan dengan pemahaman yang komprehensif tentang manusia berdasarkan agama. 

Perbedaan Untuk Pemakmuran 


Banyak persamaan dan perbedaan antara seorang laki-laki dan perempuan. Sebenarnya hal itu menjelaskan sebuah ayat yang besar untuk mengenal Allah. Persamaan dan perbedaan antara seorang laki-laki dan perempuan itu harus dilihat sebagai turunan dari satu kesatuan, karena pada dasarnya laki-laki dan perempuan diciptakan dari satu entitas berupa nafs wahidah. Integrasi atau penyatuan dari turunan itu akan memperkenalkan manusia pada suatu keadaan yang akan menjadikan manusia mengenal sifat Allah kepada hamba-Nya dalam hubungan yang khusus berupa rasa mawaddah dan rahmah. 



وَمِنۡ ءَايَٰتِهِۦٓ أَنۡ خَلَقَ لَكُم مِّنۡ أَنفُسِكُمۡ أَزۡوَٰجٗا لِّتَسۡكُنُوٓاْ إِلَيۡهَا وَجَعَلَ بَيۡنَكُم مَّوَدَّةٗ وَرَحۡمَةًۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَأٓيَٰتٖ لِّقَوۡمٖ يَتَفَكَّرُونَ ٢١ [ الروم:21] 

Dan di antara tanda-tanda-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jiwamu sendiri, supaya kamu berdiam tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa mawaddah dan rahmah. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. [Ar Rum:21] 



Setiap orang memulai kehidupannya sendiri, sebelum bertemu dengan pasangannya dan kemudian menikah untuk mengintegrasikan kehidupan mereka. Integrasi ini merupakan suatu hal yang tidak mudah bila kedua pihak tidak bermaksud mengarahkan kehidupan pada tujuan yang sama. 

Bagi mukminin, tujuan bersama itu adalah menjadi saksi Allah yang benar. Pernikahan akan mengantarkan pasangan yang menikah untuk memperoleh agama masing-masing. Tujuan inilah yang akan mengintegrasikan kehidupan kaum mukminin dalam keluarga sehingga mereka memperoleh rasa mawaddah dan rahmah. Dari dua entitas yang mempunyai banyak persamaan dan perbedaan itu akan tumbuh rasa mawaddah dan rahmah bila terjadi integrasi keduanya menuju pengenalan terhadap cahaya Allah. 

Allah menciptakan banyak permisalan bagi cahaya-Nya agar seorang manusia dapat mengenal-Nya. Dengan mengenal cahaya-Nya yang berupa cahaya di atas cahaya, seseorang menjadi Khalifatullah. Kunci untuk mengenal cahaya-Nya adalah dengan mengenal dirinya. Persamaan dan perbedaan antar gender dalam pernikahan merupakan wujud parallel perpanjangan dari diri seorang manusia agar manusia dapat melihat uraian dan rincian dirinya di alam yang terlihat sehingga dirinya dapat berkembang menjadi khalifatullah, manusia yang mampu mengenal Allah sehingga menjadi wakil Allah di bumi. Permisalan cahaya itu dapat dikenali melalui pernikahan sehingga seseorang menjadi khalifatullah. Rumah tangga adalah tangga pertama untuk mengenal Allah. 

Seorang khalifatullah memiliki jasmani yang harus memimpin makhluk bumi namun tidak mempunyai kemampuan mengenal cahaya-Nya, memiliki nafs yang harus memimpin jasmaninya karena dapat mengenal cahaya-Nya, dan diberi ruh qudus sebagai pembawa amr Allah. Entitas khalifatullah itu dipanjangkan dalam wujud jasmaniah berupa wujud suami istri yang mempunyai peran masing-masing, yaitu suami sebagai manusia yang jiwanya mampu mengenal cahaya Allah, dan Istri yang jiwanya menjadi pemimpin alam jasmani bagi suaminya, dan keduanya harus mengabdi bersama kepada Allah dari alam mulkiyah. Suami-istri adalah cerminan dari jiwa dan jasad seseorang dalam wujud yang nyata. Seorang suami tidak akan sukses di alam dunia tanpa didampingi istri yang baik, dan seorang istri tidak dapat menunaikan hak Allah tanpa menunaikan hak suami. 

Karena itulah pernikahan menjadi setengah bagian dari agama sebagai jalan untuk mengenal Allah. Setiap individu diberi hal yang sama sekaligus berbeda. Kesamaan itu akan memberikan bekal untuk kemudahan dalam integrasi dua entitas yang berasal dari satu, dan perbedaan dapat memberikan rasa saling membutuhkan satu sama lain, dan memperkenalkan rasa cinta di antara mereka. Rasa cinta di antara dua manusia yang sama tetapi berbeda itu adalah mawaddah dan rahmah, yang harus ditumbuhkan melalui dan dalam pernikahan. Mawaddah dan rahmah yang tumbuh dalam pernikahan itu akan memperkenalkan mereka kepada Allah. Itu yang akan menjadi kunci pemakmuran dunia. 

Dalam beberapa kasus gagalnya integrasi dalam pernikahan, sepasang suami isteri dapat tersesat dalam beragama tanpa merasakannya. Seorang suami bisa benar-benar mengunci keselamatan istrinya, dan seorang istri benar-benar menjadi pengunci bagi dunia suaminya, tanpa ada sedikitpun celah, sementara keduanya merasa berada pada jalan yang benar. Dalam kasus demikian, sikap pihak-pihak dalam pernikahan dapat menjadi parameter yang menunjukkan lurus atau sesatnya seseorang dalam beragama. Dengan sikap yang benar dalam pernikahan, boleh diharapkan keberhasilan penyatuan dua entitas yang diciptakan dari asal yang satu itu sehingga akan dapat memindahkan mereka menuju keadaan yang samasekali berbeda. 

Pondasi dan Arah dalam Membangun Mawaddah 


Bila dilihat hanya dari parameter duniawi, kesetaraan antar gender boleh jadi perlu ditegakkan, atau juga tidak. Dalam usaha individual untuk pencapaian duniawi, seorang istri boleh jadi bisa melampaui pencapaian suaminya, bahkan perempuan sebenarnya memiliki kelebihan dalam merasakan dinamika dunia. Tetapi bila dihitung secara menyeluruh, pencapaian model kompetisi itu tidak akan membawa kemakmuran bagi masyarakat. Laki-laki diciptakan dengan jasmani, jiwa dan ruh, demikian pula istrinya diciptakan sama. Keduanya bisa mengembangkan jiwa dan jasmani masing-masing secara terpisah. Akan tetapi tidak akan mampu menjadi khalifatullah tanpa melakukan dan merawat pernikahan. 

Allah menciptakan manusia berpasangan agar dapat mengenal Allah, bukan untuk saling berkompetisi. Keberpasangan adalah ayat-ayat yang memperkenalkan manusia kepada nama dan sifat-Nya. Setiap orang harus berusaha mengenali dan menempati kedudukan dirinya untuk mengenal dan memperkenalkan ayat Allah. Perbaikan dan pemakmuran di alam dunia ini hanya akan terjadi dengan mengenal ayat Allah. Tanpa hal demikian, kesulitan akan menimpa alam semesta. Manusia merasa melakukan perbaikan tetapi sebenarnya melakukan perusakan. 

Mengenali dan menjalankan peran masing-masing bagi pasangannya inilah yang akan menumbuhkan mawaddah dan rahmah. Seorang suami harus membangun visi perjalanan untuk mengenal Allah dan memimpin istrinya dalam beramal sesuai dengan kehendak-Nya. Seorang istri harus berusaha memperhatikan dan meresapi apa yang disampaikan suami kepadanya dan mendoakan agar visi suaminya dapat terwujud. Bila ada rasa syukur, akan terbuka rasa mawaddah dan rahmah. Seorang istri akan mencintai suaminya yang membimbingnya kepada Allah, dan seorang suami akan mencintai istrinya yang mengungkapkan khazanah dunia bagi dirinya. 

Bagi seorang wanita, rasa mawaddah dan rahmah yang tumbuh dalam hatinya akan mentransformasinya untuk memiliki sifat-sifat wanita ahli surga. Sifat-sifat itu adalah tujuan perjalanan setiap wanita, karena dirinya diciptakan untuk mewujudkan rahimiyah Allah. Ini berbeda dengan laki-laki yang tujuan perjalanannya adalah mengenal cahaya Allah. Pengenalan terhadap cahaya Allah akan diperoleh wanita melalui suaminya bila dirinya mempunyai sifat-sifat wanita ahli surga. 

Rasulullah bersabda : ingatlah, aku telah memberitahu kalian tentang istri-istri kalian yang akan menjadi penduduk surga, yaitu yang penyayang, banyak anak, dan banyak kembali kepada suaminya; yang jika ia menyakiti suaminya atau disakiti, ia akan segera datang hingga berada di pelukan suaminya, kemudian berkata : Demi Allah, aku tidak bisa memejamkan mata hingga engkau meridhaiku (HR Baihaqi). 

Sifat pertama wanita penduduk surga adalah penyayang (al-waduud). Penyayang menunjukkan sifat wanita yang banyak berharap pada suaminya untuk memberikan visi perjalanan menuju Allah. Seorang suami adalah jalan baginya untuk dapat mengabdi kepada Allah dengan benar, maka dirinya banyak berharap. Seorang wanita tidak bisa menunaikan hak tuhannya kecuali setelah menunaikan hak suaminya. 

Sifat kedua adalah banyak anak (al-waluud). Wanita diberikan jalan yang sangat lapang, berupa rahim untuk mengenal kasih sayang dengan melahirkan anak-anak. Anak-anak akan menumbuhkan dalam diri wanita kasih sayang yang sangat besar, dan kasih sayang itu melontarkan dirinya pada derajat tinggi. Banyaknya anak akan semakin mengenalkan dirinya pada kasih sayang. 

Tidak setiap wanita mudah untuk mendapatkan keturunan, akan tetapi secara bathin setiap wanita selalu diberi jalan untuk bersifat subur dengan memperhatikan dan membantu keberhasilan visi perjalanan yang diperoleh suaminya melalui harapan dan doa seorang istri. Itu adalah sifat kesuburan yang sebenarnya. Hal ini akan terlihat jelas pada jiwa yang berpasangan sejati bila keduanya bersyukur. Istri akan diberi kemudahan mengerti visi suaminya dan berjalan selaras bersama. 

Terwujudnya visi perjalanan suami ke alam dunia merupakan kelahiran bagi mereka dalam wujud yang lain. Itu merupakan berkah kesuburan seorang istri. Dengan kesuburan seorang istri, jalan rezeki bagi rumah tangga itu akan terbentuk. 

Sifat ketiga wanita penduduk surga adalah selalu kembali kepada suaminya. Suaminya harus menjadi kesukaan dan kesenangan bagi dirinya, sedemikian hingga apapun masalah yang menimpa di antara mereka, harapannya adalah suaminya dapat kembali bersama dirinya seakan-akan tidak pernah terjadi masalah di antara keduanya. 


Penerapan Aktual 


Pembagian peran menurut jati diri sebagaimana hal di atas tidaklah membatasi bidang pekerjaan profesional bagi setiap gender. Sepasang suami istri dapat berbagi tugas dalam memenuhi kebutuhan kehidupan sesuai dengan kesepakatan, selama hal itu tidak mendzalimi salah satu pihak dan tidak mencederai prinsip berumah tangga untuk mengenal Allah. Amal shalih harus dapat dilakukan oleh seorang laki-laki agar rumah tangga tersebut melahirkan seorang laki-laki sebagai khalifatullah. Rumah tangga tidak boleh terjebak dalam upaya pemenuhan kebutuhan bagi mereka semata-mata. 

Bilamana tidak ada sistem sosial yang menjamin tercukupinya kebutuhan bagi rumah tangga yang suaminya berjuang untuk melakukan amal shalih, perjuangan seorang istri memenuhi kasab bagi mereka adalah jihad bila tidak disertai keluhan. Seorang suami akan mempertanggungjawabkan hal tersebut sepenuhnya selama istri mentaatinya. Seorang istri akan menjalani sidang yang rumit atas tuntutannya ke hadirat Allah terhadap suami yang berjuang bagi agama Allah. Suaminya kelak akan menuntut balik tentang ketidakpahamannya atas perjuangannya di jalan Allah. 

Demikian pula pembagian peran itu tidak membatasi amal shalih seorang istri bagi masyarakat sosial. Kadangkala seorang istri mempunyai kemampuan atau kelebihan tertentu yang dapat disumbangkan bagi masyarakat, terpisah dari visi suaminya tentang kehendak Allah bagi mereka, atau bila suaminya tidak mempunyai visi terhadap kehendak Allah. Amal shalih ini sangat baik untuk dilaksanakan selama kebutuhan suaminya untuk menjalankan visinya tentang kehendak Allah telah terpenuhi. Sebaliknya, semua keinginan seorang istri untuk memberi sumbangsih bagi masyarakat sosial adalah sebuah tipuan bilamana suaminya tidak pernah mendapatkan perhatian dalam menjalankan visinya. Bahkan bila kebetulan melakukan sesuatu sesuai dengan visi suaminya, tetapi mengabaikan suaminya, sebenarnya wanita itu bisa tidak mendapatkan apa-apa. Yang diperoleh adalah bagian yang diperhatikannya dari suaminya. Tiap wanita harus memberikan perhatian bagi setiap visi yang diperoleh suaminya, tidak boleh mengabaikan. 

Setiap wanita dan umat manusia hendaknya tidak terhasut untuk menuntut kesetaraan gender secara serampangan. Hawa nafsu lebih berperan dalam tuntutan itu daripada kebenaran. Keberpasangan itu harus dipahami secara komprehensif. Pasangan suami istri harus dapat bekerja sama saling membantu untuk melakukan integrasi dalam pernikahan sehingga terlahirkan khalifatullah melalui rumah tangga tersebut. Khalifatullah merupakan makhluk baru yang tidak sama dengan seorang laki-laki biasa, yang tidak akan terlahir tanpa peran istri yang baik. Peran sosial wanita terbaik adalah mewujudkan kehendak Allah melalui suaminya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar