Pencarian

Jumat, 15 April 2022

Waris dalam Pernikahan

Allah menciptakan manusia dari nafs wahidah, dan kemudian menciptakan dari nafs wahidah itu pasangan-pasangan bagi mereka. Laki-laki dan perempuan yang berpasangan pada dasarnya merupakan penjabaran dari satu nafs wahidah yang sama, karena itu keberpasangan manusia dalam sebuah pernikahan seharusnya menjadikan entitas yang banyak menuju satu kesatuan. Dengan kesatuan yang benar, mereka akan menjadi hamba Allah yang bersujud kepada Allah dengan baik. Namun demikian, tidak semua pernikahan kemudian menjadikan entitas yang banyak di dalamnya itu menjadi satu kesatuan.

Salah satu mekanisme menjadikan entitas yang banyak itu satu kesatuan dalam pernikahan adalah adanya pewarisan. Secara umum waris diketahui sebagai pembagian harta orang yang meninggal bagi keluarga yang ditinggalkan. Itu adalah gambaran umum waris. Sebenarnya waris tidak hanya menyangkut harta benda yang ditinggalkan, tetapi juga terkait dengan nafs mereka. Sifat-sifat orang tua juga diwariskan kepada anak, atau seorang suami dapat mendidik nafs isterinya untuk tumbuh bersama dalam urusan Allah bersama-sama dengan dirinya. Hal demikian juga termasuk perkara pewarisan.

Waris yang lebih bersifat kekal adalah waris yang pada sisi nafs. Manakala seseorang meninggalkan keluarganya dengan harta, harta itu akan segera habis dari para ahli waris manakala tidak disertai pewarisan urusan pada sisi nafs atau hawa nafs mereka. Sebaliknya walaupun tanpa harta yang diperoleh, seseorang yang memperoleh warisan pada sisi nafs akan kembali tumbuh sebagaimana orang yang meninggalkannya, sebanyak sifat waris yang dihayati oleh nafsnya, atau bisa lebih baik dari yang meninggalkannya.

Seharusnya, seseorang meninggalkan bagi ahli warisnya berupa harta waris dan warisan pada nafsnya secara seimbang. Akan tetapi tidak semua orang memperoleh kesempatan untuk memberikan warisan secara seimbang. Dalam perkara pewarisan, Allah melarang orang-orang beriman untuk membangun waris pada isteri mereka dengan cara paksaan. Manakala seorang isteri tidak dapat membangun kebersamaan dengan suaminya, seorang suami mukmin tidak dihalalkan untuk memberikan waris bagi isterinya dengan jalan paksa.

﴾۹۱﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَحِلُّ لَكُمْ أَن تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا وَلَا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا آتَيْتُمُوهُنَّ إِلَّا أَن يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِن كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَىٰ أَن تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menghalangi mereka agar kamu dapat pergi dengan sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan kekejian yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka dengan al-ma’ruf. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. (QS An-Nisaa : 19)

Ayat di atas menceritakan larangan memberikan waris dengan jalan paksa kepada isteri. Tidak banyak isteri yang tidak mau atau merasa terpaksa menerima harta benda warisan suaminya karena pada dasarnya isteri merupakan pembawa khazanah duniawi yang bersifat lebih menyukai duniawi. Yang sering dijumpai oleh orang beriman adalah isteri-isteri yang tidak mau dengan sukarela membangun warisan dalam urusan nafs bersama suaminya. Sebenarnya ini merugikan isteri itu sendiri, tetapi bagaimanapun tidak boleh ada paksaan dalam memberikan warisan bagi para isteri yang tidak mempunyai rasa sukarela membangun warisan urusan mereka.

Pada orang-orang shalih, sifat waris dalam urusan nafs ini akan sangat terlihat secara signifikan. Jumlah rezeki harta yang akan diberikan Allah bagi mereka akan dipengaruhi sifat waris yang terbina di antara suami dan isteri, karena seorang laki-laki pada dasarnya tidak terlalu membawa rezeki lahiriah, dan lebih membawa rezeki bathiniah. Rasa cinta seorang suami akan dipengaruhi tingkat sukarela seorang isteri dalam membangun sifat waris terhadap suaminya, dan kemampuan seorang perempuan mengelola harta warisan akan dipengaruhi sifat waris nafsnya. Allah tidak membiarkan hambanya untuk mencari jalan rejeki dengan leluasa di luar apa yang telah digariskan bagi mereka.

Rasa mawaddah seorang suami akan sangat dipengaruhi oleh sifat waris seorang isteri terhadap suaminya. Demikian pula mawaddah isteri tumbuh manakala sifat baik isteri diperhatikan dan isteri menjadi sumber pengetahuan bagi suaminya. Ketika seorang isteri dapat menghayati apa yang terbangun dalam diri suaminya, isteri akan mencintai suaminya, dan juga sebaliknya akan timbul rasa cinta suaminya kepadanya. Keberpakaian antara pihak terbangun dengan baik pada pasangan yang saling mencintai karena pemakaian sifat-sifat baik sebagai sifat bersama. Bila seorang isteri menolak membina diri bersama suaminya, sangat mungkin akan timbul rasa tidak suka pada diri suami. Seorang mukmin tidak boleh membenci isteri yang demikian walaupun rasa cinta hawa nafsunya pudar bersama waktu. Ia harus tetap bergaul dengan isterinya dengan sebaik-baiknya, karena terdapat kebaikan yang sangat banyak yang diletakkan Allah pada diri isterinya walaupun mungkin hawa nafsunya tidak lagi mencintainya.

Lunturnya cinta hawa nafsu merupakan sesuatu yang wajar terjadi. Setiap pasangan harus berusaha menemukan sumber rasa mawaddah di antara mereka sebagai bekal perjalanan mereka bersama. Mawaddah dapat berasal dari banyak hal misalnya ketaatan, sifat waris dan lain-lain yang bersifat hakiki. Cinta dari hawa nafsu tidak menjadi syarat bagi pasangan untuk menemukan mawaddah di antara jiwa mereka, tetapi seringkali menjadi bekal awalan yang baik untuk menemukan mawaddah. Sekiranya tidak terbangun mawaddah, pernikahan tetap saja merupakan kebaikan bagi setiap pihak yang berpasangan yang tidak boleh ditinggalkan begitu saja.

Hanya manakala terjadi perbuatan keji yang nyata, maka seorang suami berhak untuk meninggalkan istrinya pergi, mengambil harta yang telah diberikan kepada salah seorang isterinya dan kemudian memberikan hartanya kepada isteri yang lain. Tanpa ada perbuatan keji yang terjadi secara nyata, setiap suami harus bergaul dengan setiap isterinya dengan cara sebaik-baiknya dengan tidak mengurangi harta yang diberikan kepada mereka. Rasa cinta atau tidak suka tidak boleh mempengaruhi sikap seseorang pada setiap isteri dalam bergaul dengannya, dan ia harus tetap memberikan pengetahuan yang baik (al-ma’ruf) kepada semua isteri mereka.

Perbuatan keji akan merusak nafs seseorang. Citra seorang isteri akan terwarnai oleh citra laki-laki yang berbuat keji bersamanya, hingga seorang suami tidak memperoleh tempat untuk membangun identitas bersamanya. Hal ini berpengaruh sangat besar terhadap seluruh keluarga yang dibangun bersama suaminya. Bila keadaannya demikian, seorang suami boleh meninggalkan pergaulan dengannya dan mengambil hartanya yang telah diberikan kepada isteri yang keji, tetapi boleh pula membiarkannya. Akan sulit membina hal-hal ma’ruf terhadap isteri yang berbuat keji. Apapun kebaikan yang akan diajarkan, seorang isteri yang telah menjadi keji akan memandang buruk kebaikan yang diajarkan suaminya itu.

Perbuatan keji dapat berbentuk lahiriah dan ada pula yang berbentuk bathin. Kedua bentuk itu dapat menjadi kekejian yang nyata (mubayyinah) bilamana seseorang berusaha mewujudkannya, walaupun itu kekejian bathin. Kekejian yang ditahan dan ingin dihilangkan merupakan kekejian yang tidak nyata. Isteri yang terdorong pada suatu kekejian tetapi menahan dirinya seringkali masih akan dapat mengenali kebenaran dari suaminya walaupun sulit dan seringkali isteri bersikap kurang wajar kepada suaminya. Seorang laki-laki harus tetap berusaha bergaul dengan al-ma’ruf bersama isteri yang demikian. Kekejian yang nyata, yaitu keji yang berusaha diwujudkan, akan merusak seseorang hingga tidak dapat memandang kebaikan suami, dan selalu menganggap segala suatu suaminya sebagai keburukan. Kekejian yang nyata menjadi penyebab seseorang boleh meninggalkan isteri dan mengambil harta yang telah diberikannya kepada isteri yang berbuat demikian.

Mengganti Kedudukan Seorang Isteri

Dalam pelaksanaan amr Allah, seorang laki-laki akan sangat bergantung kepada isterinya. Upaya itu akan mudah mendatangkan hasil yang nyata manakala seorang isteri dapat mewarisi jati diri suaminya. Bilamana seorang isteri merasa terpaksa dalam menerima warisnya sebagai bagian dari jati diri suaminya, banyak khazanah yang dapat dipahami seorang suami dari isterinya yang demikian tetapi tidak dapat mewujudkannya. Seorang suami mempunyai jalan lain untuk mewujudkan khazanah salah seorang isterinya, yaitu ia dapat mewujudkan khazanah bersama dengan isteri yang lain menggantikan kedudukan isteri yang tidak mau membina kewarisannya.

﴾۰۲﴿وَإِنْ أَرَدتُّمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَّكَانَ زَوْجٍ وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنطَارًا فَلَا تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُّبِينًا
Dan jika kamu ingin mengganti kedudukan (salah satu) isterimu dengan isteri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata? (QS An-Nisaa’ : 20)

Ketika seorang laki-laki mengganti kedudukan salah seorang isterinya dengan isteri yang lain untuk mewujudkan amanahnya, ia tidak boleh mengambil harta yang telah diberikan kepada isteri yang digantikan. Semua harta yang dihasilkan dari khazanah isteri dan telah diberikan kepadanya tidak boleh diambil kembali.

Hal ini akan terasa sangat menggoda bagi seorang suami karena kebutuhan modal untuk merealisasikan dan karena dorongan perasaan lebih mencintai isteri yang mau mewarisi dirinya. Kadangkala seorang laki-laki tergoda untuk mewujudkan suatu khazanah bersama isteri lainnya dengan membuat-buat cerita yang tidak semestinya tentang isteri yang digantikan kedudukannya. Setiap orang harus berbicara dengan tepat tentang keadaan terkait semua isterinya sesuai dengan keadaan yang sebenarnya atau lebih baik, tidak membuat kedustaan untuk memperoleh keuntungan tertentu. Ketika seseorang membuat kedustaan terhadap salah satu isterinya, maka ia telah terjebak dalam dosa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar