Pencarian

Selasa, 13 Oktober 2020

Menemukan Kesenangan Di Sisi Allah (15)


Menegakkan Shalat (2)

Memelihara Amanat


Ada sebuah fase yang sangat penting dalam kehidupan seseorang yang menjadi tanda bahwa perjalanan kembali menuju Allah berada pada jalan yang benar. Fase itu adalah pengenalan jati diri sebagaimana yang telah ditetapkan Allah bagi dirinya sebelum kelahirannya ke bumi. Dengan pengenalan jati diri tersebut, seseorang akan mengenal amal-amal yang harus dilaksanakannya sebagai ibadahnya kepada Allah. Amal itu adalah amal yang ditetapkan sebelum kelahirannya, yang akan menjadi amal shalih bagi dirinya. Amal itu adalah amanah Allah yang dikalungkan bagi dirinya. Melaksanakan amal-amal itu adalah shirat al mustaqim yang harus ditempuhnya.


وَكُلَّ إِنْسَانٍ أَلْزَمْنَاهُ طَائِرَهُ فِي عُنُقِهِ ۖ وَنُخْرِجُ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ كِتَابًا يَلْقَاهُ مَنْشُورًا﴿١٣﴾



Dan tiap-tiap manusia itu telah Kami tetapkan amal perbuatannya (sebagaimana tetapnya kalung) pada lehernya. Dan Kami keluarkan baginya pada hari kiamat sebuah kitab yang dijumpainya terbuka. (QS al-Israa’ : 13)


Dalam kehidupan di dunia, ada amal-amal perbuatan yang telah ditetapkan bagi setiap manusia. Tidak setiap perbuatan yang dilakukan oleh manusia adalah amal-amal yang telah ditentukan Allah. Ada manusia-manusia yang melakukan perbuatan-perbuatan maksiat yang justru bertentangan dengan amal-amal yang telah ditetapkan baginya, ada yang melakukan perbuatan hanya berdasarkan kepentingan dirinya sendiri, sebagian mengerjakan amal untuk kebaikan masyarakat, dan sebagian mengerjakan amal yang telah ditentukan Allah bagi dirinya. Setiap orang mengerjakan amal dengan keadaan masing-masing.

Amal yang telah ditentukan Allah itu adalah amanah. Pelaksanaan amanah-amanah itu akan menjadikan akal seseorang tumbuh dengan baik untuk memahami kehendak Allah. Amanah-amanah itu adalah amal-amal yang akan membukakan kitab diri seseorang. Kitab diri itu akan membukakan khazanah Allah kepada seseorang melalui khazanah yang tersimpan di dalam dirinya. Kitab diri itu merupakan bagian dari alquran yang diperuntukkan bagi seseorang.

Bentuk pengenalan jati diri bukanlah sebuah pengenalan yang berfokus tentang diri sendiri. Pengenalan jati diri adalah mengenal kedudukan diri sendiri dalam perjuangan kebenaran secara universal. Puncak pengenalan diri adalah musyahadah bahwa tiada Ilah selain Allah, dan bahwasanya Muhammad SAW adalah rasulullah. Itu adalah segel bagi setiap orang dalam mengenal jati dirinya. Hal terpenting dalam pengenalan diri adalah mengenal dengan sungguh-sungguh rasulullah SAW dan perjuangannya. Persaksian ini akan menjadikan pengenalan diri seseorang menjadi teguh. Tanpa persaksian ini, seseorang sebenarnya tidak terlalu teguh dalam pengenalan diri, karena iblis pun sebenarnya menginginkan menghantarkan adam kepada pohon khuldi.

Tidak ada amanah yang terbuka tanpa berkaitan dengan alquran. Ada orang-orang yang berusaha menemukan jati dirinya dengan berusaha keras mengidentifikasi kelebihan dan kekurangan yang ada pada dirinya. Itu adalah usaha yang sulit untuk dilakukan, sebagaimana sulitnya menemukan jejak ikan di air yang mengalir. Ada jejak ikan di air, tetapi sulit untuk menemukannya. Dan sebenarnya bila metode itu saja yang dilakukan, hal itu akan berbahaya. Iblis besar telah bersumpah di hadapan Allah bahwa dirinya akan duduk bagi manusia di shirat al mustaqim.

قَالَ فَبِمَا أَغْوَيْتَنِي لَأَقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرَاطَكَ الْمُسْتَقِيمَ﴿١٦﴾

Iblis menjawab: "Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan duduk bagi mereka dari jalan Engkau yang lurus, (QS Al-A’raaf : 16)


Metode yang lebih mudah dan aman dilakukan seseorang untuk mengenali amanah bagi dirinya adalah menemukan bagian-bagian alquran yang diperuntukkan bagi dirinya. Sebenarnya Allah menurunkan satu buah urusan besar bagi seluruh makhluk-Nya, dan urusan besar itu kemudian dibagi-bagi dalam setiap zaman sedemikian sehingga setiap manusia memiliki bagian dalam urusan itu. Urusan besar itu adalah pengutusan nabi Muhammad SAW sebagai rasul-Nya. Dengan memahami urusan rasulullah SAW di zaman modern kehidupannya, seseorang dapat menemukan bagian dirinya dalam perjuangan rasulullah SAW melalui bagian alquran bagi dirinya.


Ketika memperoleh bagian dalam perjuangan rasulullah SAW, seseorang akan menjadi saksi yang benar tentang Allah, dan bahwa Muhammad SAW adalah rasulullah. Lebih lanjut, seringkali seseorang yang hidup di zaman modern menemukan silsilah dirinya menuju rasulullah SAW. Itu adalah pengenalan jati diri yang lebih kuat, mengetahui secara lebih terinci silsilah perjuangan kehidupannya dalam perjuangan rasulullah SAW, hingga dikatakan dirinya mengenal Allah. Seorang ulama besar yang hidup di jaman modern menuliskan dalam sastranya: Sira jejer pandhita kang wineca ruhun (engkau bersanding dengan pandhita yang telah diceritakan dahulu). (JR Dandanggula 11, 111081). Ini adalah bentuk pengenalan diri dalam tingkatan yang lebih kuat, mengetahui secara rinci silsilah jihad dirinya dalam menolong perjuangan rasulullah SAW hingga pemahamannya mencapai konteks kehidupan dirinya di zaman modern.


Mewujudkan Amanah dan Khusyu’ Dalam Shalat

Setiap orang dituntut untuk menunaikan amanah-amanah yang ditetapkan Allah baginya. Pelaksanaan amanah itu akan memperkuat akalnya, dan membukakan kitab dirinya sehingga dirinya lebih mengenal asma Allah yang hendak Dia perkenalkan. Keadaan ini akan memperkuat kekhusyu’an seseorang dalam shalatnya.

وَالَّذِينَ هُمْ لِأَمَانَاتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُونَ﴿٨﴾

 

Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat-nya dan janjinya.(QS Al-Mu’minuun : 8)


Pelaksanaan amanah ini adalah amal shalih yang sebenarnya. Ketika sampai pada fase pengenalan jati diri, seorang laki-laki akan mengenal kedudukan dirinya dalam perjuangan rasulullah SAW. Itu adalah pengenalan diri secara umum. Fungsi penciptaan dirinya akan ditemukannya, berupa sumber pengetahuan yang harus dimanfaatkan untuk kesejahteraan umatnya. Selain sumber pengetahuan, dirinya akan melihat manusia yang dijadikan sebagai umatnya, dan mengenal istri-istrinya. Itu adalah satu kesatuan pengenalan diri seseorang. Hal ini dikisahkan oleh Musa ketika tiba di sumber air negeri Madyan. Musa melihat umatnya berebut mengambil air dari sumber air, dan Musa melihat dua perempuan.

Dua perempuan itu adalah pasangan yang menjadi pintu seorang laki-laki untuk melaksanakan amal shalih bagi umatnya. Tanpa perempuan itu, seorang laki-laki berstatus sebagai orang asing bagi umatnya, sebagaimana Musa adalah orang asing bagi negeri Madyan. Amal shalih yang dilakukannya tidak akan efektif memberikan pengaruh kepada umat.

Efektifitas amal shalih seorang laki-laki tergantung pada kualitas hubungan jiwanya dengan istrinya. Seorang istri adalah tiang bagi tegaknya sebuah negeri. Tanpa wanita yang shalihah, sebuah negeri akan runtuh walaupun banyak laki-laki shalih di dalamnya. Keshalihan para laki-laki itu harus mengalir melalui jiwa para istri yang shalihah.

Jiwa seorang perempuan shalihah itu ibarat rahim yang mampu melahirkan jati diri suaminya ke alam dunia. Di dalam jiwa seorang perempuan ada suatu hal ghaib yang dijaga Allah untuk diberikan hanya bagi suaminya. Keshalihan seorang perempuan ditentukan oleh penjagaan dirinya tentang hal ghaib ini, yang harus dijaga hanya untuk suaminya saja. Selain itu, hal lain yang menentukan keshalihan seorang perempuan adalah sifat tenang dan patuh (qanitat) dalam mengikuti suaminya.



الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ ۚ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ ۚا﴿٣٤﴾

 

Kaum laki-laki itu adalah penegak bagi kaum wanita, karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Maka wanita yang saleh, ialah yang tenang (qanitat) lagi memelihara yang ghaib dengan yang Allah pelihara (QS An-Nisaa’ : 34).

 

Sebagai penjagaan Allah terhadap hal ghaib ini, Allah memberikan pagar penjagaan bagi manusia dalam bentuk menjaga pandangannya dan menjaga farji yang ada di alam jasadiah. Sebagian pandangan dibolehkan dan sebagian pandangan tidak boleh dilakukan, sedangkan menjaga farji mutlak harus dilakukan kecuali terhadap istri-istri dan para budak yang dimiliki. Mengumbar farji di alam jasadiah merupakan perbuatan yang melampaui batas, dan merupakan perbuatan buruk dan keji. Hal ini merupakan pagar luar yang tidak boleh dilewati agar hal ghaib yang harus dijaga dalam diri seorang perempuan dapat tetap terjaga bagi suaminya. Menjaga hal ghaib yang harus dijaga ini merupakan hal yang lebih esensial dari menjaga farji, terkait kualitas dan kelurusan ibadahnya kepada Allah.

Setiap perempuan harus menjaga apa yang ghaib pada dirinya dari laki-laki selain suaminya. Hal ghaib itu hanya diperuntukkan bagi suaminya. Bila seorang perempuan menyerahkan ini pada selain suaminya, maka dirinya harus siap untuk hidup miskin dan merana. Hal ghaib itu merupakan pondasi jalan rezeki yang thayib bagi suami isteri dan dan pondasi rasa cinta. Selain miskin, seringkali seorang perempuan yang kehilangan hal ghaib itu merasa tidak dicintai suaminya dan merasa ditinggalkan. Perempuan itu harus berusaha mengerti keadaan mereka, terutama dirinya sendiri, bahwa belum tentu suaminya bersikap demikian. Dirinya tidak perlu menjadi petualang atau pengemis cinta kepada laki-laki lain, karena masalah itu tidak akan terselesaikan, kecuali syaitan menutupi masalahnya.

Dalam hal ini, seorang suami mungkin sebenarnya melihat kehadiran citra laki-laki lain dalam diri istri. Laki-laki itu adalah yang mengambil hal ghaib dalam diri istrinya. Hal ini justru sering muncul ketika membicarakan yang serius menyangkut arah kehidupan yang baik, ketika seorang suami merasa perlu mencari citra dirinya dalam diri istrinya. Mungkin hal ini tidak disadari oleh perempuan, dan bahwa sebenar-benarnya tidak ada keinginan sedikitpun perempuan itu untuk menyeleweng. Itu hanya karena hal ghaib itu tidak terjaga. Bagi suami, tidak mudah untuk mengatasi prasangka buruk, rasa kecewa dan rasa marah yang muncul bila peristiwa itu terjadi. Dorongan dalam diri suami untuk membuat pertengkaran mempermasaahkan perkara itu sangat besar. Seringkali seorang suami hanya mampu menahan rasa marahnya, dan mengambil keputusan tidak berdasarkan pembicaraan mereka. Hanya untuk tindakan itu seorang seorang suami perlu pengendalian diri yang sangat kuat. Hal seperti ini tidak menunjukkan suaminya tidak mencintai atau meninggalkan istrinya. Seringkali perasaan tidak dicintai pada perempuan demikian karena pondasi cinta dalam dirinya telah diserahkan pada laki-laki lain.

Seorang perempuan akan kehilangan jalan keshalihannya bila kehilangan hal ghaib itu. Dirinya tidak akan dapat shalat khusyu’ di jalan yang benar. Perempuan demikian hanya akan dapat shalat secara khusyu’ mengikuti laki-laki yang diberi hal ghaib dirinya. Hal itu bukanlah sebuah keshalihan, dan perempuan itu harus berusaha untuk kembali kepada suaminya sebagai jalan ibadahnya kepada Allah. Dirinya harus berusaha menumbuhkan cinta dari pondasinya. Mungkin ini jalan yang sangat berat, dan mungkin tidak tercapai dalam kehidupan di bumi, tetapi kelak di alam selanjutnya kehidupannya akan jauh lebih mudah. Keshalihan yang salah semacam itu tidak memberikan manfaat. Sebenarnya Allah tidak membutuhkan ibadahnya. Bila perempuan mencari keshalihan dengan cara demikian, sebuah bangsa akan runtuh, karena potensi bangsa yang ada pada diri laki-laki akan tenggelam tidak dapat diwujudkan di negerinya.

Hal ghaib pada perempuan itu adalah rahim yang melahirkan potensi dan jati diri seorang suami ke alam dunia. Seorang yang mengetahui jati dirinya tidak akan dapat mewujudkan amanahnya sendirian tanpa seorang istri yang memahaminya. Dalam hal membangun kekhusyu’an shalat, suaminya akan mengalami kendala bila tidak mendapatkan hal ghaib itu dari istrinya. Mungkin Allah memberikan karunia yang besar bagi seorang laki-laki, tetapi tidak memberi kekhusyu’an dalam shalat bila hal ghaib pada istrinya tidak mereka temukan. Kebersamaan seorang laki-laki dengan istri dan umatnya sangat penting terbangun sebagai modal seseorang untuk menghadap Allah. Ketika Musa a.s mendahului umatnya menghadap kepada rabb-nya, Allah menimpakan ujian kepada bani Israil yang membuat Musa menyesal.

Kewajiban menjaga hal ghaib ini ada pada semua orang baik laki-laki maupun perempuan, tetapi Allah menekankannya pada perempuan. Sebenarnya laki-laki pun harus harus menjaganya, dari tataran jasadiah menjaga pandangan hingga dalam hal ghaib yang semisalnya, walaupun ada beberapa perbedaan sifat. Seorang laki-laki dapat memperoleh kekhusyu’an dalam shalat dengan mengambil hal ghaib itu dari perempuan selain isterinya, tetapi kekhusyu’an itu tidak benar dan seringkali hanya melenakannya. Kekhusyu’an itu tidak memberi manfaat bagi orang lain, malah menutup orang lain dari kebenaran. Allah mempertanyakan keadaan laki-laki yang memperoleh jalan dengan cara demikian. Pengenalan orang itu kepada Allah sebenarnya tidak kokoh sebagaimana yang dikehendaki Allah.


وَإِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً قَالُوا وَجَدْنَا عَلَيْهَا آبَاءَنَا وَاللَّهُ أَمَرَنَا بِهَا ۗ قُلْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَأْمُرُ بِالْفَحْشَاءِ ۖ أَتَقُولُونَ عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ﴿٢٨﴾

 

Dan apabila mereka melakukan perbuatan keji, mereka berkata: "Kami mendapati nenek moyang kami mengerjakan yang demikian itu, dan Allah menyuruh kami mengerjakannya". Katakanlah: "Sesungguhnya Allah tidak menyuruh (mengerjakan) perbuatan yang keji". Apakah kamu mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui? (QS Al-A’raaf : 28)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar