Pencarian

Kamis, 23 Desember 2021

Memahami Alquran Dengan Akal

Allah telah menurunkan Alquran agar manusia memperoleh sarana bertafaqquh dalam agamanya. Untuk bertafaqquh, setiap orang harus menggunakan akalnya, tidak boleh menggantungkan kebenaran kepada orang lain tanpa merenungkan makna yang sebenarnya. Setiap orang harus berusaha dapat memahami sendiri kehendak Allah dengan akalnya berdasarkan firman Allah dalam kitabullah Alquran. Tidak setiap orang dapat memperoleh pemahaman secara langsung melalui kitabullah, tetapi setiap orang harus berusaha memahami kitabullah dengan benar. Upaya itu dapat dilakukan dengan mengikuti bacaan orang-orang yang memperoleh pemahaman, disertai dengan berusaha merenungkan keselarasan bacaan dengan teks alquran dan keadaan yang dapat dipahaminya.

Allah telah menjadikan Alquran sebagai warisan yang sangat berharga bagi hamba-hamba yang dipilih. Mereka memperoleh pemahaman terhadap sebagian dari ayat-ayat Alquran untuk menjadi bekal untuk berbuat kebaikan bagi lingkungan mereka. Akan tetapi tidak semua hamba yang memperoleh warisan berupa alquran itu kemudian berbuat kebaikan. Sebagian di antara mereka kemudian menjadi dzalim terhadap diri mereka sendiri, sebagian di antara mereka berusaha berbuat kebaikan sesuai dengan keadaan mereka, dan sebagian berlomba-lomba untuk berbuat kebaikan dengan izin Allah.

﴾۲۳﴿ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِّنَفْسِهِ وَمِنْهُم مُّقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللَّهِ ذٰلِكَ هُوَ الْفَضْلُ الْكَبِيرُ
Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan diantara mereka ada (pula) yang berlomba-lomba berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar. (QS Faathir : 32)

Yang terbaik di antara hamba-hamba yang memperoleh warisan kitabullah adalah orang-orang yang berlomba-lomba berbuat kebaikan dengan warisan yang diberikan kepada mereka. Mereka adalah orang-orang yang diijinkan Allah untuk berbuat demikian, dan mereka tidak mampu berbuat demikian kecuali atas ijin Allah. Ada syarat yang harus diusahakan oleh hamba yang memperoleh warisan kitabullah Alquran untuk menjadi golongan hamba yang berlomba-lomba berbuat kebaikan, di antaranya adalah membentuk bayt yang diijinkan Allah untuk berdzikir dan meninggikan asma Allah di dalamnya.

Sebagian di antara orang yang memperoleh warisan Alquran tidak dapat berlomba-lomba dalam berbuat kebaikan. Mereka hanya dapat berbuat kebaikan sebatas apa yang dapat diusahakannya, dan mereka terbatasi dengan berbagai kendala alam duniawi yang mengikat keadaan mereka. Akan tetapi mereka tetap berjalan pada jalan yang lurus sesuai dengan semua ketetapan Allah bagi mereka tanpa ada keinginan untuk berjalan di atas keinginan mereka sendiri melebihi ketetapan Allah bagi mereka.

Sebagian orang yang memperoleh warisan Alquran menjadi dzalim atas diri mereka sendiri. Apa yang terbuka bagi mereka kemudian menyebabkan mereka menjadi dzalim terhadap diri mereka sendiri. Keterbukaan nafs mereka terhadap Alquran tidak disertai dengan kekokohan ubudiyah tetapi masih tercampur dengan nuansa hawa nafsu. Hal itu kemudian membuat nuansa hawa nafsu ikut menguat dan menyebabkan mereka mendzalimi diri sendiri.

Tidak ada jaminan bahwa jalan yang ditempuh seseorang adalah jalan yang benar sekalipun seseorang memperoleh warisan Alquran. Ada orang yang mendzalimi diri mereka sendiri dengan warisan Alquran yang diberikan kepada mereka. Hamba semacam ini semisal dengan Adam ketika tergoda untuk mendekati dan memakan buah khuldi. Bilamana ia terus berbuat dalam kedzalimannya, ia akan menjadi orang-orang yang merugi. Ia kehilangan keutamaan yang sangat besar dari sisi Allah tanpa menyadarinya. Bilamana ia menyadari kesalahannya dan bertaubat kepada Allah, boleh jadi Allah akan melimpahkan ampunannya. Ada sedikit perbedaan yang harus disadarinya untuk bertaubat, bahwa ia tergolong menjadi orang dzalim terhadap nafsnya sendiri (dzalimun li nafsihi), tidak sekadar telah berbuat dzalim terhadap nafsnya (dzalama nafsahu) sebagaimana Adam dahulu.

Apapun yang terjadi terhadap ahli waris Alquran, warisan Alquran yang dianugerahkan Allah kepada hamba-Nya merupakan keutamaan yang sangat besar. Setiap orang harus berusaha mempelajari warisan tersebut. Hanya saja setiap orang harus menggunakan akalnya dalam berusaha memahami alquran dan berbuat kebaikan, tidak boleh menggantungkan pemahamannya kepada orang lain tanpa menggunakan akalnya. Kadangkala pemahaman seseorang yang memperoleh warisan Alquran bercampur dengan kedzaliman, maka seseorang harus menggunakan akalnya untuk memahami Alquran agar ia mengetahui campuran kedzaliman yang ada. Perkara kedzaliman yang dilakukan seorang hamba yang memperoleh warisan itu adalah urusannya dengan rabb-nya dan orang-orang yang bertanggungjawab atas mereka. Bahkan ketika mengikuti seseorang yang diijinkan Allah berlomba dalam kebaikan, setiap orang harus menggunakan akalnya, karena pertumbuhan dirinya sepenuhnya tergantung pada pertumbuhan akalnya. Tanpa menggunakan akal, tidak ada keselamatan bagi seseorang yang mengikuti orang lain. Setiap orang harus mempertanggungjawabkan sendiri semua keadaan dirinya di hadapan Allah. Untuk itu, setiap orang harus menumbuhkan akalnya.

Menggunakan akal dalam mempelajari ayat Allah bukanlah berarti bersikap membantah atau menentang apa-apa yang tidak diketahuinya. Setiap orang harus berusaha memahami apa-apa yang diajarkan dari kitabullah, tetapi tidak boleh mengikuti apa yang diketahuinya bertentangan dengan kitabullah atau sunnah Rasulullah SAW. Hal yang berselisih dengan kitabullah harus dilihat dari berbagai sudut pandang yang terbaik untuk memperoleh pemahaman yang paling tepat, tanpa sedikitpun mencederai redaksi suatu ayat. Sedangkan dalam hal yang bertentangan sepenuhnya dengan kitabullah dalam satu perkara, maka ia harus mengikuti kitabullah. Demikian beberapa kaidah dalam menggunakan akal.

Mengharap Izin Allah

Keadaan terbaik seseorang yang memperoleh warisan Alquran adalah memperoleh izin Allah untuk berlomba dalam kebaikan. Ada hal yang harus diusahakan agar memperoleh izin Allah, yaitu berupa terbentuknya bayt yang diijinkan Allah untuk didzikirkan dan ditinggikan asma Allah di dalam bayt tersebut. Rumah tangga orang tersebut harus mencapai keadaan sakinah bersama isterinya, atau isteri-isterinya.

Sakinah dalam rumah tangga adalah suatu keadaan dimana kehendak Allah dipahami oleh pemilik rumah. Allah menurunkan sakinah-Nya ke dalam hati seorang laki-laki yang dikehendaki-Nya. Dengan sakinah yang diturunkan tersebut, seorang laki-laki akan memahami kehendak Allah bagi kehidupan mereka. Keadaan sakinah tersebut harus dibentuk turunannya bersama isterinya. Bilamana isteri atau isteri-isterinya dapat mengerti kehendak Allah atas keluarga mereka, maka akan terbentuk keluarga yang sakinah. Dengan terbentuknya keluarga sakinah, maka dapat diharapkan akan terbentuk bayt yang diijinkan Allah untuk didzikirkan dan ditinggikan asma Allah dalam bayt tersebut.

Kepahaman seseorang atau sepasang manusia yang menikah terhadap kehendak Allah bukanlah fungsi dari logika. Kepahaman itu muncul karena terbentuknya akhlak yang mulia berupa tumbuhnya pohon thayyibah pada orang atau pasangan tersebut. Pohon thayyibah-lah yang mengerti cahaya Allah yang diterima jiwanya. Tanpa adanya pohon thayyibah yang tumbuh, cahaya Allah yang terpancar pada semesta tidak akan dimengerti.

Pertumbuhan pohon thayyibah dipengaruhi oleh kualitas seseorang dalam pernikahan. Pernikahan merupakan media yang paling baik untuk menumbuhkan pohon thayibah. Seorang laki-laki adalah pembawa benih pohon thayyibah sedangkan perempuan merupakan ladang bagi pertumbuhan benih pohon thayyibah yang dibawa suaminya. Bila seorang laki-laki memperhatikan dengan baik pernikahan mereka, maka ia akan tumbuh mengerti kehendak Allah yang ada di antara mereka. Bila seorang perempuan memperhatikan dengan baik pernikahan mereka, maka ia akan tumbuh menjadi perempuan subur yang dicintai suaminya. Dalam pernikahan, masing-masing pihak dapat tumbuh sendiri-sendiri tergantung sikap dirinya tanpa bergantung sikap pihak lainnya, akan tetapi ada hal besar yang tumbuh manakala keduanya tumbuh bersama dalam meninggikan asma Allah.

Perkembangan pernikahan sebagai media pertumbuhan pohon thayyibah dapat diukur dalam parameter pertumbuhan thayyibat dan sakinah di antara pasangan menikah. At-thayyibat adalah pengetahuan seseorang terhadap urusan Allah yang diturunkan melalui pernikahan mereka, sedangkan as-sakinah merupakan kehadiran bantuan Allah yang menuntun jalan kembali menuju Allah. Parameter itu akan tumbuh di atas landasan pengorbanan. Pasangan yang masing-masing mementingkan diri sendiri tidak akan menumbuhkan thayyibat dan sakinah. Thayyibat yang tumbuh bersama-sama di antara suami dan isteri akan membuka jalan rejeki bagi mereka, baik rezeki bagi jiwa mereka maupun rezeki dalam wujud duniawi, dan itu adalah jalan rejeki yang terbaik.. Rusaknya at-thayyibat akan merusak salah satu jalan rejeki bagi mereka.

Pertumbuhan at-thayyibat juga akan menumbuhkan sifat mawaddah dan rahmah di antara pasangan suami isteri. Mawaddah dan rahmah di dalam pernikahan sangat menyerupai rasa cinta pasangan pada umumnya, tetapi dapat tumbuh semakin besar seiring pertumbuhan at-thayyibat di antara suami isteri. Rasa cinta dapat tumbuh pada berbagai fakultas hidup manusia. Jasmani seseorang dapat mencintai pasangannya karena kekayaan, kecantikan dan hal-hal material lainnya. Hawa nafsu seseorang dapat mencintai pasangannya karena perhatian palsu, kehormatan, kecerdasan dan hal-hal lain yang menyenangkan hawa nafsunya. Mawaddah dan rahmah adalah kecintaan nafs seseorang terhadap pasangannya yang terbentuk seiring at-thayyibat yang tumbuh di antara mereka. Rasa cinta demikian akan semakin tumbuh dengan bertambahnya usia, berbeda dengan cinta pada tingkat jasmani ataupun hawa nafsu yang akan padam ketika terjadi perubahan keadaan.

Pada titik tertentu, seorang laki-laki akan mengalami keterbukaan pemahaman terhadap penciptaan dirinya. Ia mengerti jalan ubudiyah yang ditetapkan bagi dirinya. Tidak hanya pemhaman, tetapi juga terjadi transformasi bathin dalam menempuh perjalanan mengikuti rasulullah SAW. Kadang-kadang terbuka pula pengetahuan tentang hal-hal yang ditetapkan bagi dirinya, berupa jalan kematiannya, jodohnya atau rejekinya. Pemahaman terhadap jalan ubudiyah yang ditetapkan baginya itu merupakan akibat sakinah yang diturunkan Allah ke dalam hatinya. Pemahaman dan transformasi bathin itulah yang harus dibentuk turunannya bersama isteri atau isteri-isterinya untuk membentuk keluarga sakinah, sehingga terbentuk bayt untuk berdzikir dan meninggikan asma Allah di dalamnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar