Pencarian

Jumat, 09 Oktober 2020

Menemukan Kesenangan Di Sisi Allah (14)

Menegakkan Shalat


Salah satu langkah untuk memperoleh kesenangan di sisi Allah adalah mendirikan shalat. Setiap orang yang memenuhi seruan Allah untuk bertaubat kembali kepada-Nya harus menegakkan shalat sebagai syarat untuk menjalin hubungan dengan Allah sehingga dapat diharapkan agar tidak tersesat dalam perjalanannya. Semua orang akan tersesat dalam perjalanan menuju Allah jika tidak menegakkan shalat, dan hanya dapat berharap tidak tersesat bilamana dirinya mendirikan shalat.


وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَىٰ بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ﴿٣٨﴾

 

Dan (bagi) orang-orang yang menjawab seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.(QS As-Syuura:38)

Kualitas shalat seseorang sangat bergantung pada baitullah yang tegak dalam hati masing-masing. Banyak umat manusia yang menganggap bahwa shalat adalah tugas yang diberikan Allah kepada dirinya, dan tidak banyak orang yang menyadari dengan jiwanya bahwa sebenarnya dirinya-lah yang membutuhkan shalatnya. Kesadaran kebutuhan ini tumbuh seiring dengan tumbuhnya baitullah dalam diri seseorang. Semakin sempurna baitullah terbentuk dalam hatinya, semakin tinggi kesadaran bahwa dirinya-lah yang membutuhkan shalatnya, sebagai sebuah karunia yang dilimpahkan Allah, bukan tugas.

Kebanyakan manusia belum memperoleh kesempatan membangun baitullah dalam hatinya sehingga shalat menjadi sebuah tugas bagi mereka. Merasa shalat sebagai tugas bukanlah hal buruk selama seseorang tetap mendirikan shalat dalam keadaan apapun baik senang dalam shalatnya maupun menganggap itu sebagai tugas. Hal itu akan menjaga langkah seseorang untuk tetap berjalan menuju Allah walaupun perlahan-lahan. Tentu seseorang yang senang dalam menegakkan shalat akan berjalan lebih cepat dan lebih tepat arahnya dalam perjalanan kembali kepada Allah, sehingga setidaknya masa perjalanan di alam makhsyar kelak akan lebih cepat dan lebih ringan.


Membangun Baitullah


Untuk memperoleh kenikmatan dalam shalat, setiap orang harus membangun jiwanya dengan pengetahuan yang benar. Kesadaran jiwanya harus selalu ditingkatkan dengan membangun visi kehidupan yang hakiki tidak selalu memperturutkan keinginan jasadiah atau hawa nafsu. Dengan kesadaran yang semakin meningkat, diharapkan seseorang menemukan tujuan kehidupan yang sebenarnya, yaitu menjadi hamba Allah yang sebenarnya. Hal itu dapat diperoleh bila baitullah terbentuk dalam hatinya.

Ada sebuah fase yang sangat penting dalam kehidupan seseorang dalam perjalanan kembali menuju Allah. Fase itu adalah pengenalan jati diri sebagaimana yang telah ditetapkan Allah bagi dirinya sebelum kelahirannya ke bumi. Dengan pengenalan jati diri tersebut, seseorang akan mengenal amal-amal yang harus dilaksanakannya sebagai ibadahnya kepada Allah. Amal itu adalah amal yang ditetapkan sebelum kelahirannya, yang akan menjadi amal shalih bagi dirinya. Amal itu adalah amanah Allah yang dikalungkan bagi dirinya. Melaksanakan amal-amal itu adalah shirat al mustaqim yang harus ditempuhnya.

Fase itu menjadi sebuah tanda bahwa perjalanannya menuju Allah benar arahnya tidak tersesat. Akan tetapi tidak berarti keadaan ini telah aman. Keadaan itu adalah awal dari perjalanan yang benar menuju Allah. Pada fase ini, terjadi pertarungan yang sangat besar melawan diri sendiri, pertarungan besar yang akan membersihkan waham. Tidak kalah hebatnya adalah tipuan Iblis yang berkeinginan untuk mendompleng kedudukan seseorang pada shirat al mustaqim. Ini adalah sumpah Iblis di hadapan Allah ketika diusir. Tipuan Iblis ini sangat-sangat halus hampir-hampir tidak dapat diketahui oleh manusia, tetapi Allah akan menyelamatkan orang-orang yang berharap kepada-Nya.

قَالَ فَبِمَا أَغْوَيْتَنِي لَأَقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرَاطَكَ الْمُسْتَقِيمَ﴿١٦﴾

 

Iblis menjawab: "Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan duduk bagi mereka pada jalan Engkau yang lurus (QS Al-A’raaf : 16)

Dalam perjalanan membangun baitullah, fase ini adalah fase seseorang menemukan tanah haramnya. Seseorang harus melanjutkan perjalanan untuk membangun baitullah dalam hatinya, sebagaimana Isma’il a.s membangun baitullah setelah tiba di tanah haram bumi makkah. Seseorang tidak boleh berhenti atau teralihkan perjalanannya kembali menuju kepada kehidupan dunia. Syaitan dan hawa nafsu benar-benar sangat pandai menipu. Seseorang perlu benar-benar ikhlas mengharapkan pertemuan dengan tuhannya, tidak mengharapkan hal yang lain dalam perjalanannya.

Membangun baitullah setelah fase pengenalan diri ini adalah melakukan 2 hal, yaitu 1. pelaksanaan amanah terhadap umat dan 2. membangun bait berupa rumah tangga yang baik.  Titik awal menuju pembangunan baitullah ini digambarkan oleh Musa ketika tiba di sumber air Madyan. Di sumber air itu, Musa menemukan umat manusia yang berebut memperoleh minuman. Selain menemukan umat itu, ada perempuan yang seharusnya menjadi istrinya. Umat dan istri itu adalah hal-hal yang menjadi amanah bagi seseorang ketika tiba di tanah haramnya, yang harus dibina untuk membangun baitullah dalam hatinya. Kedua hal itu merupakan amanah dan pintu masuknya. Hal ini sebagaimana diceritakan dalam kisah nabi Ibrahim a.s. Ketika berkunjung, Ibrahim a.s memerintahkan Ismail a.s untuk mengganti pintunya, sedangkan yang dimaksud beliau adalah istri Ismail a.s.


Khusyu’ dan Rumah Tangga


Upaya membangun baitullah harus dilaksanakan dengan melaksanakan amanah terhadap umat yang ditentukan baginya, dan membina rumah tangga yang baik hingga terwujud rumah yang diijinkan Allah untuk disebut dan ditinggikan asma-Nya di dalamnya. Kedua hal itu menjadi syarat terbentuknya baitullah dalam hati seseorang. Baitullah yang terbentuk dalam hati itulah akan menjadikan seseorang mampu menegakkan shalat dengan khusyu’.

وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ﴿٥﴾ إِلَّا عَلَىٰ أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ﴿٦﴾ فَمَنِ ابْتَغَىٰ وَرَاءَ ذَٰلِكَ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْعَادُونَ﴿٧﴾ وَالَّذِينَ هُمْ لِأَمَانَاتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُونَ﴿٨﴾ وَالَّذِينَ هُمْ عَلَىٰ صَلَوَاتِهِمْ يُحَافِظُونَ﴿٩﴾
(5) dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, (6) kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. (7) Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. (8) Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya. (9) dan orang-orang yang memelihara sembahyangnya. (QS Al-Mu’minun : 5-9)

Ayat-ayat di atas ditujukan bagi orang-orang yang telah mengerti amanah-amanah Allah bagi dirinya. Allah menjelaskan langkah-langkah yang perlu dilakukannya agar menjadi orang yang khusyu’ dalam shalatnya, di antaranya terkait rumah tangga, amanah dan shalat. Hubungan suami istri dan pelaksanaan amanah termasuk dalam hal pokok yang harus diperhatikan agar shalat seseorang dapat mencapai keadaan khusyu’.

Hubungan suami istri merupakan gambar paling dasar tentang penciptaan, sebagai penjelasan kehendak Allah dalam penciptaan makhluk. Seseorang dapat mengenal Ar-rahmaan Ar-rahiim ketika sepasang suami istri membentuk rumah tangga yang baik. Seorang laki-laki akan berkeinginan untuk memberikan cinta kasih dan seluruh pengetahuan dan keterampilan kepada istri dan anak-anaknya. Ada sebuah kebahagiaan bilamana keluarganya tumbuh dengan sebaik-baiknya. Demikian pula seorang perempuan ingin memberikan hal paling berharga dari dirinya kepada suaminya, dan memberikan kasih sayangnya kepada anak-anaknya. Itu akan menjelaskan kasih sayang Allah bagi mereka. Dalam pernikahan yang baik, seseorang akan mengenal Ar-rahman Ar-rahiim, mengenal bahwa Allah memperkenalkan asma-Nya sebagai kasih sayang-Nya.

Hubungan suami istri juga menjaga seseorang tidak melampaui batas. Ada batasan bagi seseorang untuk berkreasi melahirkan sesuatu yang diberikan Allah dalam dirinya. Seorang laki-laki tidak akan mampu melahirkan apa yang ada di dalam dirinya sendirian tanpa seorang pasangan perempuan yang mau menerima dirinya. Sebaliknya seorang perempuan tidak akan dapat melahirkan suatu karunia Allah tanpa menerima benih dari laki-laki. Masing-masing membutuhkan pihak yang sebagai pelengkap dalam proses kreasi. Allah menentukan batasan berupa jalan yang bersih agar seseorang dapat menemukan keberpasangannya. Ada kesesuaian dan keberpasangan yang harus ditemukan manusia, sebagai gambaran keberpasangan seseorang dengan semestanya agar amal seseorang menjadi amal shalih.

Pada sisi batin, akan tumbuh at-thayyibaat pada pernikahan yang baik. At-thayyibaat merupakan sarana bagi terlahirnya amal shalih sepasang suami istri. Seorang laki-laki dapat melihat urusan Allah baginya melalui istrinya, dan seorang istri akan tumbuh kebutuhan dan keinginan untuk memberikan hal paling berharga berupa baktinya bagi suaminya. Ini adalah keberpasangan yang tumbuh dalam sisi batin untuk melahirkan amal shalih mereka sebagaimana pasangan farji mereka untuk melahirkan anak.

Ada batasan yang ketat bagi setiap manusia terkait jalan untuk mengenal asma-Nya melalui ikatan laki-laki dan perempuan. Gambar penjelasan berupa hubungan suami istri ini akan rusak bilamana seseorang melakukan hubungan kelamin di luar batasan yang ditentukan. Seseorang sama sekali tidak boleh melakukan hubungan kelamin di luar ikatan pernikahan. Bilamana ada cinta dalam hubungan itu, cinta itu bersifat syaitaniah yang tidak akan menjadi gambaran untuk mengenal asma-Nya.

Ketentuan itu merupakan ketentuan dasar berwujud fisikal agar muncul at-thayyibat di antara suami istri pada tingkatan batin. Tanpa mematuhi ketentuan itu, tidak akan muncul at-thayyibat dalam pernikahan. Sebagaimana tidak bolehnya melakukan zina pada tingkatan lahir, seorang laki-laki tidak diperbolehkan sama sekali mencuri at-thayyibaat dari seorang perempuan selain istrinya pada tingkatan batin. Demikian pula seorang perempuan tidak diperbolehkan sama sekali memberikan kepada orang lain bakti bagi suaminya. Hal itu merupakan bentuk kekejian yang dibuat oleh syaitan.

Bila terjadi pencurian atau penyerahan bakti bagi suami secara keliru tanpa sebuah pernikahan, seorang perempuan akan kehilangan sifat keshalihannya. Kehilangan itu dimulai dari kehilangan hal ghaib yang dijaga Allah berupa rasa baktinya yang khusus bagi suami, kemudian dirinya akan kehilangan sifat qanitah (tenang dan patuh) terhadap suaminya, yang pada akhirnya akan menghilangkan sifat keshalihannya. Bila hal ini terjadi, seorang laki-laki shalih akan kehilangan pintu gerbang menuju hal yang harus ditegakkannya bagi negerinya, karena perempuan adalah tiang negeri.

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ ۚ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ ۚا﴿٣٤﴾
Kaum laki-laki itu adalah penegak bagi kaum wanita, karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Maka wanita yang saleh, ialah yang tenang (qanitat) lagi memelihara yang ghaib dengan yang Allah pelihara (QS An-Nisaa’ : 34).

Setiap orang beriman baik laki-laki maupun perempuan diperintahkan untuk menjaga bashirahnya. Ini mencakup pandangan bathin karena sangat mungkin terjadi kekejian walaupun di tingkatan bathin. Ini adalah batas agar tidak terjadi hubungan yang melanggar ketentuan Allah. Lebih dari itu, seseorang tidak diijinkan untuk mendekati zina apalagi melakukan zina. Orang yang mencari-cari apa yang ada di luar batasan-batasan ini adalah orang-orang yang melampaui batas.

Terbentuknya at-thayyibaat di antara suami dan istri akan menampakkan amanah-amanah yang harus dilaksanakan. Apa-apa yang muncul dari at-thayyibat ini merupakan amanah yang harus benar-benar dijaga oleh setiap orang, tidak boleh lalai. Menjaga amanah-amanah ini menjadi sebuah syarat agar seseorang dapat menegakkan shalat dengan khusyu’.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar