Pencarian

Rabu, 17 Februari 2021

Membina Wanita untuk Membangun Bangsa

 Pembangunan bangsa tidak akan dapat dilakukan tanpa melakukan pembinaan kepada para wanita, karena wanita merupakan tiang tegaknya setiap negara. Sebuah kata hikmah, dan seringkali dikatakan sebagai hadits nabi, mengungkapkan Wanita adalah tiang negara. Apabila wanitanya baik maka baik pula negara. Apabila wanitanya rusak maka akan rusak pula negara.Hal ini menunjukkan peran penting pembinaan kaum wanita untuk membangun bangsa. Dengan melakukan pembinaan terhadap para wanita maka negara akan baik, sedangkan tanpa pembinaan terhadap kaum wanita, maka negara akan rusak.

 

Ungkapan ini sangat berkaitan dengan alquran. Kaum laki-laki wajib melakukan pembinaan kepada kaum wanita hingga terbentuk kaum wanita yang shalih. Kaum wanita yang shalih itu merupakan tiang bagi tegaknya negara, yang harus ditegakkan oleh para laki-laki, yaitu laki-laki yang telah memperoleh fadhilah Allah dan menginfakkan hartanya. Ini adalah kriteria-kriteria yang dijelaskan dalam alquran agar terbentuk bangsa yang tegak.


﴾۴۳﴿الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا


Kaum laki-laki itu adalah penegak bagi kaum wanita dengan apa-apa yang telah Allah lebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan dengan apa yang (laki-laki) nafkahkan dari harta mereka. Maka wanita yang saleh, ialah yang tenang (qanit) lagi memelihara yang ghaib dengan apa-apa yang dipelihara Allah. dan wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. (QS An-Nisaa’ : 34)

 

Membina Keshalihan

 

Keshalihan adalah kesesuaian sesuatu dengan sesuatu yang lain. Ishlah yang mempunyai akar kata sama menunjukkan pengertian berupa upaya menselaraskan satu pihak dengan pihak yang lain. Demikian pula tentang seorang laki-laki yang shalih, term tersebut menunjukkan adanya kesesuaian seorang laki-laki dengan sesuatu yang lain. Dalam hal ini, sesuatu yang lain itu adalah sebuah bentuk manusia yang dikehendaki Allah. Laki-laki shalih adalah laki-laki yang bersesuaian dengan bentuk diri yang dikehendaki Allah. Tidak ada keshalihan bagi seorang laki-laki yang tidak mempunyai rasa ingin mengetahui bentuk diri yang dikehendaki Allah. Seseorang yang menampakkan jubah ulama tidaklah serta merta termasuk dalam kelompok orang shalih, karena boleh jadi Allah tidak berkehendak demikian atas dirinya, tetapi menghendaki dirinya dalam peran yang lain.

 

Pengenalan terhadap bentuk diri yang menjadi kehendak Allah itu adalah fadhilah yang diberikan Allah bagi seorang laki-laki. Dengan hal itu dirinya dapat menegakkan para perempuan untuk membangun negerinya. Tidak hanya dengan fadhilah itu saja kaum wanita ditegakkan. Pemakmuran aspek duniawi perempuan juga harus ditegakkan dengan nafkah yang membangun. Dengan fadhilah Allah dan nafkah itu para perempuan harus ditegakkan oleh kaum laki-laki sehingga dapat terbangun negeri sesuai kehendak Allah.

 

Hubungan laki-laki dan perempuan sangat menentukan keberhasilan pemakmuran negeri. Dibutuhkan pasangan laki-laki shalih dan istri shalih untuk memakmurkan negeri. Seorang laki-laki shalih tidak akan bisa memberikan nafkah dalam aspek duniawi dengan baik bilamana istrinya berkhianat, dan fadhilah yang diberikan kepadanya akan tertutup dari pandangan umat. Umatnya tidak akan mau mengikuti laki-laki itu walaupun ada fadhilah Allah yang diberikan kepada dirinya, sebagaimana kebanyakan manusia tidak mengenal keunggulan suatu tanaman dari biji yang belum tumbuh. Dengan demikian, suatu negeri akan runtuh bilamana para perempuan negeri itu rusak.

 

Keshalihan seorang perempuan ditentukan dari sifat tenangnya dalam mengikuti suaminya, dan penjagaan dirinya terhadap hal ghaib dalam dirinya untuk suaminya. Allah meletakkan sesuatu pada sisi ghaib setiap perempuan yang harus dijaga untuk suaminya, maka hendaknya setiap perempuan menjaga sesuatu itu sebagaimana kehendak Allah. Sesuatu itu adalah benih yang akan tumbuh sebagai wewangian berupa at-thayyibat bilamana dirinya menikah. At-thayyibat yang tumbuh itu akan menjadi jalan rejeki bagi suami isteri yang thayyib. Penjagaan hal ini merupakan bekal kesuburan seorang perempuan bagi suaminya, dan keteledoran akan menghilangkan kesuburan perempuan bagi suaminya. Tumbuhnya at-thayyibat akan membuat seorang laki-laki dapat menempuh jalan rejekinya, dan perempuan akan tenang dalam mengikuti suaminya. Ketenangan dan penjagaan itulah parameter keshalihan seorang perempuan, dimana seorang perempuan dapat berjalan serasi mengiringi suaminya mengarungi perjalanan menuju Allah. Hal itu merupakan bentuk lain keshalihan sebagaimana keshalihan yang harus dibentuk oleh laki-laki dalam hubungannya dengan kehendak Allah.

 

Bila sesuatu yang ghaib itu tumbuh secara bathil bersama orang lain di luar pernikahan, maka sebenarnya yang muncul bukanlah wewangian at-thayyibat, tetapi aroma busuk walaupun disukainya dan disukai pasangannya, sebagaimana lalat menyukai aroma busuk sebagai jalan rejekinya. Bentuk kebusukan itu dapat muncul dalam bermacam-macam kombinasi, baik tersamar ataupun jelas aroma busuknya. Bagi suaminya, hal itu akan tercium jelas sebagai kebusukan tidak tersamarkan. Munculnya aroma busuk itu merupakan indikasi adanya nusyuz dalam diri seorang perempuan. Seringkali lebih dari itu, busuk merupakan indikasi adanya kekejian. Seorang suami mungkin akan peka dalam perkara demikian, hingga gejala-gejalanya dan potensi munculnya mungkin dapat pula dikenali. Bila terjadi hal demikian, maka seorang suami hendaknya memberikan nasihatnya, dan mengasingkan istrinya dari pergaulannya bilamana diperlukan untuk mencegahnya melakukan nusyuz. Seorang suami diberi hak untuk memukul istrinya bilamana istrinya sulit atau tidak dapat dicegah dari sifat nusyuz.

 

Bilamana istrinya mentaati suaminya ketika mencegahnya mengalami nusyuz, maka hendaknya suami tidak menimpakan kesulitan-kesulitan kepada istrinya. Itu merupakan sebuah perjuangan. Hawa nafsu akan selalu mendorong untuk melakukan perbuatan buruk sebagai pembalasan rasa kecewa dan sakit hati. Dorongan itu bila diturutkan akan mempersulit kembalinya perempuan dari nusyuz, atau malah akan semakin memperburuk keadaan nusyuznya. Seorang suami bertanggung jawab untuk membimbing istrinya menjadi shalihah, menjadi wujud perpanjangan keshalihan suami bagi alam mulkiyah, dan kemudian berjalan serasi bersama untuk kembali kepada Allah.

 

Berbagai Permasalahan

 

Pembinaan perempuan sangatlah penting untuk bangkitnya sebuah bangsa. Tidak akan tegak sebuah bangsa bila para perempuan negeri itu rusak. Pembinaan harus dilakukan berdasarkan pada fadhilah Allah dan upaya itu harus mencakup pembinaan dalam bidang materi. Modal pembinaan ini ada pada pernikahan yang thayyibah, dimana jalan rezeki dari Allah akan terbentuk berupa at-thayyibah. Fadhilah dan pembinaan bidang materi ini merupakan pilar tegaknya para wanita dalam keshalihan, dan wanita shalihah menjadi pilar tegaknya bangsa dengan benar. Dewasa ini, pembinaan materi menjadi fokus pembangunan bangsa-bangsa sedangkan budaya luhur bangsa mengarah pada kehancuran. Hal ini bukanlah sesuatu yang baik, karena pada akhirnya pembinaan materi semacam itu justru akan menghancurkan setiap bangsa.

 

Banyak kegagalan dapat terjadi dalam membina kaum perempuan. Isteri nabi Nuh a.s dan isteri nabi Luth a.s menjadi contoh kegagalan dalam membina perempuan. Itu merupakan contoh ekstrim kegagalan membina perempuan. Banyak bentuk kegagalan lain dapat terjadi dalam melakukan pembinaan kaum perempuan.

 

Kadang seorang suami shalih tampak berjalan seiring sejalan dengan istrinya yang tampak shalihah. Amal-amal yang dilakukan oleh istrinya tampak sejalan dengan fadhilah Allah yang diberikan kepada suaminya. Akan tetapi ada sebuah kekurangan bilamana sebenarnya istrinya tidak memperhatikan fadhilah yang diturunkan kepada suaminya. Walaupun amal-amalnya selaras dengan fadhilah suaminya, tetapi dirinya lebih memperhatikan hal yang ada pada orang lain maka tidaklah itu menunjukkan keshalihan. Hal ini tetaplah sebuah kegagalan pembinaan perempuan, karena tidak terbentuk keshalihan dalam diri istrinya, berupa keshalihan terhadap suaminya. Hal ini tentu sangat disayangkan karena sebenarnya amal-amal yang dilakukan istri demikian sebenarnya menunjukkan tingkat keberserahan diri yang tinggi. Pembangunan semacam ini tidak terhubung dengan fadhilah Allah dengan jalan yang benar, dan sebenarnya tidak pula terhubung pada kehendak Allah.

 

Hal tersebut mengindikasikan kemungkinan adanya waham atau dogma yang salah dalam diri istri, atau adanya kerusakan akal dalam diri istrinya. Akal yang baik dalam diri seorang istri akan membuatnya mudah memahami fadhilah yang diberikan kepada suaminya, dan dirinya akan menjadi seorang wanita yang subur bagi manifestasi fadhilah yang diberikan kepada suaminya. Bila istri yang berserah diri tidak dapat memahami fadhilah itu, hal itu boleh jadi menunjukkan kerusakan akalnya. Nusyuz dan perbuatan keji (al-fakhsya’) baik yang dzahir ataupun hanya dalam bathin dapat merusak akal, terutama akal seorang perempuan hingga perempuan itu terseret kepada laki-laki lain, tidak berusaha menjadi salinan suami shalihnya. Kadangkala syaitan dapat menimbulkan kerusakan yang berat dalam diri seseorang hingga seorang perempuan benar-benar mengalami kesulitan untuk memahami suaminya. Bilamana istri itu kembali kepada suaminya, dirinya mungkin kehilangan kesuburannya.

 

Kadangkala seorang laki-laki berjalan seiring sejalan dengan seorang perempuan lajang, dan masing-masing mengenali bahwa mereka diciptakan dari nafs wahidah yang sama. Akan tetapi keadaan membuat mereka tidak dapat menikah. Bilamana salah satu atau kedua orang tersebut menolak keberpasangan itu, pihak yang menolak itu sebenarnya hampir-hampir terjatuh dalam kekufuran, yaitu kufur terhadap nikmat Allah. Kadangkala pihak wali atau orang lain menghalangi atau mencegah mereka untuk melakukan pernikahan, maka perbuatan itu termasuk dalam kemungkaran yang berarti perbuatan yang dilakukan tanpa landasan pengetahuan. Munkar berasal dari kata “na-ki-ra” yang menunjukkan arti “tanpa pengetahuan”, lawan kata dari ma’ruf yang berasal dari kata “a-ra-fa” yang menunjukkan arti “mengetahui”. Pengetahuan tentang keberpasangan merupakan pengetahuan yang paling dekat dengan pengetahuan tentang Ar-rahman Ar-rahiim. Kemungkaran dalam hal keberpasangan ini sangat dinantikan oleh syaitan sebagai celah kesempatan untuk mencelakakan umat manusia.

 

Kegagalan pembinaan demikian dapat mengakibatkan kerusakan yang besar. Seorang laki-laki akan kehilangan bagian dirinya dalam agama, dan seorang perempuan akan kehilangan jalan terdekat untuk kembali kepada Allah. Umat manusia akan kehilangan sumber fadhilah Allah bagi mereka sehingga mereka tidak akan mampu memperbaiki negeri mereka dalam hal bagian yang hilang dari agama. Pada puncaknya, syaitan menggunakan cara memisahkan seorang laki-laki dari istrinya untuk menimbulkan fitnah yang terbesar bagi umat manusia. Setiap orang harus bertakwa dan berhati-hati dalam mensikapi keberpasangan seorang laki-laki dan perempuan, tidak membuat pemutusan melampaui keputusan antara pasangan itu tanpa alasan yang benar.

 

Dewasa ini, penjajagan hubungan menuju rumah tangga terlihat mengalami banyak bias. Laki-laki banyak mengumbar daya pesona kepada para perempuan, dan sebaliknya. Parameter yang diukur oleh masing-masing pihak hanya diperhatikan berlandaskan pada hawa nafsu. Ketika memasuki pernikahan, laki-laki merasa istrinya menjadi beban yang mengganggu dan istri merasa suami tidak mempunyai perhatian kepada dirinya. Hal ini terkait dengan perhatian yang tidak tepat ketika penjajagan pernikahan dilakukan. Seorang mukmin seharusnya berusaha melihat atau memperhatikan amanah Allah yang diletakkan pada sisi ghaib calon istrinya, karena itu merupakan benih yang harus ditumbuhkan bersama melalui pernikahan mereka, sebagai at-thayyibat yang membuat mereka tidak tercerai-berai dalam pernikahan mereka. Ketika hanya melihat dalam sudut pandang hawa nafsu, awal pernikahan akan terasa manis sedangkan kehidupan selanjutnya akan berubah dalam perjalanan yang saling membebani, tidak terbentuk kebersamaan untuk menunaikan amanat Allah yang merupakan tujuan bersama dan sumber kebahagiaan bagi mereka.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar