Pencarian

Selasa, 24 Maret 2020

Kebaktian (Al-Birr)


Dalam kehidupan manusia yang bertaubat, berjalan menuju Allah, akan ditemukan sebuah fase dalam kehidupan di bumi sebuah tuntutan untuk melaksanakan sebuah bakti. Orang-orang yang telah melaksanakan bakti akan termasuk dalam golongan Al-Abraar. Bakti merupakan amal yang bersifat khusus bagi orang tertentu yang berada dalam fase tertentu dalam membangun baitullah di dalam dirinya. 

Setiap orang harus bertaubat dengan berjalan kembali kepada Allah, yaitu dengan membangun jiwa yang ada dalam dirinya sehingga terbentuk baitullah di dalam hatinya. Allah memberikan sebuah syiar berupa ibadah haji sebagai pengingat bagi seluruh manusia untuk berkunjung ke baitullah. Baitullah yang sebenarnya bagi setiap manusia sesungguhnya terdapat di dalam hati, karena tidaklah mencukupi langit dan bumi bagi Allah, tetapi yang mencukupi adalah hati seorang hamba Allah yang mukmin. Baitullah berupa kakbah yang dikunjungi adalah sebuah syiar sebagai pengingat agar manusia selalu mengingat baitullah yang ada dalam hatinya. 

Ismail a.s telah menggambarkan bagaimana seseorang berproses untuk membangun baitullah. Ketika masih bayi, beliau bersama ibunya Hajar r.a harus menempati bumi yang tepat yaitu lembah Bakkah. Mereka berdua adalah representasi dari seorang manusia yang harus berjalan menuju Allah dengan membangun baitullah. Bayi Ismail adalah representasi jiwa yang terdapat dalam diri seorang manusia, dan Hajar r.a merupakan representasi raga manusia. Raga yang membawa jiwa yang masih bayi itu harus menempati bumi diri yang tepat agar seseorang dapat membangun baitullah dalam dirinya. 

Demikian pula setiap manusia harus berusaha untuk membangun baitullah di dalam dirinya. Upaya Hajar r.a mencari sumber mata air dengan tujuh kali bolak-balik melakukan pencarian pada bukit Shafaa dan Marwa, hingga muncul sumber air pada jejak kaki bayi Ismail adalah sebuah awal upaya dalam membangun baitullah. 

۞إِنَّ ٱلصَّفَا وَٱلۡمَرۡوَةَ مِن شَعَآئِرِ ٱللَّهِۖ فَمَنۡ حَجَّ ٱلۡبَيۡتَ أَوِ ٱعۡتَمَرَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيۡهِ أَن يَطَّوَّفَ بِهِمَاۚ وَمَن تَطَوَّعَ خَيۡرٗا فَإِنَّ ٱللَّهَ شَاكِرٌ عَلِيمٌ 

QS Al-Baqarah : 158. Sesungguhnya Shafaa dan Marwa adalah sebahagian dari syi'ar Allah. Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber'umrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa'i antara keduanya. Dan barangsiapa yang mengerjakan suatu kebaikan dengan ketaatan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri lagi Maha Mengetahui. 

Peristiwa tersebut diabadikan dalam ibadah sa’i, yaitu melakukan thawaf pada kedua bukit Shafaa dan Marwa. Bagi setiap manusia yang hendak membangun baitullah dalam dirinya, atau menjalankan urusan pemakmuran bumi, hendaknya dirinya mencontoh Hajar r.a menemukan bumi diri dan mengusahakan sumber-sumber kehidupan padanya. Shafaa dan Marwa merupakan syi’ar Allah yang menjadi monumen panduan bagi yang ingin mengikutinya. 

Sa’I merupakan salah satu rukun dalam umrah dan haji. Berhaji adalah berkunjung ke baitullah, dan umrah adalah berupaya memakmurkan bumi. Haji adalah ‘arafah. Seseorang dikatakan berhaji bila ‘arafah, diberi karunia ma’rifat kepada Allah. Upaya berhaji ke tanah suci mekkah merupakan sebuah ibadah yang diwajibkan agar seseorang selalu berusaha mendapatkan ma’rifat kepada Allah. 

Dalam perjuangan untuk membangun baitullah dalam hati, setiap orang akan mengalami banyak fase kehidupan. Setiap orang harus berusaha mengenali setiap fase dalam kehidupannya berdasarkan pertanda-pertanda yang dimunculkan Allah bagi dirinya. Seseorang yang bertaubat akan melihat petunjuk-petunjuk bagaikan bintang-bintang di langit, dan dalam fase tertentu akan melihat pantulan cahaya kebenaran pada diri pasangannya. Pantulan kebenaran itu digambarkan dalam wujud bulan sabit. Bulan sabit itu merupakan tanda-tanda waktu bagi manusia agar mengenali fase dirinya dalam membangun baitullah. 



۞يَسۡ‍َٔلُونَكَ عَنِ ٱلۡأَهِلَّةِۖ قُلۡ هِيَ مَوَٰقِيتُ لِلنَّاسِ وَٱلۡحَجِّۗ وَلَيۡسَ ٱلۡبِرُّ بِأَن تَأۡتُواْ ٱلۡبُيُوتَ مِن ظُهُورِهَا وَلَٰكِنَّ ٱلۡبِرَّ مَنِ ٱتَّقَىٰۗ وَأۡتُواْ ٱلۡبُيُوتَ مِنۡ أَبۡوَٰبِهَاۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ ١٨٩ [ البقرة:189] 

Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan haji; Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung. [Al Baqarah:189] 

Hal itu adalah sebuah fase dimana seseorang akan menemukan sebuah kebaktian berupa sebuah amal atau hal-hal yang khusus bagi dirinya dalam rangka membangun baitullah dalam hati. Bulan sabit merupakan pertanda waktu bagi diri seseorang dalam kaitan dirinya dengan baitullahnya. Bila seseorang dapat melihat pantulan alhaq dalam diri pasangannya, atau semisalnya, dalam beberapa waktu berikutnya akan datang kebaktian bagi dirinya. Seorang Ibrahim menyadari datangnya baktinya, tetapi barangkali tidak semua orang menyadarinya. 

Bakti dan Ketakwaan 


Kebaktian ini biasanya sangat berat dilakukan, dan kadang-kadang terlihat menyalahi ketentuan dalam syariat dan tata bermasyarakat umumnya. Seorang Ibrahim a.s menyembelih putera sulungnya. Kebaktian ini merupakan peristiwa dimana seseorang diperkenalkan kepada kasih sayang Allah secara jelas, dan hal itu menuntut keterputusan cinta seseorang yang tidak hak terhadap semua hal. Ini adalah haji, hari ‘arafah, hari penyembelihan. 

Bukan penyembelihan itu kebaktian yang diminta dari Ibrahim a.s, tetapi ketakwaan beliau yang akan ditunjukkan bagi umat manusia. Allah pasti akan mengganti bentuk bakti itu, dan hanya menampilkan wujud ketakwaannya. Barangkali tidak ada lagi yang dituntut melakukan bakti dalam bentuk semacam beliau, tetapi akan selalu ada tuntutan bentuk-bentuk bakti dalam wujud yang lain yang kadangkala terlihat menyalahi tata bermasyarakat. Bentuk bakti yang menyalahi syariat dan tata bermasyarakat itu pastilah tidak akan terwujud secara nyata bila seseorang bertakwa. Kebaktian itu tidak dapat terjadi dengan mendatangi pintu belakang, tetapi nilai ketakwaan dari amal itu yang menjadi bakti dari seseorang. 

Bila seseorang menemukan baktinya dalam sebuah bentuk yang menyalahi syariat dan tata bermasyarakat, maka hendaklah disadarinya bahwa yang dituntut dari dirinya bukan terwujudnya fisik perbuatan itu. Hendaknya dirinya bertakwa kepada Allah, memeriksa seluruhnya dengan kitabullah dan menjalankan apa yang diperintahkan Allah berdasarkan ketakwaannya. Hendaknya dirinya mendatangi baitullah melalui pintu-pintu yang dikenalinya berdasarkan ketakwaan. Hal itu akan mengantarkannya menjadi orang yang beruntung. 

Bila tanpa atau kurang ketakwaan, bakti bisa menjadi sebuah fitnah karena mendatangi baitullah dari belakang. Tidak akan ada perintah seperti atau semisal bakti nabi Ibrahim a.s, kecuali orang tersebut diperintahkan untuk mencari amalnya berdasarkan kitabullah. Agama telah diturunkan secara sempurna, dan setiap orang harus mengikuti kitabullah untuk mendapatkan ketakwaannya. Tidak ada bakti dengan mendatangi pintu belakang. 

Seseorang akan terungkap ketakwaannya dalam bakti dirinya. Sebuah bakti akan membukakan banyak pengetahuan dari dalam dirinya, berupa pengetahuan tentang kitabullah. Dirinya memiliki sebuah kitab di dalam jiwanya yang menjelaskan banyak pengetahuan, dan pengetahuan itu mengungkapkan ayat-ayat dalam kitabullah. Hal itu tidak akan pernah diketahui oleh orang yang melupakan dirinya. Seorang yang berbakti akan melihat pengetahuan tentang dirinya selaras dengan ayat-ayat dalam kitabullah. 

Ada orang-orang yang menyuruh pada kebaktian padahal dirinya melupakan jiwanya, sementara dirinya membaca kitabullah. Sebenarnya itu sebuah kata-kata kosong, menunjukkan dia tidak mengetahui apa yang dimaksud dalam kitabullah sebagai bakti. Bacaannya terhadap kitabullah tidak terkait dengan pengetahuan tentang dirinya. Allah menyindir orang-orang yang menyuruh manusia untuk melaksanakan bakti, sementara dia melupakan dirinya dan hanya menjadikan kitabullah sebagai bacaan. 



۞أَتَأۡمُرُونَ ٱلنَّاسَ بِٱلۡبِرِّ وَتَنسَوۡنَ أَنفُسَكُمۡ وَأَنتُمۡ تَتۡلُونَ ٱلۡكتَٰبَۚ أَفَلَا تَعۡقِلُونَ ٤٤ [ البقرة: 44] 

Apakah kamu perintahkan orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan dirimu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab? Maka tidaklah kamu menggunakan akal? [Al Baqarah:44] 


Menemukan Bakti 


Tidak mudah menemukan bentuk bakti bagi seseorang. Kebaktian itu hanya akan ditemukan oleh orang-orang yang telah melepaskan diri dari seluruh kecintaan terhadap materi dalam bentuk-bentuk cinta yang tidak selaras dengan kasih-sayang Allah. 



لَن تَنَالُواْ ٱلۡبِرَّ حَتَّىٰ تُنفِقُواْ مِمَّا تُحِبُّونَۚ وَمَا تُنفِقُواْ مِن شَيۡءٖ فَإِنَّ ٱللَّهَ بِهِۦ عَلِيمٞ ٩٢ [ آل عمران:92-92] 

Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebaktian (al-birr) sebelum kamu menafkahkan bagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya. [Al 'Imran:92] 

Infaq dapat dilakukan melalui berbagai bentuk harta. Ada harta berlebih dari diri seseorang, ada harta yang penting bagi dirinya dan ada harta-harta yang dicintai. Seseorang tidak akan menemukan bentuk kebaktian dirinya sebelum dirinya dapat melepaskan apa-apa yang dicintainya. Bila seseorang ingin menemukan bentuk kebaktiannya, dirinya harus berusaha melepaskan harta yang dicintainya. Hal itu akan mengantarkannya mengenali kebaktian dirinya. 

Kadangkala apa yang dicintai bukan dalam bentuk materi. Ibrahim a.s memiliki cinta terhadap Ismail. Penyembelihan terhadap Ismail menjadi bentuk kebaktiannya. Banyak orang yang tidak lagi memiliki cinta terhadap bentuk-bentuk materi, namun demikian selalu ada bentuk kebaktian bagi dirinya. Seorang suami mungkin hanya memiliki cinta kepada istri, maka istrinya akan menjadi jalan kebaktian baginya. Seringkali cintanya itu tercampur dengan bentuk-bentuk kecintaan duniawi baik masalah harga diri, kecantikan, harta dan lain-lain. Kebaktian yang harus dilakukan akan membersihkan bentuk cintanya selaras dengan bentuk kasih sayang Allah. Demikian pula seorang wanita yang bertaubat akan menemukan dan harus melaksanakan baktinya untuk mengenal secara jelas bentuk kasih sayang Allah kepada makhluk. Seringkali bentuknya adalah harus berbagi cintanya kepada suami dengan wanita yang lain. Ta’addud akan membersihkan jiwa para pelakunya dari kecintaan-kecintaan yang tidak haq dan memperkenalkan bentuk kasih sayang Allah secara lebih jelas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar