Pencarian

Kamis, 27 Februari 2020

Mencintai Allah


Iblis merupakan makhluk yang sangat cerdas, diciptakan dari api di alam tinggi yang dekat dengan Allah. Dengan kecerdasannya Iblis merasakan kerinduan dan kecintaan terhadap zat yang telah menciptakannya, zat Maha Mulia yang pernah bertemu dengan dirinya. Tetapi dengan kualitas diri dan pemahaman yang salah maka iblis menolak jalan yang digariskan Allah untuk menuju kembali kepada-Nya. Iblis kafir dalam kecerdasannya. Dahulu setelah terusir dari surga, Iblis masih sering berdoa dan bermunajat kepada Allah karena kerinduan dan cinta. Akan tetapi karena doa dan munajat itu berasal dari kualitas diri dan pemahaman yang salah, maka doa itu tidak berjawab. Dari semua doa dan munajat yang dipanjatkan Iblis kepada Allah SWT, hanya sebuah jawaban yang didengar oleh Iblis bagi doa dan munajatnya, yaitu ketika Iblis bermunajat : "Allah, aku telah berdosa terhadap Engkau dan sorga, aku tidak layak lagi disebutkan golongan-Mu." Allah tampaknya berkenan dengan doa itu, akan tetapi Iblis kemudian menyingkirkan semua kesadarannya yang benar itu, dan kemudian memilih jalannya sendiri.

Dari kejadian itu, tampaklah suatu kenyataan bahwa cinta transenden Iblis kepada Allah yang seharusnya manunggal ternyata mendua. Iblis lebih mencintai dirinya sendiri daripada cintanya kepada Allah. Semua kecintaannya kepada Allah hanya sebuah implikasi dari kecintaannya kepada dirinya sendiri, bukan hasil dari pengenalannya kepada Sang sumber segala kebaikan. Ketika Allah mengungkapkan kualitas diri Iblis kepada dirinya, untuk kebaikannya, Iblis malah bersikap kafir dan bertambah kafir hingga dirinya kemudian berani menghujat kepada zat yang dahulu dicintainya karena kemuliaan.

Manusia diciptakan berbeda dengan Iblis. Dirinya diciptakan dari tanah namun dilengkapi dengan jiwa dan ruh yang berasal dari alam yang tinggi. Dengan kelengkapan demikian, maka manusia dapat mencintai segala hal dari alam yang rendah maupun alam yang tinggi. Manusia dapat mencintai harta benda duniawi, kehormatan duniawi, dan seterusnya hingga dapat mencintai Allah yang Maha Tinggi. Semua itu karena manusia diciptakan dengan kedua tangan-Nya.

قَالَ يَٰٓإِبۡلِيسُ مَا مَنَعَكَ أَن تَسۡجُدَ لِمَا خَلَقۡتُ بِيَدَيَّۖ أَسۡتَكۡبَرۡتَ أَمۡ كُنتَ مِنَ ٱلۡعَالِينَ 

Allah berfirman: "Hai iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) termasuk orang-orang yang (lebih) tinggi?" (QS Shaad :75)

Manusia diciptakan lebih sempurna daripada makhluk apapun sehingga memiliki potensi untuk menjadi khalifatullah. Akan tetapi kesempurnaan itu bukanlah sebuah jaminan bahwa manusia akan menjadi sempurna. Manusia harus memulai kehidupannya dari kehidupan bumi yang merupakan alam terjauh dari Allah, alam yang paling bodoh terhadap Allah. Manusia harus berjihad agar kesempurnaan yang ada dalam dirinya menjadi kenyataan. Kebanyakan manusia terjebak dalam kehidupan jasadiah saja, tidak mampu mengembangkan kesempurnaannya untuk menambah pengetahuannya tentang Allah melalui jiwa dan ruhnya. Pengetahuannya terkungkung dalam batas alam-alam jasadiah sehingga kecintaannya juga terbatas hanya dalam alam jasadiah. Seharusnya manusia mengembangkan dirinya untuk mengenal jiwanya hingga Allah memberikan ruh qudus kepada dirinya sehingga dirinya dapat mencintai Allah yang Maha Tinggi dengan benar.

Jalan Menuju Cinta


Untuk mengembangkan jiwanya itu, manusia diciptakan berpasangan. Kecintaan kepada Allah adalah mencintai segala sesuatu sebagaimana kehendak Allah mencintai. Allah menciptakan entitas yang paling dicintai-Nya yang dijadikan sebagai wasilah, maka hendaknya manusia mencintainya demikian. Demikian pula Allah menciptakan makhluk lemah agar manusia mensejahterakan, maka hendaknya manusia mencintai dengan cara demikian. Cinta Iblis kepada Allah adalah bentuk cinta yang salah, dimana cintanya hanya merupakan bentuk kecintaan diri. Iblis mencintai Allah secara egoistik, sehingga dia tidak mencintai sebagaimana kehendak Allah mencintai. Ketika diperintahkan Allah untuk bersujud kepada Adam, timbul iri dengki dan kesombongannya terhadap manusia. Hal itu disebabkan kecintaannya yang bersifat kecintaan kepada diri sendiri. Manusia diciptakan berpasangan agar menyadari bahwa kecintaannya kepada Allah harus dibangun sesuai dengan kehendak Allah, bukan kecintaan egoistik sebagaimana kecintaan Iblis.

Seorang laki-laki merupakan wujud manusia yang lebih dipersiapkan untuk mengenal Allah sebagai Ar-Rahman, zat yang mengajarkan Alquran kepada manusia dan memberikan penjelasannya (al-bayaan). Seorang laki-laki diciptakan dengan akal yang kuat untuk mengenal Allah yang Maha Ghaib. Dengan akal yang kuat, dirinya merupakan entitas yang bertanggung jawab untuk memahami ayat-ayat Allah yang terhampar pada segenap ufuk dan dalam dirinya, bersesuaian dengan dengan ayat-ayat Allah dalam wujud kitabullah. Dengan pengetahuan itu, dirinya akan mengetahui bahwa ada zat Yang Maha Tinggi yang tersembunyi (ghaib) dari pandangan segenap makhluk-Nya yang menghendaki kebaikan bagi seluruh makhluk.

Seorang perempuan adalah wujud manusia yang lebih dipersiapkan untuk mengenal Allah sebagai Ar-Rahiim,  zat yang menghendaki kesejahteraan bagi seluruh makhluk-Nya. Secara umum, seorang wanita merupakan wujud manusia yang terbentuk secara asali sebagai petugas yang sangat tepat untuk mensejahterakan lingkungannya. Bahkan dalam diri perempuan disematkan wujud jasadiah rahim sebagai media mengenal rahimiyah-Nya. Dengan rahim, seorang perempuan mengenal kasih sayang terhadap bayi yang dilahirkannya, dapat membangun kasih sayang terhadap suaminya melalui jalan menuju rahimnya, dan dapat mewujudkan khazanah tersembunyi yang ada pada benih suaminya dalam wujud bayi yang dilahirkan dari rahim.

Setiap manusia adalah khalifatullah yang harus mewujudkan kesejahteraan di alam semesta sesuai dengan kehendak Allah. Untuk mewujudkannya, setiap manusia harus membangun kecintaan kepada semestanya sesuai dengan kehendak Allah, dan caranya adalah dengan menikah. Menikah merupakan setengah bagian dari agama. Asma-Nya sebagai Ar-Rahman Ar-Rahiim harus dihadirkan secara sempurna agar Allah dapat dikenal oleh makhluk. Kehendak Allah harus dimengerti oleh setiap laki-laki dengan akalnya, sedangkan setiap wanita menjadi media agar objek duniawi yang tepat dapat hadir bagi suaminya masing-masing. Dengan kehadiran objek duniawi bagi seorang laki-laki, maka kehendak Allah melalui mereka akan dapat terrealisasi sehingga terwujudlah kesejahteraan sesuai dengan kehendak Allah.

Jiwa wanita merupakan pembawa semesta bagi suaminya. Hal ini dapat terlihat dalam gambaran jasadiah berupa sel telur seorang wanita yang merupakan semesta duniawi bagi benih suaminya. Benih suaminya akan mendapatkan semesta bila istrinya menghadirkan sel telur bagi benih itu. Tanpa hal itu, benih yang ada dalam diri suami hanya akan menjadi khazanah tersembunyi yang tidak diketahui oleh makhluk. Sebagaimana gambaran jasadiahnya, jiwa wanita sebenarnya merupakan pembawa semesta bagi suaminya. Khazanah ilahiah yang dikenal oleh seorang laki-laki tidak akan dapat termanifestasi di alam mulkiyah tanpa jiwa seorang istri yang menghadirkan semesta yang tepat bagi suaminya. Karena inilah syaitan yang paling tinggi setelah iblis adalah syaitan yang memisahkan seorang istri dari suaminya.

Keberpasangan laki-laki dan perempuan merupakan turunan paling nyata tentang dunia transenden. Ada zat yang Maha Ada sebagai pencipta seluruh makhluk, akan tetapi zat itu tidak terjangkau oleh makhluk. Dia yang Maha Ada itu menurunkan berbagai tingkatan alam dan keberpasangan agar dapat dikenal oleh makhluk-Nya. Manusia merupakan wujud turunan paling nyata, dimana setiap manusia diciptakan berpasangan sebagai makhluk mulkiyah dan malakutiyah berupa jiwa dan jasad. Keberpasangan dalam setiap diri manusia kemudian diturunkan lagi dalam wujud keberpasangan laki-laki dan perempuan dalam peran masing-masing di alam mulkiyah dan malakutiyah. Dengan keberpasangan itu, manusia dapat mendaki tangga untuk mengenal Dia Yang Maha Ada, dengan kecintaan.

Keberpasangan manusia secara hakiki berada pada jiwanya. Allah menciptakan setiap laki-laki dari satu nafs wahidah. Dari masing-masing nafs wahidah tersebut diciptakan pasangannya berupa jiwa (nafs) seorang perempuan tertentu bagi nafs wahidah tersebut, dan diciptakan pasangan lain bagi nafs wahidah itu berupa badan jasmaniahnya.

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ ٱتَّقُواْ رَبَّكُمُ ٱلَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفۡسٖ وَٰحِدَةٖ وَخَلَقَ مِنۡهَا زَوۡجَهَا وَبَثَّ مِنۡهُمَا رِجَالٗا كَثِيرٗا وَنِسَآءٗۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ ٱلَّذِي تَسَآءَلُونَ بِهِۦ وَٱلۡأَرۡحَامَۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلَيۡكُمۡ رَقِيبٗا [ النساء:1-1]

Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari nafs wahidah, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan al-arham. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. [An Nisa":1]

Keberpasangan secara hakiki berada pada tingkatan nafs wahidah. Cinta pada diri seseorang pada pasangannya dapat tumbuh pada berbagai tataran hawa nafsu yang menjadi penguasa hatinya, baik karena harta, kehormatan ataupun keilmuan dan kebenaran. Cinta yang mengantarkan cinta kepada Allah adalah cinta pada tataran nafs wahidah dan pasangannya. Banyak orang mengenali nafs wahidahnya, namun kebanyakan manusia belum mengenalinya. Bila seseorang mengenali nafs wahidah dirinya, dia akan mengerti bagaimana Allah mencintai makhluk-Nya. Kecintaannya kepada rasulullah SAW akan melebihi kecintaannya kepada siapapun, dan dirinya mengerti istrinya menjadi cermin yang menghadirkan semestanya bersama khazanah Allah di dalamnya.

Tanjakan di Jalan Cinta


Tidak setiap orang dapat mengenali pasangan hakikinya karena nafs itu tersembunyi tertutup oleh hawa nafsu dan sifat jasadiah. Akan tetapi hal ini dapat diusahakan bila seseorang membersihkan jiwanya. Keberpasangan hakiki merupakan ayat yang akan menuntun penghambaan dan ubudiyah seseorang kepada Allah. Jiwa yang bersih akan merasakan tingkat kualitas penghambaannya kepada Allah bertambah dengan kedekatannya pada pasangan hakiki. Bagaikan bumi dan rembulan, bumi akan mendapatkan sumbu rotasi yang teguh karena kehadiran rembulan, karenanya bumi dapat menghadapkan wajahnya secara benar kepada matahari. Demikian gambaran hubungan antara seorang dengan pasangan hakikinya.

Hal ini akan menembus hingga tataran jasadiah. Seorang laki-laki akan kokoh dalam menjalani kehidupan di alam dunia bersama pasangan hakikinya. Segala sesuatu yang hadir dapat dipahami sesuai petunjuk Allah tanpa menyimpang, dan kemudian dapat beramal shalih secara efektif dan efisien memberikan nilai manfaat yang tinggi bagi lingkungannya. Bumi hanya perlu berputar secara ajeg untuk menyelenggarakan kesejahteraan bagi para penghuni permukaannya.

Tidak setiap pasangan yang gagal dalam kehidupan menunjukkan ketidakberpasangan. Sepasang manusia yang berpasangan secara hakiki dapat dipisahkan oleh syaitan dengan segenap tipu daya. Dengan pemisahan maka kehidupan dunia bagi mereka akan berantakan, tidak menunjukkan kehidupan yang baik.

Kadangkala, dan seringkali orang yang berpasangan secara hakiki tampak tidak sepenuhnya sesuai dalam pandangan pasangannya. Hal ini akibat pengaruh bentukan lahiriah. Hal ini menunjukkan bentuk lahiriah atau pemahaman dari salah satu atau kedua insan berpasangan tersebut belum tepat, belum menemukan sudut pandang yang benar, atau keadaan mereka belum pada bentuk yang benar. Boleh jadi seseorang melihat sifat pasangan hakikinya tidak sesuai dengan keinginannya, atau tidak menyukainya atau bahkan terlihat mengintimidasi baginya. Bila pasangannya telah berada pada kebenaran, hal itu menunjukkan dirinya tidak pada sudut pandang yang tepat terhadap pasangannya atau dirinya dalam keadaan yang salah. Tetapi boleh jadi pasangannya perlu diingatkan agar memperbaiki diri.

Allah menghalalkan bentuk pernikahan ta’addud bagi manusia sebagai sebuah media untuk memperkenalkan bentuk hubungan cinta yang dikehendaki Allah. Nama Ar-Rahman yang lebih dikenal oleh laki-laki berkedudukan lebih tinggi daripada nama Ar-Rahiim yang lebih dikenal oleh perempuan. Ar-Rahman dikenal oleh orang-orang yang lebih khusus, sedangkan Ar-Rahiim hendaknya dijadikan sebagai ruh bagi setiap makhluk dalam menjalani kehidupannya. Pernikahan ta’addud dihalalkan untuk menggambarkan bentuk hubungan cinta yang dikehendaki Allah. Laki-laki merupakan bentuk transenden yang diturunkan bagi perempuan karena kekuatan akalnya memahami Allah, sedangkan perempuan merupakan umat yang harus mampu mencintai dalam hubungan transenden (yang diturunkan) dalam bentuk yang ditentukan Allah, maupun mencintai dalam bentuk-bentuk hubungan horizontal kepada semestanya. Seorang laki-laki yang memahami Allah tentulah mengenal cinta secara transenden, dan hal itu harus diwujudkan hingga kecintaannya dalam hubungan horizontal, yaitu istri-istrinya dan semestanya. Pernikahan ta’addud akan menghindarkan manusia dari kecintaan egoistik sebagaimana kecintaan iblis dahulu kepada Allah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar